31 May 2011

WAJIB KULIAH?



Status itu berbunyi: "Orang tua suruh kuliah hati mau kerja tapi g blh kerja bingumg w."

Membacanya di wall fb, saya jadi teringat terus pada penulisnya. Dia siswa saya, baru saja lulus Ujian Nasional dan sedang menunggu ijasah. Pertanyaan kemudian muncul di benak ini: apa benar seseorang wajib kuliah bila mampu? Jadi nyaingin naik haji kayaknya ^^;

Menangani anak ini beberapa tahun, saya tahu kemampuan akademisnya. In my humble opinion, bangku kuliah bukanlah pilihan yang tepat. Lagi-lagi dia akan kembali menemukan kesulitan, baik secara akademis maupun sosial, lalu frustasi, lalu membenci diri sendiri.

Harusnya anak-anak seperti ini punya lebih banyak pilihan. Masalahnya, apa pilihan yang dia ketahui sekarang? Apa bakatnya, di mana minatnya? Sayang sekali, sekolah tak bisa menunjukkan jawaban kemarin itu karena sibuk mengejar kurikulum dan drilling soal Ujian Nasional. Yah, paling tidak kan kita punya kambing hitam.

Banyak sudah kita dengar tentang seseorang yang sukses tanpa kuliah. Bill Gates yang drop out, Joichi Ito, atau si James Marcus Bach itu. Tapi sepertinya mereka punya kemampuan akademik yang lumayan, dan sudah menemukan panggilan hidup di usia muda.

Sedang beberapa siswa saya, ah entahlah, saya tak bermaksud merendahkan mereka, tapi banyak di antara mereka tidak tergali pada domain kecerdasannya sendiri, juga belum menemukan 'panggilan' itu. Lalu ke mana mereka akan pergi setelah ini?

Di sisi lain, orang tua kepingin anaknya sarjana. Jaman begini bukan sarjana, apa kata dunia? Ambil ekonomi aja, atau komputer aja, kan bisa kepake di mana-mana. Emangnya, kepake di mana? Pas kuliah ga betah, susah-susah lulus ujungnya jadi sales juga kok. Atau yah, mungkin jadi guru.

Yayaya, saya memang agak skeptis jadinya. Oke, tak ada salahnya jadi sales, dan jadi guru tentu saja pekerjaan mulia. Tapi untuk apa kalau semua langkah-langkah itu semakin membuat seseorang tersesat, dan makin jauh dari kenikmatan bekerja di bidang yang dicintai.

ZOMBIE....


Setiap saya menulis tentang penanganan siswa di sekolah, seing kali saya harus meniadakan peran orang tua. Soalnya bila bicara faktor orang tua, bikin putus asa jadinya. Ada banyak orang tua yang bisa diajak kerja sama, tapi orang tua yang anaknya bermasalah biasanya adalah orang tua yang paling tidak peduli.

Kenapa anak disekolahkan, lalu setelah itu lepas tangan? Karena sudah bebas dari kewajiban mendidik anak. Kan sudah disekolahkan. Kenapa anak dikuliahkan padahal tidak berminat? Supaya orang tua tidak kehilangan muka di depan kerabat dan teman-teman. Tenyata enak juga ya jadi orang tua.

Loh kok malah jadi ngomel-ngomel begini ^^;v

Jadi sebelum menyuruh anak kuliah, lebih baik mengenali bakat dan minat anak, membantu mereka menggalinya, lalu berdialog secara terbuka.

Oh iya, kan sekarang ada cara instan yah. Tidak perlu repot memperhatikan, tidak perlu bingung mendampingi, cukup discan ujung tangannya, atau dihipnosis saja, bisa juga diotak-atik otak bagian mananyaaaa gitu, beres urusan. Lagi-lagi, memang enak ya jadi orang tua (jaman sekarang).

KOMPENSASI

Jika telah membaca buku La Tahzan for Teachers yang saya tulis bersama Gita Lovusa, mungkin anda mengira bahwa saya mengajar di sekolah hampir rubuh semacam Laskar Pelangi. Tidak, di sekolah saya ada 3 gedung, masing-masing berlantai 3 dan 4 dengan halaman luas. Tapi coba dengar cerita ini.

Pada rapat kenaikan kelas tahun ini, seorang guru bertanya, "Ada apa dengan Toni?"

Saya terkejut, dan baru sadar kalau Toni, siswa kelas XI, memang berubah. Dia datang ke sekolah dengan lusuh, tidak bisa diam di kelas, dan makin susah diatur saja. Saya memperbolehkan anak-anak mengobrol jika saya sedang diam (sebaliknya mereka harus diam jika saya bicara), tapi celetukan Toni sudah termasuk luar biasa, mengingatkan saya pada Arif. Apa saja dikomentari dengan suara membahana ke seluruh kelas. Meski demikian, dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Saya tidak paham kalau sebenarnya, di bawah sadar, dia mencoba mengkomunikasikan sesuatu.

Dari wali kelas, informasi diperoleh: keluarga tidak harmonis, ayah yang keras, dan kasus-kasus KDRT yang tidak dilaporkan.

Bu Ida bercerita bahwa suatu kali dia menemukan Toni sampai ke sekolah dengan pakaian yang kusut sekali. Ketika ditanya kenapa, dia jawab, "Ini abis dicuci ga disetrika, Bu. Saya nginep di rumah temen. Soalnya bapak saya songong banget orangnya."

Apa arti 85.000 rupiah bagi anda? Satu pan pizza ukuran medium untuk cemilan sore hari? Toni membutuhkan uang sebanyak itu untuk fieldtrip sekolah ke Musium Sains ITB dan Saung Angklung Udjo. Ayahnya tak mungkin diharapkan, jadi ia bekerja menjadi kuli bangunan agar bisa ikut fieldtrip.

Jadi segala celetukan dan banyolan konyol yang kadang garing itu, lalu tawa terbahak-bahaknya yang seringkali sendirian menertawakan hal tak lucu, hanyalah sebuah kompensasi atas kelelahan membawa beban yang berat untuk anak seusia dia.


Ketika masalah berat menerpa siswa di rumah, saya jadi khawatir. Biasanya mereka mulai bermasalah dengan kedisiplinan, sulit berkonsentrasi, dan sering kali bolos. Saya takut sekali mereka terjerumus ke pergaulan yang tidak baik.

Pada anak-anak seperti Toni, siswa-siswa saya yang jadi kuli cuci-setrika dan kuli bangunan, saya kepingin sekali membantu biaya pendidikan mereka. Setidaknya untuk memberi mereka pertanda, bahwa jangan berputus asa. Tapi akhirnya saya harus insyaf, saya tak bisa melakukan itu, karena jumlah siswa dengan kasus yang mirip jumlahnya banyak sekali.

Dengan menakar kondisi pribadi, saya berusaha menggratiskan biaya fotokopi satu dua lembar teks, atau membawa kertas-kertas dan spidol warna sendiri (biaya fotokopi dan peralatan habis pakai memang tidak dicover sekolah). Kadang juga mentraktir mereka gorengan kantin, jika ada rejeki lebih.

Dan itu pula yang menjadikan saya terus bersemangat mengisi materi dengan metode non ceramah. Setelah melewati hari-hari yang berat di rumah, mereka tidak perlu ditambah bebannya dengan pelajaran membosankan dan guru yang galak.

15 May 2011

MAU KE MANA?

"Ibuuuu, aku kepingin sekolah lagi...."

Itu adalah kalimat standar yang banyak sekali diucapkan para alumni ketika bertemu lagi dengan saya. Kebanyakan merasa kepingin kembali ke masa lalu, karena ternyata lebih enak jadi anak sekolahan, meskipun waktu sekolah dulu nampak tertekan banget oleh kewajiban sekolah dan kepingin segera lulus ^^;.

Saya tidak heran mendengarnya. anak-anak ini memang seakan tersesat begitu memasuki dunia nyata. Mereka tidak tahu mau ke mana, mau melakukan apa, sementara itu tuntutan untuk mandiri sudah besar. Akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah bekerja di bidang yang umum saja: SPG/SPB di mal dan supermarket. Itu pun sudah termasuk beruntung.

Di sekolah tempat saya mengajar, jarang sekali siswa yang melanjutkan ke bangku kuliah begitu mereka lulus. Barangkali tak lebih dari 10-20% saja. Yang mampu kuliah mungkin lebih beruntung, mereka masih bisa menunda selama 3-4 tahun untuk menjawab: "Mau ke mana setelah ini?" Tapi bagi yang harus segera bekerja, pertanyaan itu langsung memburu.

Sebelum lulus, apa yang mereka lakukan jelas: duduk di kelas, mendengarkan, mencatat, kerjakan PR, tes. Tujuan mereka pun jelas: lulus sekolah, dapat ijasah. Itu saja. Jaraaaaang sekali yang menemukan minatnya atas bimbingan dari sekolah, hingga begitu lulus bisa berkata: "Ini yang mau gue lakukan, ini mimpi yang akan gue kejar."

Apakah pemikiran seperti itu terlalu muluk untuk anak usia 18 tahun?

Beberapa orang pernah bilang pada saya, jangan terlalu idealis. Anak umur segitu ya biasalah kalau masih mencari jati diri. Perlahan seiring berjalan waktu, mereka akan menemukan juga kok apa yang dimau. Saya sendiri saja baru mulai menemukan titik terang ketika usia 24, sudah punya anak satu. Jadi wajar sajalah, sabar sajalah.

Begini. Beberapa orang mungkin bisa menunda pertanyaan "Sebenernya mau ke mana sih?" karena mereka punya modal untuk mengambil jalan lain ketika jalan yang mereka inginkan itu mulai ditemukan. Bagi sebagian orang yang lain, termasuk diantaranya beberapa siswa-siswa saya, kondisinya tidak selalu semudah itu.

Hal ini mengganggu pikiran saya, karena setelah melihat 5 angkatan lulus dan meninggalkan sekolah, ada rasa tidak ikhlas yang tertinggal. Mereka akan pergi padahal tugas saya sebagai guru belum selesai. Menyelesaikan kurikulum adalah perkara mudah, tapi menyiapkan karakter dan melatih soft skills agar mereka bisa menjalani hidup dengan baik di dunia nyata, itu sulit sekali. Saya selalu merasa, mereka belum siap.

Saya teringat kembali peristiwa beberapa hari yang lalu. Saat itu saya bersama si Tengah baru selesai membayar belanjaan di sebuah minimarket besar. Sebelum keluar, tepat di balik pintu kaca, saya terhenyak dan berhenti melangkah. Di halaman mini market itu seorang tukang parkir sedang memandu kendaraan yang akan keluar. Tukang parkir itu pernah saya ajar, dan saya saksikan kelulusannya dari SMA.

Kenapa jadi tukang parkir? Saya tahu sekali dia bukan anak bodoh. Kenapa ijasah SMA tidak memberi nilai tambah apapun padanya? Bagaimana bisa lulusan SMA tak memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding lulusan SD?

Please, jangan bilang, "Itu kan tergantung orangnya."

Saya gurunya. Adalah kewajiban saya mendidiknya untuk memiliki sikap yang baik terhadap ilmu yang sudah diajarkan. Anehnya, kata-kata 'tergantung orangnya' ini banyak keluar dari mulut guru, seperti orang yang melempar batu sembunyi tangan.

Ketika bertemu dengan kelas XI di kelas pengembangan diri yang lalu, saya mengingatkan mereka, "Kamu hanya tinggal 1 bulan lagi di kelas XI. Setelah itu kamu akan ada di tahun terakhir. Apa kamu sudah tau bakal ngapain pas lulus, jalan mana yang mau dipilih? Pergunakan satu tahun ini, untuk mengerti apa yang kamu suka dan apa yang kamu butuhkan. SUKA dan PERLU, dua itu saja. Dengan dua hal itu, kamu akan bisa memutuskan."

Kebetulan, mata pelajaran yang saya ampu tidak diUNkan. Saya berencana menggunakan waktu-waktu di kelas untuk mengeksplorasi anak-anak ini dengan berbagai macam kemungkinan profesi di masa depan. Di antara segala kebingungan mencari jalan yang baik dan benar untuk berbuat ihsan dalam pekerjaan, mudah-mudahan ini bisa jadi ikhtiar saya.