15 March 2013

UJIAN SEKOLAH

Amiiiin....
Minta difollow?

Baiklah, difollow ^_^

Sebelum tandatangan ini jadi mahal beberapa tahun lagi.

Loh, kok ada noda saos kantin?

CHARLOTTE MASON DI KELASKU


Yang sudah baca blognya Mba Lea Kesuma pasti nyengir, karena saya memang copas blas judul di atas dari salah satu judul tulisan Mba Lea. Akhirnya, saya menerapkan metode ini juga di kelas, berkat inspirasi dari Mba Ellen Kristi, dan mengikuti jejak Mba Lea van Salatiga. Tidak seluruh metode digunakan, hanya pada bagian narasi saja.

Charlotte Mason
Narasi adalah menceritakan baik lisan maupun tulisan apa yang sudah dibaca/didengar. Dalam Islam, kita mengenal ucapan Sayyidina Ali r.a, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Dalam teori pendidikan modern kita juga mengenal tentang kostruktivisme. Kedua hal di atas searah sejalan dengan narasi dalam metode Charlotte Mason. Ketika anak 'mengeluarkan' kembali, dia akan secara swadaya mencerna pengetahuan, dan pengetahuan itu akan menjadi milik pribadinya (Ellen Kristi, 2012: 93)

Di kelas, saya menggunakan narasi lisan. Caranya adalah dengan membacakan anak 1-2 bab dari buku, kemudian saya akan meminta beberapa anak menarasikan, atau menceritakan ulang, secara lisan.

Sebagai guru bahasa, adalah kewajiban saya mengasah keterampilan menyimak dari anak. Terus terang, ini bukan latihan yang mudah. Rentang konsentrasi anak didik saya cenderung rendah dan melupakan detil. Kalau mereka tidak dilatih menyimak, mereka akan kesulitan mengikuti perkuliahan (yang umumnya menggunakan metode ceramah), juga kesulitan menangkap arahan dari atasan ketika bekerja di kantor, permintaan atau komplain dari pelanggan, atau mencerna isi rapat yang panjang.

Biasanya, untuk pelajaran menyimak guru bahasa akan memberi tuturan lisan tentang 'Perkembangan Agrikultur di Indonesia' atau 'Computer Literacy', atau di kelas saya misalnya 'Eki de' yang kebanyakan tidak menarik, baik karena terlalu jauh dari kehidupan siswa, kering, dan hampa nilai. Itulah mengapa metode CM menganjurkan hanya menggunakan livingbooks untuk bahan narasi. Livingbook adalah buku-buku yang terjaga dari sisi bahasa dan moral dan mengandung ide-ide besar yang menginspirasi.

Sebagai guru Bahasa Jepang yang sedikit sekali membaca buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan dan budaya Jepang, saya tidak tahu livingbooks apa yang bisa dipakai di kelas saya. Akhirnya saya memilih Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela untuk kelas X dan Saga no Gabai Baa-chan untuk kelas XI. Keduanya diangkat dari kisah nyata. Pertimbangan saya hanyalah karena saya menyukai buku-buku tersebut.

Setiap saya memulai kelas, saya akan membacakan 1-2 bab dari buku itu. Seperti anak TK yang dibacakan dongeng? Betul! Begitulah kelas saya kira-kira, dan saya bangga tiap bilang bahwa kelas saya mirip TK. Karena setiap saya menggunakan cara guru TK, siswa hampir selalu jadi antusias.

Jadi tiap saya mulai membuka kedua buku di atas dan bersiap membaca, kelas langsung hening tanpa diminta. Malah kalau diizinkan, mereka mau dibacakan saja, tidak harus bertemu dengan huruf-huruf keriting dan terhindar dari menghapal pola-pola kalimat ^_^;. Lagi-lagi, membacakannya tentu saja gaya guru TK, dengan intonasi dan mimik.

Setelah itu, tiba saat narasi. Secara lisan, anak-anak akan mengungkapkan langsung apa yang telah mereka dengar. Nah, ini keterampilan lain lagi, yaitu Berbicara. Berbicara di depan 40an orang bukan perkara gampang. Belum lagi beberapa anak masih berupaya memperbaiki dan mengasah kemampuan konsentrasi mereka. Ketika saya minta menceritakan kembali, ada saja yang nge-blank. terus sambil nyengir-nyengir bilang, "Lupa, Bu!"

Untunglah kami melakukan narasi atas bacaan bebas, bukan materi wajib. Tak ada tekanan standar apapun yang harus dicapai. Jika anak lepas konsentrasinya saat itu, bisa dicoba lagi pada pertemuan selanjutnya. Untunglah materi yang kami baca adalah novel yang menyenangkan. Suasana cair dan fun.

Setelahnya, saya akan menggarisbawahi sekilas hal yang termasuk budaya, sejarah dan geografi Jepang yang ada di bab yang kami baca barusan. Misalnya, di sekitar daerah saya tidak ada stasiun, hingga banyak sekali siswa yang tidak mengerti tentang kartu abonemen kereta ketika membaca bab-bab awal Totto-chan.

Kedua buku yang dipilih juga memiliki setting waktu di sekitar Perang Dunia II, dengan lokasi di Tokyo dan Saga. Ini juga jadi pengetahuan yang menarik bagi siswa, ketika sejarah menjadi hidup dan manusiawi akibat diletakkan dalam karya sastra

Setelah sekitar 15 menit waktu membaca ini, barulah kami masuk dalam materi pelajaran.

Saya sendiri belum mendapat gambaran pasti, apakah kegiatan narasi ini membawa dampak tertentu di kelas. Apakah minat siswa bertambah, apakah membantu mengondisikan (semacam apersepsi) dan menciptakan fokus, apakah rentang konsentrasi siswa bertambah, apakah terjadi perbaikan pada nilai, atau apalah. Yang jelas, ini MENYENANGKAN!

Tapi mungkin lucu juga bila dijadikan bahan PTK ya... ^_^



08 March 2013

BUDAYA SEKOLAH

Di sekolah-sekolah, plang dan spanduk 'Jagalah Kebersihan' atau 'Buanglah Sampah di Tempatnya' bertaburan. Apa kelas jadi bersih? Apa di kolong-kolong meja tak ada lagi sampah bekas makanan? Apa pojok2 dan koridor bebas sampah? Apa lantai kantin rapi?

Banyak pula plang berbahasa Inggris, dari yang bener sampe yang ngaco. Apakah itu membuat siswa lancar berbahasa Inggris? Ataukah membuat siswa memiliki wawasan global? Atau nilai Bahasa inggris bisa terkatrol?

Karena budaya, mulai dari buang sampah, menjawab salam, sampai yang 'besar2' seperti toleransi, wawasan global, kritis, atau apalah, bukan hanya diperintahkan, tapi juga dicontohkan, dilatihkan, dibiasakan, didukung, didampingi, disediakan fasilitasnya. dari semua sisi, oleh semua orang. Sampai semua anggota komunitas di situ merasa bahwa budaya bersih, budaya mengasihi, budaya apapun yang dimiliki, bukanlagi aturan yang diterapkan, tapi kebiasaan. Menang seharusnya begitu. Tidak ada cara lain yang lebih 'gue' dibanding cara itu.

Tentu saja, ortunya dulu sebelum anak. Gurunya dulu sebelum siswa. Hayooo, gimana caranya supaya guru bisa 'berbudaya'?

Omong2, jauh lebih sulit mendidik GURUNYA dibanding mendidik siswanya. lebih sulit mendidik ORTUNYA dibanding mendidik anaknya. Pengalaman pribadi.