29 May 2013

BERHENTI MENGELUH JIKA....

Kemarin ketika saya dan suami ngobrol ringan, dia bertanya, "Apakah dosen yang harus membuat materi jadi menarik bagi seluruh mahasiswa?"

Suami saya dosen di salah satu PTN, kebanyakan kelasnya adalah mata kuliah matematika.

Saya bilang, "Harusnya begitu. Pendidik harus menunjukan di mana menariknya suatu ilmu."

"But not in university," kata suami saya.

Menurutnya, siswa harus diinspirasi ketika di sekolah, bukan di universitas. Di sekolah ada berbagai macam pelajaran, dan saat itulah guru harus menunjukkan bagian-bagian terbaik dari mata pelajaran yang diampunya, ke mana mata pelajaran ini akan menuju nantinya, dan menjadikan mata pelajaran ini punya 'makna' untuk masing-masing siswa.

Siswa yang kemudian akan menentukan, "Saya memimpikan sesuatu di masa depan, dan mata pelajaran ini akan jadi bagiannya."

Jadi sekolah tidak mempelajari hal-hal terlalu dalam dan teknis, tapi merupakan ekspose dan pencarian minat/bakat. Di universitas, anak harusnya sudah memilih jurusan dengan alasan pribadi, bukan karena 'katanya....' atau 'kayaknya....' atau 'yah, habisnya....'. Dengan demikian, semua mata kuliah akan menarik dengan sendirinya. Atau kalau tidak, semua penting dan dilakukan dengan sukarela.

Begitukah? Harus nanya teman-teman dosen nih kayaknya.

Lalu saya membaca buku Sekolah Anak-anak Juara oleh Munif Chatib. Di sana dia mengutip tabel dari buku Thomas Amstrong berjudul The Best School. Tabel itu memaparkan suasana pendidikan terbaik dan fokus utama yang harusnya kita jadikan tujuan tiap jenjang, mulai dari TK hingga SMA, yang berbasis pada riset pengembangan manusia (bukan pengembangan industri ya, hehehe).

Saya baru sadar bahwa kapasitas otak saya tampaknya tidak mampu mencerna Sisdiknas kita, dan baru mengerti dari tabel sederhana ini, bahwa memang harus ada gambaran besar pendidikan seperti ini dalam membesarkan anak-anak kita, baik di sekolah maupun di rumah. Yang berkelanjutan, yang praktis (mudah dilaksanakan), yang sesuai dengan fitrah manusia, yang mengakomodasi kebutuhan kehidupan.

Anak akan menjelajah dan belajar bagaimana cara dunia ini bekerja ketika berada di pendidikan dasar, lalu mulai bersiap untuk masuk kehidupan profesional dan menemukan di bagiam mana dari dunia ini yang merupakan tempat mereka.

Jika itu terjadi, mungkin saya akan berhenti mengeluh bahwa anak-anak kehilangan minat belajar (terhadap hampir apapun) di usia yang baru 15 tahun, dan suami akan berhenti mengeluh bahwa mahasiswanya have no idea tentang kenapa mereka memilih jurusan dan apa yang mereka tuju sebenarnya dari pilihan tersebut.

25 May 2013

MENULIS PUISI

Membaca artikel di Guraru.org berikut, saya juga jadi kepingin ikut berbagi.

Saya biasanya mules-mules tiap masuk semester dua. Apa pasal? Karena harus mengajarkan menulis puisi*. Masalahnya, saya merasa tidak bisa menulis puisi, dan memang hampir tidak pernah. Jadi bagaimana saya mengajar puisi ke anak-anak?

Dan lagi, bisakah menulis puisi diajarkan? Entah dengan orang lain, tapi orang-orang yang saya kenal jago menulis puisi bisa membuatnya tanpa belajar teknik lebih dulu, seperti kata-kata langsung berhamburan saja dari kepalanya.

Baiklah, saya ada beberapa teknik, hasil nyontek dari berbagai buku dan sharing guru lain. Tapi penting untuk saya mengakui keterbatasan saya di depan siswa, dan mengajak untuk belajar bersama saja.

Materi Puisi mencakup puisi lama dan puisi modern. Di kelas kepenulisan, baik prosa maupun puisi, materi selalu dimulai dari yang paling nyata dan dekat dengan siswa. Maka materi puisi kami mulai dengan puisi modern.

Berikut adalah lesson plan yang saya gunakan (ket: > adalah latar belakang, >> adalah langkah-langkah, >>> adalah sumber belajar/keterangan).

Sesi #1: Pendahuluan
> Siswa perlu mendapatkan dasar tentang apa itu puisi sebelum membaca dan menulisnya sendiri.
>> Menggali pendapat siswa dan berdiskusi tentang apa itu puisi, sesering apa puisi terlibat dalam hidup mereka, dari mana puisi muncul, apa manfaat puisi, jenis puisi apa yang mereka baca, dan apakah pernah menulis puisi.

Sesi #2: Lirik Lagu Populer
> Lirik lagu adalah bentuk puisi yang paling dekat dengan siswa
>> Menganalisa lirik lagu favorit masing-masing siswa sebagai puisi, membandingkan keunikan ide dan gaya  kepenulisan, memperkenalkan beberapa lirik lagu yang lebih puitis.
>>> Lirik lagu yang direkomendasikan: ciptaan Taufiq Ismail pada lagu-lagu Chrisye dan Bimbo, Dewi Lestari, Katon Bagaskara untuk KLa Project, Ariel untuk Peterpan, Eross untuk So7, dan Noe untuk Letto.

Sesi #3: Penyair Besar Indonesia
> Siswa harus mengasah kepekaan pada puisi sebelum menulisnya sendiri, dengan cara membaca puisi-puisi terkenal
>> Membaca beberapa puisi dari masing-masing penyair: Chairil Anwar, WS Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bahri dan mengungkapkan pendapat tentang puisi favorit mereka dan kenapa, apa makna yang di tangkap, ungkapan apa yang paling mengena di hati, imaji apa yang tercipta di benak mereka
>>> Sesi ini membutuhkan lebih dari 6 jam pelajaran @ 45 menit

Sesi #4: Menulis Puisi dari Prosa
> Teknik ini dianggap paling mudah karena sudah ada 'bahan baku' sebelumnya.
>> Siswa menuliskan prosa puitis, lalu menjadikannya puisi dengan mengubah paragraf menjadi bait dan memeras kata-kata yang tidak perlu untuk mendapatkan inti
>>> Siswa perlu berlatih >2 kali untuk sesi 4-6

Sesi #5: Menggunakan Metafora dalam Puisi
>> Kelas bersama membaca salah satu puisi sebagai model, dan mendiskusikan metafora dan makna yang ada di dalamnya. Guru memberi satu tema untuk dibuat seperti model yang telah dibaca. Misalnya, guru mengeluarkan setangkai cabe kering dan menugaskan siswa, "Buatlah puisi patah hati dengan metafora dari 'cabe keriting'."
>>> Puisi yang dijadikan model: Dalam Doaku karya SDD.

Sesi #6: Permainan Diksi dalam Puisi
>> Kelas bersama membaca salah satu puisi sebagai model, dan mendiskusikan diksi dan makna yang ada di dalamnya. Siswa diminta mengumpulkan 100 kosa kata yang berawalan sama dengan huruf awal nama masing-masing. Setelah itu, siswa akan membuat puisi seperti model dengan bahan baku dari 100 kosa kata yang telah dikumpulkan.
>>> Membutuhkan KBBI dari perpustakaan. Puisi yang dijadikan model: Sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bachri

Baik, sampai di sini saja lesson plannya. Kalau dilihat di atas, wajar jika seluruh materi puisi (lama dan modern) tidak selesai dalam satu semester. Untuk puisi modern saja, perlu setidaknya 12 pertemuan (4 bulan).

Meski demikian, saya puas. Anak-anak terlihat bersemangat belajar puisi. Kadang ketika puisi dibacakan, anak-anak terlihat 'meleleh' mendengar kata-katanya dan imaji yang tercipta (para siswi tentu saja lebih ekspresif dalam hal ini). Ketika masuk ke sesi #4 dan seterusnya, antusiasme siswa bertambah, karena 2-3 puisi terbaik akan mejeng di majalah sekolah.
*******

*Saya guru Bahasa Jepang, tapi juga mengampu kelas Kepenulisan (2 jam pelajaran). Untuk semester pertama, materinya adalah prosa, sedang untuk semester berikutnya puisi. Itupun tidak selesai materinya karena ternyata melatih anak supaya terbiasa (belum sampai mahir) menulis itu perlu waktu panjang. Untunglah untuk hal-hal di luar prosa dan puisi (alias materi UN) sudah ditangani rekan saya Bu Erna.

CETAR MEMBAHANA

Setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami menyebarkan angket di kelas pengembangan diri. Siswa bebas memberi masukan tentang sekolah, yang baik maupun yang buruk. Minggu ini, angketnya bertema GURU. Untuk kelas XI dan XII, bentuknya masih pertanyaan atau kuesioner. Sebelah kanan untuk guru yang cara mengajarnya asik, cara memberi ujiannya asik, cara gaulnya asik, penanganan kelasnya asik, penguasaan materinya asik, sedang yang sebelah lagi yang kebalikannya. Paling akhir adalah kritik umum dan saran.


Untuk kelas XII, bentuknya sudah esei atau uraian yang tidak banyak panduan. Karena sudah cukup besar, tampaknya menulis panjang-panjang bukan masalah bagi mayoritas anak-anak kelas XII. Mereka bebas mengambil dari sisi mana saja untuk dituliskan.


Tak ada satupun yang bilang saya akrab dengan siswa. Entah apakah hal itu memang perlu diperbaiki, atau dibiarkan saja. Kan memang no body's perfect. Tapi lumayanlah, ada yang bilang, "Bu Irma dandanannya CETAR MEMBAHANA..."

Gyahahahahaaa.... ^_^;
 
Oh ya, lihat kotak merah dan hitam di gambar kedua? Itu yang namanya inkan, atau stempel nama pengganti tanda tangan. Kami membuatnya di kelas Bahasa Jepang, tapi anak-anak memakainya di mana-mana. Yang seperti ini yang bikin saya kegeeran *^_^*

BUKAN BARANG ASING


Ketika keluar dari ruangan pengumuman kelulusan, saya terkejut menemkan siswa-siswa kelas X dan XI tumpah ke koridor. Mereka berdiri di sisi, seperti menyambut kakak kelas mereka yang baru saja menerima amplop basil ujian.

Tidak tau siapa yang memulai, tapi ini spontanitas saja. Tak ada guru yang menyuruh atau mengatur mereka.

pada nungguin anak kelas xii lewat di ujung sana

Mungkin ini salah satu keuntungan sekolah yang isinya tak lebih dari 200 orang. Semua saling kenal dan sering berada dalam kegiatan yang sama. Kelas seni dan Rohis kami digabung, tidak pertingkat. Di OSIS juga demikian. Kami punya tradisi yang melibatkan seluruh siswa secara intens tanpa terkecuali (bukan hanya anak OSIS atau panitia), seperti pementasan teater kolosal, SMA Fair, dan  menginap di sekolah setiap malam Maulid dan makan dari nampan bersama-sama. Prinsip sesuai hadist bahwa 'yang lebih tua dihormati, yang lebih muda di sayang' juga masuk dalam materi kelas pengembangan diri.

wawan dan syarif waktu itu kelas xii, ariq kelas xi, yang lain ga keliatan mukanya jadi saya ga tau kelas berapa. mereka makan senampan berenam.

Masalah pasti ada saja, biasalah. Ada kelompok-kelompok di kelas, ada gesekan dengan kakak/adik kelas. Tapi kasus bullying memang hampir tidak ada. Jadi anak kelas X, XI dan XII duduk barang di kantin atau saling ledek dengan akrab di twitter kelihatannya bukan barang yang terlalu asing di sekolah kami.

 nita, imel dan madda waktu itu kelas xii, citra masih kelas xi (pake jaket osis), gita, fitri dan anoy masih anak baru. semua makan bareng semeja di kantin.

23 May 2013

BENER BANGET!



HAHAHAHA.....

Ini bener banget!

Teman-teman saya pikir saya guru entertainer, pendongeng, dengan gitar dan kostum, di kelas yang penuh suka cita dan keriaan.

Ibu saya pikir, saya guru sepintar Einstein.

Orang-orang pikir, jadi guru itu santhaaayyy.... Waktu lebih fleksibel, pekerjaan lebih ringan, tanpa target dedline dan project yang menguras energi.

Siswa saya pikir, saya adalah jelmaan Severus Snape of Slytherin.

Saya pikir, saya guru inspiratif, yang bertugas menemukan permata-permata berharga dan menginspirasi mereka menjadi orang-orang hebat.


Ternyata yang sebenarnya saya lakukan adalah.....

Menghadapi segala kegilaan ujian nasional, kurikulum setebal bantal yang tidak dipahami, bolak-balik mengurus pemberkasan sertifikasi yang uangnya tak kunjung cair dari bulan Januari, setumpuk catatan kasus siswa, kekurangan dana, disinisi salah satu rekan sejawat, dan diantara semua itu, some how harus mengajar dengan baik di kelas.

b^o^;d