
“Lari lima putaran! Jemur satu jam! Jalan jongkok sampai pagar!
Pernah  menerima perintah-perintah seperti di atas ketika sekolah dulu? Apa  sekarang anak-anak anda masih menerima hukuman yang sama di sekolahnya?  Di sekolah tempat saya mengajar, ya, masih.
Primitif  memang, mengganjar kesalahan seperti terlambat, tidak memakai atribut  lengkap, absen, atau kabur melompati pagar sekolah dengan hukuman fisik.  Jaman berlalu, dan sistem yang sama masih berlaku. Pertanyaannya:  apakah ini penerapan disiplin, atau kekerasan dalam pendidikan?
Jangan  kira kami tak melakukan usaha perbaikan. Sudah beberapa tahun  belakangan, sistem poin diterapkan. Surat-surat peringatan dikeluarkan  pada batas jumlah poin tertentu, dan ada batas maksimal poin pelanggaran  bagi setiap siswa. Inginnya adalah sebuah sistem yang lebih beradab,  yang bisa mendorong siswa untuk berprilaku baik tanpa mengandalkan  kekerasan. Bagaimana hasilnya?
Kami  mengevaluasi tingkat pelanggaran. Ternyata, anak-anak ini merasa tidak  ‘terhukum’ oleh catatan poin, dan jumlah kasus semakin banyak terjadi.  Baru semua ribut-ribut pada saat dapat surat peringatan dan pemanggilan  orang tua. Tiap semester, wali kelas vs bagian kedisiplinan bersitegang  membahas apakah siswa A atau siswi B dipertahankan atau tidak. Semakin  banyak jumlah siswa yang masuk dalam daftar pembahasan, ketegangannya  semakin bertambah.
Mungkin  kami tak cukup sabar menunggu, karena di mana pun sistem baru memang  perlu waktu. Sayangnya kami tak punya yang namanya waktu. Daripada  kedisiplinan berjalan amburadul dan mempengaruhi iklim belajar, sistem  hukuman primitif pun kembali dilakukan: kami mengancam dengan hukuman  fisik.
Beberapa  guru mencoba mencari jalan lain untuk mengganti ancaman hukuman fisik.  Ada guru yang mewajibkan anaknya melafalkan wirid tiga kali balik. Ada  guru yang mewajibkan menulis istighfar 300 kali, ada guru yang  mewajibkan menulis tiga lembar rumus matematika sebelum anak masuk  kelas. 
Lalu  pertanyaan berikutnya: apakah nantinya hukuman identik dengan zikir,  istigfar dan rumus pelajaran? Kalau iya, bagaimana bila anak trauma pada  hal-hal baik tersebut nantinya, hingga sampai seterusnya akan  menghindari zikir, istighfar dan rumus?
Tapi  ancaman di sekolah memang bukan cuma fisik saja. Sering kita temui  ancaman verbal, juga mental yang dilakukan atas nama ‘menjaga  kedisiplinan dan efektifitas belajar’. Satu lagi, nilai. Kerjakan ini,  kamu dapat nilai. Jangan coba-coba mangkir, merah nilaimu, tak naik  kelas kamu.
Suami  saya adalah termasuk orang-orang pertama yang ditugasi pihak fakultas  untuk menerapkan SCL pada matakuliah yang diampunya. SCL, atau student centered learning,  menghendaki dosen berlaku sebagai fasilitator. Dia harus berupaya  membangkitkan motivasi terhadap mata kuliah tersebut, sehingga tak perlu  ada ancaman untuk membuat anak-anak ini belajar.
Berhasilkah?  Tidak selalu. Berkali-kali suami saya mengaku hampir putus asa. Merasa  sudah berusaha maksimal berimprovisasi seraya menjauhi negative encouragement,  tapi ternyata anak-anak yang kuliah di perguruan tinggi negeri favorit  ini tak merasa harus bergerak bila tak diancam akan gagal bila tugas tak  diserahkan atau absen kosong melompong.
Manusia,  katanya, adalah pembelajar alami. Semua yang diketahui anak hingga usia  4 tahun adalah hasil belajarnya yang alami, penuh semangat dan  antusiasme. Di sekolah, ke mana antusiasme itu? Kenapa kita harus  mengancam agar anak mau belajar?
Mungkin  memang baiknya hukuman dikaitkan dengan hilangnya kesenangan. Bila anda  melanggar, kesenangan yang anda dapat di sekolah akan hilang.  Kelihatannya cukup adil, bukan? Sayangnya saya belum menemukan,  kesenangan apa kira-kira yang masih ada di sekolah sekarang ini.
Saya pernah dengar kalau di QT, siswa yang terlambat, diminta untuk menuliskan atau menggambarkan pengalaman mereka mengapa sampai terlambat. Hingga akhirnya terbitlah satu buku, yang berisi cerita "terlambat" mereka.
ReplyDeleteKalau saya pikir sebetulnya anak-anak itu cuma pingin di dengar. Saya sependapat sama Irma, saya tidak punya jurus ampuh supaya mereka suka sekolah, karena sekolah sejak lama sudah hilang esensinya sebagai tempat yang menyenangkan, tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bermain
wah, bisa juga.
Deletekita memang harus mencari cara2 yang lebih kreatif dalam memberi hukuman yah.
makasih idenya, mba lea.
Ibu Irma,
ReplyDeleteKebetulan di sekolah saya tidak ada cleaning service. Jadi siswa yang terlambat harus menerima konsekuensi jadi cleaning service 'dadakan' di sekolah. MIsalnya cuci piring, bersihkan halaman sekolah, lap jendela, mengatur kenderaan di tempat parkir, dll. Selesai kerja baru boleh mengikuti pelajaran. Motivasinya: jika dikerjakan dengan ikhlas berpahala, jika dikerjakan sambil ngomel, sudah terlambat...nambah dosa lagi. he he he...
Semoga cara ini masih 'sehat'
saya juga belum bisa membedakan, mana yang lebih sehat dan mana yang seharusnya tidak dilakukan. tapi ide bersih2 itu oke loh, bu ayu.
Delete