31 December 2007

Standing Applause

Ya, saya harus menyampaikan banyak terima kasih kepada Pak Ismail Marahimin, dosen Penulisan Populer di FSUI (sekarang FIB UI). Metode dan materi kuliahnya memang saya contek habis untuk mengajar materi Ragam Paragraf dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas X SMA. Kelas Pak Ismail adalah kelas menulis satu-satunya yang saya ikuti selama ini. Mungkin juga karena itu saya jadi nyontek abis metode beliau, karena gak ada referensi lain, hehehe…


Urusan nyontek metode itu juga termasuk ketika kami mulai masuk materi Narasi. Yang saya ingat, di kelas Pak Ismail, kami memulai penulisan narasi dari menulis kenangan, lalu mengganti akhir cerita rakyat, membuat cerita cinta, sampai akhirnya menulis cerpen bebas. Semua bertahap, dari yang paling dekat dengan kita, melatih bagian demi bagian, hingga satu cerita utuh. Itu juga yang saya lakukan di kelas.


Karena sekolah tempat saya mengajar tidak memiliki halaman yang rindang, saya membawa anak-anak ke selasar masjid pada hari Rabu. Selama 2 jam, mereka boleh menulis di mana saja, asal masih di lingkungan masjid, sambil bersandar, selonjoran, atau tiduran. Iya dong, otak kan harus dalam keadaan flow ketika belajar, apalagi belajar mengarang yang perlu banyak menggunakan imajinasi.


Saya membagikan 3 cerita kepada mereka: Roro Jonggang, Timun Mas dan Jaka Tarub. Semua cerita itu hanya sampai pada konflik. Anak-anak itu yang harus membebaskan imajinasi mereka dan menyelesaikan akhir ceritanya se’gila’ mungkin. Dan mereka melakukannya.


Saya tertawa-tawa melihat hasil tugas kali ini. Bagaimana kalau teryata Nawang Wulan yang kembali ke kahyangan justru didorong jatuh lagi ke bumi oleh saudara-saudaranya karena mereka iri pada Nawang Wulan yang menikah? Atau juga bagaimana jika Nawang Wulan meskipun menemukan selendang namun tidak berminat kembali ke kahyangan dan justru menjadi pengusaha yang sukses menjual selendang ke tukang jamu gendong?


Atau Bandung Bandawasa yang marah di pagi itu menemukan Roro Jonggrang sedang minum kopi, lalu mengutuknya, bukan jadi candi Prambanan, tapi jadi kue tart? Kok kue tart? Iya, soalnya menurut Bandung, gak sip kalau minum kopi gak pake kue tart! Huahahahaha… Ada-ada saja anak-anak ini!


Di pertemuan selanjutnya, saya meminta anak-anak berdiri dan bertepuk tangan. Standing applause! Mereka melakukannya, walaupun bingung, untuk apa dan untuk siapa tepuk tangan ini. Saya kemudian menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 hal yang membuat saya bangga hari itu.


Pertama, saya membolehkan gaya belajar yang santai, tapi mereka tak ada yang mangkir dari tugas, termasuk beberapa anak-anak yang sulit. Mereka membuktikan bahwa mereka bisa bertanggung jawab. Kedua, tak ada satupun cerita yang sama, dan ini membuktikan mereka memakai otak sendiri. Tidak ada acara mencontek hari itu. Ketiga, akhir cerita yang mereka buat begitu beragam, dari romantis sampai konyol, membuktikan bahwa mereka memang kreatif. Hebat!


Mendengar penjelasan saya, serentak kelas itu mengulangi standing applause, tanpa dikomando. Saya mengerti, anak-anak ini sekarang tahu kalau mereka telah melakukan hal yang baik. Tepukan mereka adalah tanda penghargaan bagi diri sendiri, satu hal yang kadang sulit mereka dapatkan.


Ah, saya memang suka jadi guru.

19 November 2007

Hari Pertama

Coba ingat-ingat, apa yang terjadi di hari pertama sekolah kita masing-masing? Menyenangkan? Kalau saya, ketika masuk SMP, tiga hari pertama diisi ceramah umum dari direktur ma'had. Bagus, tentu saja, tapi tidak bisa dibilang menarik. Waktu SMA, tiga hari pertama ada penataran P4. Hasilnya, saya tidak pernah paham tentang wawasan wiyatamandala dan teman-teman sebangsanya. Terakhir, waktu kuliah, tiga hari pertama saya dibentak-bentak senior, bawa tas karung terigu berisi singkong rebus, dan pakai kalung dari gula merah.


Nah, hari pertama sekolah itu traumatis kan, jadinya.


Kenapa saya jadi mengingat-ingat masa lalu? Itu karena beberapa teman di Jepang bercerita tentang nyuugakushiki (mudah2an gak salah nulis) anak-anak mereka di TK atau SD. Nyuugakushiki adalah upacara masuk ke sekolah baru. Diceritakan bahwa pada acara tersebut, semua berpakaian formal, dengan jas dan gaun resmi atau kimono. Ada pejabat lokal, ada penyambutan, ada kamera. Semua acara orang tua dibatalkan untuk menghadiri penyambutan anak mereka yang masuk SD, atau bahkan TK.


Wah, wah. Begitukah awal hubungan antara arang tua dan pihak sekolah? Hm, coba saya ingat-ingat tentang hubungan orang tua dan pihak sekolah yang terjadi di tempat saya mengajar. Kapan orang tua datang ke sekolah? Ketika pengambilan rapor, saat dipaparkan pada mereka tentang nilai-bilai anak mereka yang merah terbakar. Kapan lagi? Hm, saat ujian semesteran sudah dekat dan tunggakan SPP sudah 4 bulan belum terbayar. Kapan lagi? Tentu saja saat anak benar-benar sulit ditangani dan terpaksa dibuatkan surat perjanjian atas tingkah-tingkah keterlaluannya. Wah, menakutkan sekali. Tak ada awal yang baik seperti nyuugakushiki di atas.


Bagaimana dengan hari pertama bagi siswanya? Pengalaman saya, ya di atas tadi. Sampai sekarang, acara orientasi seperti Masa Bimbingan Studi masih saja menyisakan bau-bau perpeloncoan. Banyak anak yang masih merasa bahwa acara MBS menambah beban mereka yang masih digelayuti kekhawatiran tentang proses adaptasi di tempat baru.


Dibandingkan dengan MBS, nyuugakushiki terlihat lebih menghormati dan menganggap anak penting di hari pertama sekolah. Mereka tidak memakai topi konyol atau dandanan aneh, tapi mengenakan busana terbaik mereka didampingin orang tua yang sama rapihnya. Atau bila kita lihat malam pertama di Hogwart, sekolah berasrama tempat Harry Potter belajar, suasananya amat berbeda. Kepala sekolahnya bicara sepatah dua patah kata, lalu… makan malam lezat untuk semua. Awal yang menyenangkan.


Ini Indonesia, tentu saja, bukan Jepang. Hogwart pun juga tidak nyata. Tapi ide tentang awal yang baik dan menggembirakan di sekolah adalah nyata, dan bisa diwujudkan.

04 November 2007

Hari Ini, Gunakan Otak Kanan Dulu

Bangun tidur, kamar masih gelap, belum melakukan apa-apa, sementara pikiran melayang pada jadual hari ini. Seprai sudah saatnya dicuci. Si kecil perlu buah untuk bekal sekolah besok, sekalian mampir beli sabun cuci piring. Cucian kering sudah segera harus disetrika. Kursus habis zuhur. Sempatkan baca buku yang sudah tertunda dua minggu.

Apakah anda punya rutinitas seperti di atas, bangun pagi dan segera terbayang daftar pekerjaan yang harus diselesaikan? Kalau iya, berarti anda mirip saya. Kalau kemudian daftar panjang itu dikomentari sendiri dengan keluh: "Haaah, hari yang berat, neeeh....," maka itu tanda anda bukan hanya mirip, tapi mirip banget dengan saya.

Sebenarnya saya baru sadar memiliki rutinitas seperti itu, rutinitas yang katanya 'mendahulukan otak kiri.' Seperti yang sudah kita tahu, otak kiri adalah tempat bagi logika, keteraturan, urutan, rencana, aturan dan semacamnya. Itu semua membuat apa yang kita lakukan terorganisasi dengan rapi. Sayangnya, tak ada kegembiraan di sana. Kalau tidak ada kegembiraan, tak ada semangat. Kalau tak ada semangat, jadilah rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga sebagai sumber stres.

"Gunakan otak kanan dulu!" begitu nasihat Hernowo dalam bukunya yang sekarang sedang saya baca (blum slesai sih, hehehe...). Otak kanan adalah tempat yang acak, tapi ia menggerakkan emosi, semangat, keingintahuan, imajinasi, kebebasan dan gairah. Dengan memulai dari sini, kita bisa merubah jadual harian menjadi sesuatu yang lebih 'fun.'

Bagaimana caranya?

Ingat-ingat, kegiatan apa yang membuat kita gembira hari ini? Oke, kita nantikan kedatangannya dengan bersemangat. Kegiatan apa yang bisa membebaskan diri dari masalah? Wah, bukankah itu amat baik dilakukan? Ayo lakukan! Lalu, apakah kegiatan hari ini menambah kekayaan batin saya? Kalau ya, berarti menjalani hari ini memang berkah-Nya. Apakah ada hal baru yang akan saya temui hari ini? Wah, apa ya, kira-kira? Jadi gak sabar nih...

Bukankah indah mengawali hari dengan antusiasme seperti di atas?

Anak saya, sering mengeluh karena lama sekali waktu yang harus dilewati agar sampai pada jadual nonton tv jam satu siang. Dulu saya hanya menjelaskan kalau dia harus mandi dulu, sarapan, berangkat sekolah, pulang, mengerjakan tugas kalau ada, makan siang, tidur siang, baru nonton tv.

Mungkin besok saya akan terangkan kalau dia akan lebih dulu main air di bak bersama adik, makan makaroni keju, lalu bermain dan bernyanyi dengan bu guru dan teman-teman, dijemput mama, menghabiskan lauk kesukaan, mengistirahatkan badan agar segar, lalu nonton serial favoritnya. Hm..., rasanya memang lebih menimbulkan antusiasme.

Setelah itu, setelah antusiasme muncul dan bergelora, pakai otak kiri agar jadual hari ini tidak acak-aduk. Otak kiri membantu kita mengatur apa yang harus didahulukan, apa yang harus diingat, apa yang harus ditambahkan, berapa lama kita harus melakukan suatu kegiatan, bagaimana langkah paling efektif dan efisien yang harus diambil, dan seterusnya, dan seterusnya.

Otak di kepala ini nikmat yang tak ternilai, bukan? SubhanaLlah, alhamduliLlah.

Jadi, hari ini, pakai otak kanan dulu, lalu sempurnakan dengan yang kiri. Selamat menjalankan hari yang indah ini!

Konstruktivisme dan SAVI

Saya memang tidak tahu banyak soal ilmu kependidikan. Itulah mengapa saya baru tahu tentang apa yang disebut konstruktivisme. Ternyata, susunan kata yang ribet itu membuat saya terpesona. Ini karena ia merupakan aliran dalam ilmu kependidikan yang menyatakan bahwa ilmu tak dapat dipindah seperti kita menuang air dalam gelas. Ilmu hanya bisa dipindahkan bila si pembelajar itu mengkonstruksi pengetahuan yang didapat dalam dirinya sendiri.

Bayangkan air yang dituang dalam gelas. Apa yang terjadi padanya? Hampir tak ada. Diam, pasif, walaupun cepat penuh. Sekarang, bayangkan jika air dituang ke benih pohon. Benih itu menyerapnya, mungkin lebih pelan dibanding mengisi air ke gelas. Air diubah menjadi berbagai zat, dibawa ke semua bagian, dan membuat pohon itu tumbuh, besar, mungkin juga berbunga, dan berbuah. Itulah tamsil bagi konstruktivisme.

Berapa lama, ya, saya menjadi anak sekolahan? Tentu bila dihitung, ratusan buku sudah saya pelajari selama belasan tahun. Kenapa saya merasa kalau sedikit sekali yang saya ingat? Jangan-jangan saya ini 'gelas' juga, yang terus diisi, tapi luber kemana-mana. Akhirnya, ya segitu-segitu juga isinya.

Jadi, bagaimana dong mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat? Secara teori, caranya bisa macam-macam. Misalnya, kita bisa langsung mengerjakannya, dengan tubuh dan indera kita (Somatis). Di mana-mana, yang namanya praktek dan terjun langsung selalu membuat kita lebih paham.

Bila bertemu kata sulit atau kalimat yang perlu diingat, ucapkanlah keras-keras. Ulangi dengan berirama, ucapkan seolah kita mengajar di depan kelas, atau minta orang lain mengucapkannya. Biarkan diri kita mendengarnya (Auditori).

Siklus air, rantai makanan, atau bahan resep kue akan lebih 'nyantol' bila kita menggambarnya. Kalau merasa sama sekali tak berbakat, paling tidak kita bisa membayangkannya dalam pikiran. Mencatatlah dengan menambah gambar yang berwarna-warni, karena otak lebih sensitif pada gambar dan warna (Visual).

Bila membaca, usahakan memegang catatan dan alat tulis. Mencatat kembali dengan bahasa sendiri mengharuskan kita mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat (Intelektual). Membaca dengan mencatat ini yang disebut dengan 'mengikat makna,' karena apa yang kita baca akan meninggalkan sesuatu.

Keempat cara diatas dikenal dengan SAVI, somatis, auditori, visual, intelektual.

O ya, ngomong-ngomong tentang mengikat makna, sebenarnya itulah yang saya lakukan saat ini. Saya menuliskan kembali apa yang bisa saya tangkap dari sebuah buku yang sedang saya baca. Siapa tahu bermanfaat juga bagi anda, yang baca.

Bukan Saya Favorit Mereka

Suatu kali, saya meminta siswa di kelas membuat karangan eksposisi dengan judul PALING SUKA. Di sana, mereka akan memaparkan apa yang paling mereka suka, dari makanan, hari, pakaian, diri sendiri, sampai pelajaran.

Saya memang selalu menikmati saat mengoreksi tugas mengarang. Bangga juga melihat hasil tulisan anak-anak ini. Ternyata, mereka kebanyakan mampu menulis satu sampai dua halaman di buku tulis besar. Kuncinya, beri mereka judul atau tema yang menarik, seperti tema 'paling suka' tadi.

Saya tersenyum-senyum, mengetahui apa yang paling siswa-siswa sukai dan alasannya. Ada yang suka nasi uduk di Rawabelong, yang jauh sekali dari sekolah kami. Ada yang suka hari Kamis, karena katanya hal baik sering terjadi padanya di hari itu. Ada yang suka rambut yang menurutnya keren, atau suara yang katanya indah.

Yang saya perhatikan sebenarnya ketika sampai pada paragraf yang menjelaskan tentang pelajaran favorit mereka. Saya menanti-nanti, hingga buku terakhir selesai dikoreksi. Menanti apa? Tentu saja menanti berapa orang yang memilih Bahasa Indonesia, pelajaran yang saya ajar, sebagai pelajaran yang mereka paling suka.

Berapa anak yang ternyata memilih demikian? 3 orang!

Suami saya tertawa ketika saya mengadukan jumlah itu padanya. Apa yang salah, ya? Rasanya saya sudah mencoba membuat suasana se'fun' mungkin. Saya memilih judul yang menarik untuk mengarang, memakai spidol berwarna di papan tulis, menggunakan mind map saat mencatat, membiarkan mereka bermain dengan kertas origami dan spidol warna sesering mungkin, memamerkan karya di mading, dan sebagainya. Mendengar alasan-alasan itu, suami saya tambah terbahak-bahak.

Akhirnya saya juga ikut tertawa. Ah, nggak lah. Bukan untuk jadi guru favorit saya mengajar. Penghargaan kan bukan dari manusia. Kalau ternyata bukan pelajaran saya yang mereka paling suka, apa lalu saya jadi kehilangan antusiasme mengajar? Saya berusaha memberikan yang terbaik, karena Allah saja yang diharapkan ridhaNya. Amin.

Mmm... Ngomong-ngomong, judul apa ya, yang akan saya berikan untuk mengarang pekan depan? Bagaimana kalau... 'Belajar Bahasa Indonesia bersama Bu Irma,' hehehe... Suami saya kayaknya bakal bilang sambil setengah meledek, "Udahlah, Neng. terima aja kalau Bahasa Indonesia bukan favorit mereka..."

Bahagia Jadi Guru

Ketika kami, saya dan keluarga, keluar dari Padasuka menuju Suci, dua nama jalan di Bandung, saya melihat spanduk dari sebuah lembaga amil zakat. Bunyinya begini: Cinta guru dengan zakat, atau semacam itulah.

Terus terang saya terkejut. Ada dua hal yang menyebabkannya. Yang pertama, ada sebuah profesi yang katanya begitu mulia, menjadi awal dari semua profesi yang ada, membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi, namun para penyandangnya justru menjadi mustahiq zakat. Yang kedua, sampai ketika membaca spanduk itu, saya baru dihadapkan pada pihak yang berani menyatakan bahwa guru termasuk mustahiq, yang artinya tak jauh dari lingkaran fakir miskin.

Sementara itu, kurikulum lewat sekolah, menghendaki guru membuat program tahunan, program semester, Distribusi tiap kompetensi dasar, rencana pembelajaran harian, portofolio, soal ujian, pengoreksian jawaban, nilai ulangan blok, nilai praktek, sampai absensi siswa. Selain itu kehadiran, ketepatan waktu, potongan-potongan gaji dan seterusnya ikut memenuhi kepala para guru.

Bagaimana dengan sertifikasi guru yang sekarang sedang ramai-ramainya? Bukankah sertifikasi dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru? Ah, mengajar 30 tahunpun, yah, 30 tahun, belum jaminan seorang guru bisa mendapatkan poin cukup untuk disertifikasi.

Kondisi ini menerbitkan pertanyaan di hati:
Ketika kondisi ekonomi sedemikian sulit, di mana harus diletakkan idealisme dan antusiasme mengajar seorang guru?
Bila memilih profesi guru berarti memilih hidup sederhana, bagaimana cara menjadi guru yang bahagia?

14 September 2007

Kurang? Terlalu?

Dalam sebuah kesempatan, saya mendorong meja ke tengah ruangan dan bertanya, "Silakan maju ke meja, bila ada di antara kalian yang merasa malu karena kurang cantik, kurang ganteng, kurang putih, kurang tinggi, terlalu gemuk, terlalu kurus, atau terlalu banyak jerawat." Segera setelah saya selesai berbicara, ketiga puluh siswa yang ada di kelas itu maju mendekati meja, tanpa sisa seorang pun di belakang.

Saya kaget, tentu saja. Saya jelas-jelas melihat banyak sekali wajah yang manis di kelas itu. Beberapa bahkan memenuhi kriteria cantik atau ganteng, bila kita memakai standar sinetron televisi. Tapi begitulah, semua remaja ini ternyata merasa diri mereka tidak cukup: kurang cantik, kurang ganteng, kurang putih, kurang tinggi, terlalu gemuk, terlalu kurus, atau terlalu banyak jerawat.

Saat itu pula, deretan gambar mengilas di mata saya. Seorang anak perempuan kelas 3 SD yang memakai kacamata minus 4 dan teriakan 'wonder woman' --seorang superhero berkacamata-- dari teman-teman sekelas. Rasa yang ditimbulkan teriakan itu menetap jauh lama, hingga masa-masa SMA. Saya menarik napas. Saya mengerti perasaan ketiga puluh anak di atas tadi.

Kenapa seorang remaja ingin memiliki fisik sempurna? Saya kira, ini berhubungan dengan perasaan dicintai dan merasa berharga. Orang cakep akan banyak dikelilingi teman dan disukai lawan jenis, begitulah yang ada di pikiran remaja. Dalam masa kritis seperti itu, tentu lingkungan akan berpengaruh banyak. Misalnya, berapa banyak bintang sinetron remaja yang tumpah ruah di layar kaca yang memiliki tampang biasa saja? Hampir tidak ada. Ada juga sih, yang jelek, gendut, atau kerempeng di televisi. Mereka menjadi orang jahat, pembantu, atau si konyol.

Saya jadi teringat anak sulung saya yang memang lebih kurus dibandingkan anak seusianya. Hal yang dianggap canda, seperti berkata, "Difi kurus banget, nggak kayak Dede. Susah ya, makannya?" mungkin bisa membekas lebih dalam dibanding yang diduga. Saya jadi merasa bersalah, karena sadar atau tidak, mungkin saya telah berperan mengikis rasa aman dan penghargaan pada diri sendiri dari anak saya. Padahal seharusnya dalam keluarga, setiap anak harus diyakinkan bahwa ia dicintai bagaimanapun rupa fisiknya. Ia berharga karena kualitas-kualitas lain: kesalihan, kecerdasan, kebersihan, kemampuan berempati, atau rasa humor.

Kembali kepada tiga puluh anak remaja di awal cerita, saya sungguh berharap mereka akan bisa melewati krisis ini sekarang, di masa-masa SMA. Setelah itu, banyak hal yang lebih penting dipikirkan. Keputusan tentang pengembangan diri, pilihan masa depan, mungkin juga mencari nafkah dan membangun rumah tangga, harusnya tak perlu direcoki lagi dengan masalah seperti apakah hidung saya terlalu besar atau bagaimana agar kulit ini lebih putih.

15 August 2007

Kepalaku Kosong!

Kepala ini kosong! Begitulah rasanya bila saya selesai menyiapkan presentasi, baik itu pelajaran di kelas, maupun yang sifatnya insidental semacam materi untuk masa bimbingan untuk anak baru atau latihan kepemimpinan OSIS. Misalnya, di semester gasal saya telah membawa anak-anak SMA ini menulis sambil berjemur di lapangan, menonton berita di tv, menggambar rumah impian, memajang puisi di mading, sampai bermain pasel. Nah, apa lagi yang saya harus lakukan pada semester berikutnya? Kepala saya terasa kosong! Tapi, akan membosankan sekali bila di semester depan tak ada lagi kejutan menyenangkan selama pembelajaran.

Contoh lain adalah ketika saya menyampaikan materi cara belajar efektif untuk siswa baru. Semua yang pernah saya baca, dan juga yang pernah saya rasakan sebagai pembelajar, saya tuangkan dalam slide. Eeee... ternyata hasilnya hanya beberapa slide. Tidak berimbang dengan waktu yang diberikan. Lha, itu pun sudah membuat otak saya kosong. Kalau ada yang bertanya, "Ada apa lagi tentang cara belajar?," saya akan mengangkat bahu berkata, "That's all I have."

Bandingkan dengan para tokoh di sepanjang sejarah yang menulis puluhan bahkan ratusan buku. Coba bayangkan, berapa banyak isi kepala mereka? Saya membayangkan semua ilmu itu berkecamuk di kepala mereka, saling berkelindan dan menemukan kaitan satu sama lain. Riuh! Tentu saja mereka harus menuliskan ilmu-ilmu itu agar kepala mereka bisa sedikit tenang, bukan?

Kembali pada kesulitan saya mengisi kembali kepala yang kosong ini. Tentu saja saya bisa ambil cara gampang. Ikuti saja terus apa yang ditulis dalam buku. Aman! Begitukah kelihatannya? Wah, resikonya justru lebih besar, berbahaya, dan laten. Saya akan menjadi sosok yang saya takuti: guru yang menyampaikan hal yang sama selama belasan tahun, tanpa revisi, tanpa inovasi. Dan di setiap tahun yang berlalu, antusiasme akan hilang pergi bersama waktu. Mengerikan!

Benar yang dikatakan orang. Mengajar akan memaksa kita belajar, karena ya tadi itu, mengajar akan membuat kepala kita kosong. Mungkin ilmu yang diajarkan sama, tapi metode dan cara penyampaian selalu bisa divariasikan. Tapi ini cuma kalau kita mau menjadi pengajar yang baik, ya. Sebaliknya, kalau mau mempelajari sesuatu dengan baik, ajarkanlah pada orang lain. Sesuatu yang rasanya kita sudah kuasai, akan terlihat rumpangnya jika kita mengajarkannya pada orang lain. Ini juga dengan syarat bahwa kita mengajarkannya dengan sepenuh hati.

In teaching we learn, in learning we teach.

15 May 2007

Jurusan Bergengsi?

Saya pikir, 'bergengsi' atau tidaknya sebuah jurusan di perguruan tinggi (yang berimbas pada pemilihan jurusan di sekolah), juga dipengaruhi berapa banyak lulusannya yang dibutuhkan dunia kerja. Fakultas ekonomi, misalnya, biasanya merupakan fakultas yang jumlah mahasiswanya bengkak. Alasannya? Yah, lebih mudah mencari pekerjaan, atau dibayar lebih tinggi, cmiiw. Saya yang mengambil jurusan bahasa di SMA, dan melanjutkan ke fakultas sastra, sudah bosan dengar pertanyaan, yang malu-malu atau tanpa tedeng aling2, tentang, "Apa sih, gunanya belajar sastra? Bisa kerja di mana kalau sudah lulus? Berapa gaji yang di dapat nanti?" Ih, cape deeeeh...

Saya mengerti lah, kalau kursi di fakultas tertentu diperebutkan oleh lebih banyak orang. Yang saya kurang sreg sebenernya tentang passing grade (masih dipake gak tuh?). Seolah-olah, mahasiswa di fakultas tertentu lebih bodoh dari fakultas yang lain. Waktu kuliah, terus terang saya juga punya perasaan seperti itu. Setelah saya menikah dan bergaul intens (iyalah, serumah!) dengan seseorang yang sehari-hari berkutat dengan model matematika, kepercayaan diri saya justru meningkat. Sekarang saya tidak ragu kalau kecerdasan saya tidak di bawah atau kurang dibanding suami. Yang berbeda hanya di wilayah mana kecerdasan masing-masing lebih dominan.

Untuk Howard Gardner, makasih ya. Mengabaikan segala pro-kontra yang muncul, multiple intellegencies Pak Gardner membuat saya bisa lebih menghargai diri sendiri, juga menghargai orang lain sebagai pribadi yang unik dan memiliki kecerdasan masing-masing. Ah, ini yang harusnya menjadi spirit pendidikan di sekolah, yah. Penataran guru soal kecerdasan majemuk udah banyak, lho. Bener! Tapi internalisasinya belum. Kemana sih hilangnya semangat dan idealisme para guru? Halah, ini omongan bakal panjang lagi.

23 April 2007

Eskul Film Menang!

Apa saya sudah cerita kalau di sekolah saya mengajar ada ekstrakurikuler Film? Ya, ada. Hihihi, gaya juga yah, macam sekolah orang kaya saja. Pembimbingnya mahasiswa, yang masih idealis hingga mau datang tanpa dibayar. Pesertanya 20% dari jumlah seluruh siswa dan sangat antusias (saya tahu karena hampir semua peserta menyinggung eskul ini ketika saya beri tugas mengarang berjudul ‘Sekolahku’). Setiap pekan mereka berkumpul di ruang sisa yang sempit, nun jauh di pojok lantai tiga sana.

Kemarin sore, saya mendapat sms dari pembina OSIS. Isinya, “Bu, alhmdlh kt jd film tbaik di cinema fever.” Wah, kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan. Ceritanya, salah satu film karya mereka diikutkan dalam festival film antar SMA se-Jakarta Selatan. Dan mereka menang! Ada 3 penghargaan diraih: pencahayaan terbaik, kameramen terbaik dan film terbaik. Selain piala dan piagam, kabarnya ada uang satu juta rupiah.

Saya bertemu mereka keesokan harinya di rumah Bu Aroh, sedang syuting untuk film selanjutnya. Wah, orang sekampung pada ngerubungin katanya, serasa lagi bikin sinetron jadinya. Wajah mereka terlihat sumringah, dan menurut pembimbing eskul, itu piala bergilir menginap di rumah-rumah kru. Oalah….

Bagi saya, penghargaan yang anak-anak itu dapat menandakan bahwa yang mereka lakukan ‘berharga.’ Bila sesuatu dianggap berharga, maka ia harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Bukan begitu bukaaaan?

Lalu, ada beda antara izzah dan kibr. Izzah adalah perasaan bangga dan menganggap diri memiliki arti dan nilai. Bagi remaja, ini hal yang sangat penting, yang bisa meneguhkan eksistensi yang biasanya sedang mereka cari. Mudah-mudahan, kemenangan yang mereka dapatkan bisa menghadirkan izzah di hati mereka.

Kibr, kesombongan, adalah satu hal yang berbeda. Apa sih sombong itu? Rasul bilang, sombong itu merendahkan orang lain dan menolak kebenaran (siapa yang bisa nolong kasih tahu periwayatnya? Plisss…). Nah, kemenangan yang didapat boleh menimbulkan izzah, tapi jangan menumbuhkan kibr. Kemenangan tidak boleh membuat anak-anak ini merendahkan orang lain, apalagi membuat mereka menolak kebenaran.

Terakhir, pada pembimbing eskul, saya wanti-wanti tentang standar moral dalam kegiatan siswa. Bersama dalam suatu kegiatan dengan frekuensi yang tinggi dan rentang waktu yang lama seperti pembuatan film bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Awas kalo sampai ada apa-apa! Jadi pertama, pembimbing eskulnya dulu yang harus bener, ya kan? Dia bilang, “Tenang, aja. Gue sekarang rajin sholat kok!” Apppaaaa? Sekarang? Lha, berarti dulu…..?

13 April 2007

Mau kenal saya?

Kisah Sedih di Hari Kamis

Wakil kepala di sekolah tempat saya mengajar berkata bahwa ada seorang lagi siswa kelas XI yang kemungkinan akan keluar. Ia baru saja mengadakan konseling pada siswa tersebut dan tampaknya masih belum ada jalan keluar. Begini ceritanya.

Si siswa yang dibicarakan ini bukan anak yang cemerlang. Saya mengajarnya di kelas satu dan tahu bahwa ia memang biasa saja, dari segala segi. Belakangan, hampir dua minggu ia tak tampak di kelas. Begitu ia masuk dan diadakan konseling, jawaban yang diberikan adalah, “Saya mau berhenti sekolah.”

Ternyata orang tuanya sudah bercerai. Si ayah menikah lagi, disusul oleh si ibu. Kedua orang tuanya sudah memiliki keluarga baru lagi sekarang. Tapi dia tidak. Anak ini kehilangan rumah, tempat pulang dan berlindung. Parahnya lagi, setelah sibuk dengan keluarga baru, tidak si ayah, maupun si ibu, yang bersedia menanggung biaya pendidikannya.

Setelah merasa asing di kedua rumah orang tuanya, ia memilih tinggal bersama neneknya di Kebayoran Lama. Neneknya yang miskin tak mampu membiayainya sekolah. Maka, ia memutuskan berhenti.

Jeri rasanya.

O, saya tidak terlalu fanatik pada pendidikan formal. Ilmu bisa didapat di mana saja, tapi tidak begini caranya. Orang dewasa tidak selalu paham apa yang mereka korbankan ketika mengambil keputusan. Juga kadang ditambah abai dengan tanggung jawab yang terus mereka punyai setelah itu.

Ah, satu kisah sedih lagi hari ini.

27 February 2007

Melangkah dengan Bismillah

Hari ini saya membeli sebuah buku untuk hadiah ulang tahun seorang sepupu yang berusia sepuluh tahun. Dengan terburu-buru (lagi sakit perut#__#;), saya mencomot Melangkah dengan Bismillah karya Wikan Satriati. Terus terang, yang membuat saya tertarik memang ilustrasinya yang ‘cewek’ dan manis. Lalu judulnya tampak islami, hehe…. Setiba di rumah, sebelum membungkusnya, saya mencoba mencuri baca sedikit-sedikit. Ternyata keterusan hingga akhir.

Sungguh buku yang indah. Sederhana dan bening, hingga kedalamannya terlihat jelas. Apa anak-anak bisa memahaminya? Saya kira iya, mereka mampu memahami lebih banyak dari yang kita kira. Mungkin lebih banyak dari kita orang dewasa. Saya sungguh tergoda membelinya untuk diri sendiri.

Hal terakhir yang menggetarkan saya ada di halaman paling akhir. Kata-kata yang ada di sana membuat saya menyalakan komputer di tengah malam dan menggerakkan (dua) jari di atas kibor. Begini tulisannya:

Kalimat Thayyibah, kata-kata yang baik itu seperti pohon yang indah, akarnya kokoh menghunjam ke dalam bumi dan dahannya menjulang ke angkasa. Pohon-pohon itu selalu berbuah sepanjang musim. (QS Ibrahim: 24-26)

Tidakkah kita juga ingin menanam pohon itu?