01 April 2011

SAYA GURU FAVORIT?

Jadi senyum-senyum sendiri kalau ada yang 'menuduh' saya guru favorit siswa-siswa saya. Ayo tebak, bener ga sih?

Sebagai seorang narsis, tentu saja saya sudah mengecek hal ini jauh-jauh hari. Tepatnya empat tahun yang lalu, laporannya ada di sini. Nah, ternyata bukan saya tuh yang jadi favorit mereka. Jadi yah, terima ajaaaa.... T_T.

Mungkin ada beberapa yang tersentuh (jiaaaah, tersentuh ^_^) dengan cara saya mengajar, atau dengan apalah gitu selama pembelajaran (who knows?), tapi sepertinya ga banyak. Belajar dari kenyataan, saya mencoba untuk ga mikirin lagi, apakah saya punya cukup banyak fans atau nggak, gyahahaha.... Lah kan saya kan manusia, mana bisa sempurna?

Saya kasih contohnya.

Di kelas XII, saya menggunakan portofolio untuk evaluasi anak (kenapa cuma kelas XII? f(^_^;)). Karena pakai portofolio, anak-anak jadi bisa tahu apa yang mereka sudah hasilkan. Di sisi lain, karena portofolio juga, saya harus berusaha agar mereka 'menghasilkan', bukan cuma mencatat dan mengerjakan soal (kalo itu mah pake buku biasa ajah).

(Btw, belajar itu katanya untuk dua hal: menghasilkan sesuatu dan/atau memecahkan masalah. Lupa saya baca di mana, pendahuluan kurikulum 2004 kah? Atau 2006 ya? Atau tempat lain?)



Misalnya, kami banyak menggambar; menggambar anggota tubuh, menggambar bagan, bikin comic strip sederhana untuk percakapan, juga melakukan
mind mapping (menggambar juga, kan?).

Kami membuat Nengajou (kartu pos tahun baru) dan 'mengirimkan'nya pada teman sekelas untuk menyegarkan kembali hapalan Hiragana di pertemuan pertama setelah libur tahun baru, sekaligus belajar budaya. Oh ya, saya sampai terkikik melihat alamat yang ditulis anak-anak di atas Nengajou mereka. Misalnya: To: Ade, Di: Japos, naik C04 dari Mencong, atau jalan kaki juga bisa. Atau: Kepada: Dwi, Di: baris ketiga deret pertama dari kanan (ternyata pakai 'alamat' tempat duduk di kelas).

Kami melipat Origami, dan menghapal nama benda yang kami buat Origaminya. Kami menjiplak uang dengan pensil untuk belajar angka dan bilangan (sementara ini pakai rupiah karena belum nemu yen). Kami mengiris penghapus dengan cutter untuk membuat Inkan (stempel nama) untuk menghapal Katakana.



Kami berloncatan menghapal karakter dengan
flashcard, atau berlarian di antara lingkaran nama-nama hari yang ditulis dengan kapur di lapangan basket. Kami naik turun meja untuk belajar lokasi (mae, ushiro, hidari, migi, ue, shita, mannaka).

Kami menggunakan sumpit sungguhan untuk percakapan yang ada kalimat "
Hashi, onegai shimasu." Bagaimana dengan percakapan antara penumpang dan supir taksi? Mobil-mobilan anak saya dibawa ke kelas hari itu.

Kami bernyanyi (meski saya benar-benar ga bisa nyanyi) untuk kompetensi mendengar, dan menonton film agar anak-anak mendapat konteks, bahwa semua yang mereka pelajari itu ada loh di dunia nyata.

Bukankah belajar dengan saya amat menyenangkan?



Ternyata tidak saudara-saudara sekalian. Tidak demikian pendapat anak-anak ini.

Anda harus lihat daftar absen di buku nilai saya. Saya mengajar hari Sabtu, dan selalu bersedih hati melihat daftar absen yang amat jarang penuh. Misalnya siswa yang pernah saya ceritakan ini. Kehadirannya di kelas saya setahun ini bisa dihitung dengan jari.

Malah beberapa anak lain mengaku bahwa hari Selasa lebih penting dari hari-hari lainnya, karena ada guru 'galak' di hari itu.
Selasa loh ya, bukan di hari saya mengajar mereka.

Sampai sekarang pun kadang saya masih tergoda untuk bertanya, tidakkah metode yang saya gunakan bisa memancing anak-anak ini masuk dengan sukarela? Tidak cukup menyenangkankah kelas ini hingga mereka memilih yang lain? Tidak bisakah saya memenangkan pertarungan ini?

Kanapa tidak bisa? Ya tapi kenapa juga merasa harus bisa?

Makanya, saya tak pernah lagi berpikir untuk membuat siapapun terkesan dengan apa yang saya lakukan di kelas, tidak siswa-siswa saya, tidak rekan-rekan sejawat saya, tidak juga anda yang sekarang membaca tulisan ini. Soalnya saya tau, saya akan kecewa kalau berharap pada manusia.

Jadi apa saya guru favorit? Saya tidak tau. Dan sekarang saya insyaf, memang ga perlu mencari tau (seperti dulu itu). Tapi kalau mau mampir ke kelas saya sih, boleh loh....

SAYA GURU TK?

Kata seorang temn, saya ngajar kayak guru TK meski saya ngajar anak SMA. Jangan salah, saya ga tersinggung kok, bener. Soalnya bukan hanya Oji yang bilang, siswa-siswa saya juga bilang begitu kok. Malah ada yang nulis testimoni begitu di buku tahunan, hehehehe....

Sayanya sendiri juga nyadar tentang hal itu, kok. Saya bilang nyadar, karena memang metodenya dipilih secara sadar dengan menyandarkan pendapat pada beberapa buku, utamanya terbitan MLC (bukan m&c! loh ya ^_^) dan Kaifa.



Dibanding saya, suami saya lebih parah lagi sih kayaknya. Soalnya dia ngajar di mahasiswa, tapi pake metode guru TK juga ^_^. Kalo mau ngajar bawa karton warna-warni dan spidol gambar. Ada sesi gunting-tempel juga, pake majalah majalah bekas yang dibawa mahasiswa.

Mereka main uler tangga juga, dan lagi merancang biar bisa pake
role play untuk materi Uang Beredar, termasuk mikirin kostumnya ^_^. Ngadain cerdas cermat berhadiah coklat, atau yang paling baru, dia ngasih komik. Meski komiknya teteup, komik ekonomi, xixixixi....

Apakah yang kami lakukan membawa dampak positif bagi pembelajaran?

Jadi kan gini ya, pembelajaran itu terbagi dua, ada konteks, ada konten. Konteks itu penting diciptakan untuk menunjang pembelajaran. Guru yang asik, pinter cerita, gaul, itu kan konteks. Ruang kelas yang terang dan bersih, warna dinding yang membangkitkan semangat, penggunaan musik dan poster, tanaman, wewangian, hewan peliharaan (misalnya aquarium), menggunakan saung atau ruang terbuka, dll, semua itu konteks.

Kalau kita memperbaiki konteks mengajar, kita seperti membangun jalan raya supaya pembelajaran melaju dengan mulus.




Tapi ada yang namanya konten pembelajaran. Bagaimana agar pelajaran itu bisa dipahami, diserap, dan dimaknai (ditemukan linknya ke dunia nyata). Nah ini yang lebiiiih sulit ketimbang merekayasa konteks di atas.

Metode gimana nih yang harus kita pake biar suasana fun, tapi
tetep ngerti. Gimana caranya nih biar mereka bisa mengonstruksi sendiri segala pengetahuan itu, bukan sekedar hapal mati. Gimana caranya biar proses recallingnya mudah.

Nah, sejujurnya, saya dan suami masih kesulitan di bagian konten ini. Kalau lihat di EDOM (penilaian online atas dosen oleh mahasiswa), suami saya dibilang lack of skill teaching. And what is that? Apakah karena yang dipakainya bukan lecturing melainkan SCL(student centered learning), maka ada mahasiswa yang ngerasa, "Ni dosen main-main aja kerjanya. Kalo ga main-main, mahasiswa disuruh diskusi dan presentasi. Ngajar dong, Pak, Ngajar!"

Di sisi lain, sebagian lagi malah merasa excited dengan metode guru TK ini. Tapi sayang sungguh sayang, sekali lagi, they don't take it seriously. Meski disampaikan lewat permainan, ga berarti mahasiswa ga perlu belajar untuk bisa ikut permainan. Terutama lagi, bukan berarti ga perlu belajar untuk ujian!

Saya mengira bahwa siswa kita kurang banyak diberi pengalaman pembelajaran yang variatif dan bermakna. Bila ada yang pakai cara yang tidak biasa, dianggap tidak bermakna, sehingga dianggap tidak serius, atau tidak perlu diseriusi.

Kesimpulannya, memang ada orang yang gaya belajarnyanya serius, ada juga yang gaya belajarnya santai. Tapi kalau yang diajar banyak, ya susah untuk memuaskan semua. Akhirnya, kita hanya ada di garis standar, dengan hasil standar, karena cara belajar yang standar. Hampir tak ada tempat untuk memperhatikan keunikan pribadi di sini.

*foto: mind mapping kelas publik suami dan judul komik hadiah untuk pemenang kuis