26 February 2012

SEKOLAH YANG MENGANCAM


“Lari lima putaran! Jemur satu jam! Jalan jongkok sampai pagar!
Pernah menerima perintah-perintah seperti di atas ketika sekolah dulu? Apa sekarang anak-anak anda masih menerima hukuman yang sama di sekolahnya? Di sekolah tempat saya mengajar, ya, masih.
Primitif memang, mengganjar kesalahan seperti terlambat, tidak memakai atribut lengkap, absen, atau kabur melompati pagar sekolah dengan hukuman fisik. Jaman berlalu, dan sistem yang sama masih berlaku. Pertanyaannya: apakah ini penerapan disiplin, atau kekerasan dalam pendidikan?
Jangan kira kami tak melakukan usaha perbaikan. Sudah beberapa tahun belakangan, sistem poin diterapkan. Surat-surat peringatan dikeluarkan pada batas jumlah poin tertentu, dan ada batas maksimal poin pelanggaran bagi setiap siswa. Inginnya adalah sebuah sistem yang lebih beradab, yang bisa mendorong siswa untuk berprilaku baik tanpa mengandalkan kekerasan. Bagaimana hasilnya?
Kami mengevaluasi tingkat pelanggaran. Ternyata, anak-anak ini merasa tidak ‘terhukum’ oleh catatan poin, dan jumlah kasus semakin banyak terjadi. Baru semua ribut-ribut pada saat dapat surat peringatan dan pemanggilan orang tua. Tiap semester, wali kelas vs bagian kedisiplinan bersitegang membahas apakah siswa A atau siswi B dipertahankan atau tidak. Semakin banyak jumlah siswa yang masuk dalam daftar pembahasan, ketegangannya semakin bertambah.
Mungkin kami tak cukup sabar menunggu, karena di mana pun sistem baru memang perlu waktu. Sayangnya kami tak punya yang namanya waktu. Daripada kedisiplinan berjalan amburadul dan mempengaruhi iklim belajar, sistem hukuman primitif pun kembali dilakukan: kami mengancam dengan hukuman fisik.
Beberapa guru mencoba mencari jalan lain untuk mengganti ancaman hukuman fisik. Ada guru yang mewajibkan anaknya melafalkan wirid tiga kali balik. Ada guru yang mewajibkan menulis istighfar 300 kali, ada guru yang mewajibkan menulis tiga lembar rumus matematika sebelum anak masuk kelas.
Lalu pertanyaan berikutnya: apakah nantinya hukuman identik dengan zikir, istigfar dan rumus pelajaran? Kalau iya, bagaimana bila anak trauma pada hal-hal baik tersebut nantinya, hingga sampai seterusnya akan menghindari zikir, istighfar dan rumus?
Tapi ancaman di sekolah memang bukan cuma fisik saja. Sering kita temui ancaman verbal, juga mental yang dilakukan atas nama ‘menjaga kedisiplinan dan efektifitas belajar’. Satu lagi, nilai. Kerjakan ini, kamu dapat nilai. Jangan coba-coba mangkir, merah nilaimu, tak naik kelas kamu.
Suami saya adalah termasuk orang-orang pertama yang ditugasi pihak fakultas untuk menerapkan SCL pada matakuliah yang diampunya. SCL, atau student centered learning, menghendaki dosen berlaku sebagai fasilitator. Dia harus berupaya membangkitkan motivasi terhadap mata kuliah tersebut, sehingga tak perlu ada ancaman untuk membuat anak-anak ini belajar.
Berhasilkah? Tidak selalu. Berkali-kali suami saya mengaku hampir putus asa. Merasa sudah berusaha maksimal berimprovisasi seraya menjauhi negative encouragement, tapi ternyata anak-anak yang kuliah di perguruan tinggi negeri favorit ini tak merasa harus bergerak bila tak diancam akan gagal bila tugas tak diserahkan atau absen kosong melompong.
Manusia, katanya, adalah pembelajar alami. Semua yang diketahui anak hingga usia 4 tahun adalah hasil belajarnya yang alami, penuh semangat dan antusiasme. Di sekolah, ke mana antusiasme itu? Kenapa kita harus mengancam agar anak mau belajar?
Mungkin memang baiknya hukuman dikaitkan dengan hilangnya kesenangan. Bila anda melanggar, kesenangan yang anda dapat di sekolah akan hilang. Kelihatannya cukup adil, bukan? Sayangnya saya belum menemukan, kesenangan apa kira-kira yang masih ada di sekolah sekarang ini.

4 comments:

  1. Saya pernah dengar kalau di QT, siswa yang terlambat, diminta untuk menuliskan atau menggambarkan pengalaman mereka mengapa sampai terlambat. Hingga akhirnya terbitlah satu buku, yang berisi cerita "terlambat" mereka.

    Kalau saya pikir sebetulnya anak-anak itu cuma pingin di dengar. Saya sependapat sama Irma, saya tidak punya jurus ampuh supaya mereka suka sekolah, karena sekolah sejak lama sudah hilang esensinya sebagai tempat yang menyenangkan, tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bermain

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, bisa juga.
      kita memang harus mencari cara2 yang lebih kreatif dalam memberi hukuman yah.
      makasih idenya, mba lea.

      Delete
  2. Ibu Irma,
    Kebetulan di sekolah saya tidak ada cleaning service. Jadi siswa yang terlambat harus menerima konsekuensi jadi cleaning service 'dadakan' di sekolah. MIsalnya cuci piring, bersihkan halaman sekolah, lap jendela, mengatur kenderaan di tempat parkir, dll. Selesai kerja baru boleh mengikuti pelajaran. Motivasinya: jika dikerjakan dengan ikhlas berpahala, jika dikerjakan sambil ngomel, sudah terlambat...nambah dosa lagi. he he he...
    Semoga cara ini masih 'sehat'

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga belum bisa membedakan, mana yang lebih sehat dan mana yang seharusnya tidak dilakukan. tapi ide bersih2 itu oke loh, bu ayu.

      Delete