25 February 2012

MENGKHIANATI KURIKULUM

Ada satu pertanyaan penting yang pernah merecoki pikiran saya beberapa tahun yang lalu, yaitu: Kenapa ada manusia yang dilahirkan sebagai orang bodoh?

Mungkin saja ada orang yang diuji dengan kemiskinan atau cacat, tapi menjadi bodoh bukanlah ujian, melainkan kutukan. Bodoh membuat seseorang tidak bisa menghadapi hidup dan tak berdaya. Bukankah itu artinya Allah tak sayang pada manusia yang ditakdirkannya bodoh?

Begitu saya membaca tentang Multiple Intelligences, saya tak lagi bertanya tentang keadilan Allah pada manusia bodoh. Saya tak peduli bahwa ada juga ahli yang mempertanyakan validitas teori ini, karena saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Allah Mahaadil, karena semua orang diciptakanNya cerdas, dalam tipe kecerdasan yang berbeda.

Siang itu saya (dan teman-teman guru) kembali mengkhianati kurikulum. Bukannya kami mengajar pelajaran yang kami ampu, malah kami duduk melingkar bersama 15an anak untuk tiap seorang guru. Kami menamakannya kelas PD, Pengembangan Diri.

Siang itu adalah pertemuan pertama di awal tahun ajaran, maka materinya adalah perkenalan. Caranya seperti ini:
"Nama saya Irma. Saya suka belanja baju. Saya tidak suka bernyanyi."

Saya duduk bersama sebagian kelas 12 saat itu, yang artinya mereka sudah bersama-sama selama dua tahun lebih. Namun demikian, rupanya duduk bersama selama 6 jam sehari, 6 hari seminggu, tak lantas membuat mereka bisa saling kenal lebih dalam.

Adalah Zaid (bukan nama sebenarnya) yang mula-mula mencengangkan saya. Zaid adalah siswa yang, yah, lemah dalam bidang akademik. Bukan hanya satu atau dua mata pelajaran, tapi hampir semuanya. Apakah dia bodoh? Tidak, begitu saya tau bahwa dia suka memodifikasi sepeda motor. Tentu itu adalah kecerdasan tersendiri, bukan?

Rido lain lagi. Namanya pernah masuk pembahasan rapat evaluasi guru karena dianggap abai pada pelajaran dan berlaku tidak sopan dengan mencoret-coret kertas ujian. Dia bilang, "Saya suka memelihara burung merpati." Nah, itu juga kecerdasan tersendiri, bukan?

Ada Eri, siswa pemalu yang mengaku hobi nyanyi, dan ada Mia, siswi yang paling tidak suka disuruh makan teratur. Ada Rizal yang suka Persija ^_^ dan ada Is yang suka nonton film kartun.

Saya menanggapi, "Kesukaan kalian bisa jadi sumber mata pencarian di masa depan, loh. Misalnya, Zaid bisa buka bengkel, dan Rizal bisa buka usaha konveksi dan sablon untuk kaos Persija. Rido juga bisa jadi peternak burung." Robi menjawab, "Itu sudah pasti, Bu." Jawaban yang membuat saya amat bahagia.


Saya merasa, kelas PD hari itu luar biasa. Pertama, anda tahu bahwa bagi banyak guru, anak-anak ini bukan manusia. Mereka sekadar nama di deretan absen, yang nantinya diberi angka sesuai dengan kertas yang ia isi ketika ujian. Tak lebih. Namun saat itu, saya bisa mengenal mereka sebagai manusia, dengan emosi, pemikiran, dan cita-cita.

Kedua, berkaitan dengan MI, bahwa banyak kecerdasan anak-anak ini yang tak tergali, atau mungkin malah tumpul, akibat perlakuan salah yang diberikan sekolah. Memang ada pelajaran kesenian, biologi, penjas, yang harusnya bisa mengakomodasi tipe kecerdasan anak-anak seperti Zaid dan Rido. Sayangnya mata pelajaran sekarang amat berorientasi nilai dan wajib tunduk pada kurikulum (demi ujian nasional), hingga abai pada minat anak.

Ketiga, anak yang bersekolah bukan berarti dia akan banyak berteman. Oke, mereka kenal banyak orang, tapi tidak selalu bisa bergaul dengan luas dan memiliki banyak sahabat. Jadi, kemungkinan pergaulannya sama seperti anak homeschooling, yakni tergantung kepribadian anak dan lingkungan yang kondusif.

Begitulah, sedikit mengkhianati kurikulum, sama sekali tidak rugi ternyata....

No comments:

Post a Comment