21 December 2010

YOU CAN SHINE

Hari ini adalah hari spesial. Saya bahagia, Alhamdulillah ya Rabb. Kenapa? Penyebabnya adalah acara yang saya hadiri pagi ini, yaitu premiere kelas film di sekolah tempat saya bekerja. Ya, mereka membuat film komedi berjudul 'Kejarlah Daku Kau Kutampar.'



Memang, karya yang dibuat oleh anak-anak yang kita didik pastilah selalu membuat bangga. Semua adalah buah dari kreativitas mereka, kesungguhan, komitmen, dan kerja sama. Tapi kali ini berbeda, bukan hanya sekedar karya dari anak biasa.

Pemeran utama film pendek ini bukan model anak terpintar kelas, bukan model ketua osis, bukan anak yang populer di sekolah. Berkali-kali panggilan orang tua dilayangkan untuk mengatasi hobi membolosnya. Nilainya juga pas-pasan. Memang tak ada masalah ekonomi, tapi orang tuanya bercerai. Sekarang dia tinggal bersama seorang ayah yang sibuk yang bahkan tak sempat membangunkan anaknya agar bisa datang ke sekolah tepat waktu.

Tapi hari ini dia bintangnya, dia yang cemerlang, dan bukan lagi anak baik dan penurut lain yang sering difavoritkan dan diandalkan para guru.

Tapi kebanggaan saya telah dimulai sebelum film di atas diputar. Acara dibuka dengan penampilan kelompok marawis. Saya melihat keseriusan anak-anak ini dalam memainkan alat perkusi mereka, menyelaraskan nada, menyamakan gerak. Ada semangat, ada antusiasme.



Apa istimewanya? Istimewa, karena kelompok marawis ini diisi mayoritas (kalau tidak ingin bilang semuanya) oleh anak bermasalah. Ada anak pindahan dari pesantren. Dia dikeluarkan karena melarikan mobil ayahnya, lalu nyusruk ke air mancur bundaran HI dan diliput televisi. Mobilnya ditahan polisi, untuk menebusnya perlu 35 juta, belum lagi memperbaiki kerusakannya. Ada Riki di gambar itu, dan Zein. Zein anak yang cukup rajin, hanya sesekali bolos, tapi juga hanya sesekali otaknya nyambung pada pelajaran.

Anak-anak ini adalah tipe yang belum apa-apa sudah membuat guru memalingkan wajah barena sebal. Materi susah mereka serap, jarang masuk, kalaupun ada di kelas tapi tak memperhatikan, bayaran rajin menunggak pula. Apa yang kurang?

Ada saja guru yang mungkin saja akan menggerutu, "Kalo soal film, musik, futsal, rajin banget. Pas giliran pelajaran aja, pada tidur...." Tapi bila dilihat dari sisi lain, adalah guru yang membuat anak-anak ini tidur dan membenci sekolah. Mereka belajar tanpa mengerti untuk apa semua ini, dan masih ditambah intimidasi, timbunan rasa tak berdaya, sambil dikejar hantu bernama kurikulum.

Adalah film, adalah musik, adalah olahraga, yang membuat mereka bertahan di sekolah. Dan saya akan mendukung apapun yang bisa membuat anak merasa bahagia di sekolah.

Sebenarya, apa sih arti PENDIDIKAN? Sebagai warga negara Indonesia, sepertinya kita langsung saja melihat UU 20/2003. Di sana dibilang:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Panjaaaaang, memang ^_^;. Tapi sebelum migrain menyerang karena berusaha memahami kalimat majemuk-entah-berapa-tingkat sepanjang itu, paling tidak, kita bisa melihat kata mengembangkan potensi di sana.

Anak tidak perlu-perlu amat lulus dengan nilai tinggi, atau dapat 8 dalam semua pelajaran, atau menghapal nama-nama raja Singosari, atau menulis halus delapan lembar sehari. Anak yang mendapat pendidikan hanya harus berkembang potensinya. Sekali lagi, berkembang potensinya, dan menjadi cemerlang. Yes, everyone can shine!

Jadi, sudahkan lembaga bernama sekolah melakukan apa yang diamanatkan undang-undang padanya?

27 November 2010

SUMPAH SERAPAHMU UNTUKKU

Saya maluuuu sekali ketika ada yang bilang saya guru yang baik. Dan memang hanya karena Allah menutup aib-aib saya, tak ada yang tahu bagaimana cela dan salah yang saya lakukan, termasuk dalam menjalani profesi guru.

Kalaulah saya guru sempurna, mungkin tak ada kejadian kemarin, ketika seorang siswa bersumpah serapah di depan saya.

Saya mencintai tempat saya mengajar, sungguh. Di sana adalah tempat saya menyemai mimpi-mimpi saya tentang pendidikan yang lebih baik untuk semua. Itulah makanya saya tak suka bila ada yang mencoreng nama sekolah, apalagi oleh salah satu komponennya sendiri. Berlaku saja sesukanya, tapi jangan di sekitar sekolah dan jangan menggunakan atribut (fisik maupun non fisik) sekolah.

Karena saya pulang dengan berjalan kaki, sedang guru lain kebanyakan naik angkot atau sepeda motor, maka saya sepertinya lebih sering menemukan anak-anak yang merokok dengan seragam di samping sekolah. Apalagi ketika itu dengan baju batik, yang mencirikan sekolah secara khusus.

Saya bergejolak. Ini sama saja dengan berteriak, "Nih gue anak Yapera, nongkrong sambil ngerokok, pas di samping sekolah. Lu mau apa?" Maka saya minta rokoknya, dan saya matikan di tanah. Salah seorang tak terima, dan kata-kata kasar pun keluar. Saya segera berlalu karena, terus terang saja, cemas. Mereka bukan anak SD atau SMP. Badan mereka lebih besar dari saya. Jumlahnya juga banyak sedang saya sendirian.

Soal rokok dan kata-kata kasar (dan kadang kotor) ini, saya amat malu pada anak saya. Dia melihat, dan bertanya, "Ini muridnya Mama ya? Kok ngerokok? Kok ngomongnya kasar?" Saya benar-benar kehilangan muka, karena pertanyaan tadi sama saja dengan mempertanyakan kemampuan saya mendidik siswa.

Soal sumpah serapah ini, saya mengadukannya pada suami. Dia bilang, mungkin saya harus hati-hati. Dia juga mengingatkan tentang peristiwa beberapa hari yang lalu. Mobil kami memang terparkir di halaman sekolah, dan ketika suami berangkat ke kantor di hari Selasa, bannya kempes. Ternyata kempes itu bukan bekas tertusuk paku, tapi karena sayatan pisau di banyak tempat, masuk hingga ke ban dalam.

Siapakah yang melakukan hal kriminal ini? Apakah seseorang di tempat parkir milik lembaga asing AusAid, apakah mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, ataukah siswa-siswa yang ada di sekolah tempat saya mengajar? Kami tak mau berprasangka apalagi menuduh, tapi suami mengingatkan saya agar berhati-hati.

Tapi mari kita beranjak ke belakang. Apa yang salah dari kejadian saya mencabut rokok siswa yang akhirnya berbuntut ke sana ke mari ini?


Yang salah adalah SAYA, tentu saja.

Kenapa? Karena saya menjatuhkan hukuman tanpa ada 'busa pengaman' di bawahnya.

Anak pada kasus di atas tak pernah saya ajar. Komunikasi kami yang pertama langsung menempatkan kami dalam konfrontasi. Kami tidak memiliki hubungan baik (=busa pengaman) yang membuat masalah yang ada tidak 'membal' dan malah 'pecah'. Dia tak mengerti saya cinta sekolah ini. saya juga tak mengerti bahwa dia melakukan itu karena.... ya entahlah, karena saya kan belum mengerti sekarang ini.

Sehabis peristiwa kecil tersebut, saya jadi sadar bahwa penting untuk memiliki hubungan baik dengan siswa dan guru. Penting untuk memiliki tabungan pengertian, kasih sayang dan penghormatan. Di situlah sesungguhnya terbangun sesuatu yang disebut 'wibawa'. Dengan demikian, begitu saya peran dan tanggung jawab menuntut saya bersikap tegas, hubungan kami akan membal, dan tidak pecah.

12 November 2010

NGAJAR BAHASA INGGRIS

Deg... deg.... deg....

Saya grogi banget pekan lalu. Pasalnya, saya sudah harus mulai menggantikan Bu Rum, guru Bahasa Inggris, yang cuti melahirkan hingga awal tahun depan. Wah, sudah lamaaaa sekali ga ngomong bahasa Inggris. Kalau baca sih ada juga sesekali, meskipun malas sekali rasanya. Tapi mengajar kan bukan cuma membca, tapi harus bicara. Lidah udah kaku neyyy...

Contohnya kemarin, saya iseng baca tulisan di label airbag mobil. ".... major risk can occur." Langsung di-cut suami, "Oker (bunyi /e/ seperti pada betul) tuh, bukan okyur!" Nah, nah... makin deg-degan aja. Anak sekarang kan pinter-pinter Bahasa Inggris, apalagi tingkatnya SLTA.

Ternyata nggak juga sih. Masih pinteran saya, hahahaha....

Selesai mengajar, saya keluar membawa beribu (lebay ^^;) pertanyaan. Saya terpana mengetahui anak-anak in ga tau arti kata friendly. Apalagi pengucapan bahasa mereka. Ketika perkenalan, saya minta mereka menyebutkan nama, serta 3 sifat yang mendeskripsikan diri mereka.

Salah satu siswa berkata, "My name is Amir. I'm prinly, see and niece..." Lidat saya berkerut, apa maksudnya? Ga taunya yang dia maksud adalah: My name is Amir and I'm friendly, shy and nice.


Anak-anak ini bukan anak perkotaan, memang. Mereka cuma anak kampung yang dibawa oleh pihak yayasan untuk masuk kelas beasiswa. Ya, kelas yang saya ajar kemarin memang kelas khusus. Isinya adalah anak-anak terseleksi yang berasal dari desa-desa di tiap kabupaten Bogor. Terseleksi, aduh saya jadi miris menulisnya.

Di pelajaran yang biasa saya ampu, Bahasa Jepang, semua anak mulai dari tahap paling awal, paling dasar. Makanya, wajar bila kami mulai pelan-pelan, karena semuanya juga baru belajar, termasuk gurunya ^_^;v.

Saya bisa membayangkan kesulitan yang dihadapi Bu Rum ketika mengajar Bahasa Inggris. Berbeda dengan bahasa asing lain, Bahasa Inggris sudah diperkenalkan sejak TK. Di tingkat SLTA, Bahasa Inggris sudah cukup tinggi tingkat kesulitannya. Bagaimana cara Bu Rum membuat anak-anak ini mengejar ketertinggalan?


Biaya bermilyar-milyar yang dikeluarkan pemerintah untuk sekolah negeri yang dijadikan RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional), bukankah sebaiknya diberikan ke sekolah-sekolah kampung untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sana. Jadi pendidikan dinikmati oleh semua, bukan hanya orang kota saja.

Uangnya dikasih ke sekolah-sekolah kota, fasilitas juga, akses juga, Nah, jadi apa yang tersisa buat sekolah di pelosok? Tapi gobloknya ujiannya kok sama! Kesel banget deh saya kalo udah ngomongin ujian nasional.

Dan yang paling konyol dari cerita ini adalah, anak-anak yang menulis kalimat 'Namanya Amir' dengan He name is Amir ini, LULUS ujian nasional semua. Gimana tuh caranya? Coba jelasin ke saya.

Pak Mendiknas aja deh yang jelasih ke saya =_='

08 November 2010

MUDA = NORAK?

"Bbrrrrruuuuummmmm....."
Adik saya menggerutu mendengar suara knalpot mobil yang bikin kuping sakit itu. "Ngapain sih suara knalpot sampe segitu kerasnya. Mending kalo mobilnya bisa ngebut. Ini suaranya doang kenceng, mobilnya sih disitu-situ aja."

Sebagai anak pertama, yang beda usia dengannya berjarak 4 tahun, saya sering merasa lebih dewasa dan melihat adik pertama saya ini 'lebih anak-anak'. Hari ini, mendengar kalimat di atas diucapkan, saya jadi tersadar bahwa jarak kami sudah memendek, dan kini kami secara sosiologis sudah sepantaran. Kenapa demikian? Karena kalimat tersebut menandakan dia sudah tua, sama seperti saya.

Ketika saya menikah (saya menikah di semester 7), dia masih SMA. Nah, motor adik saya ini masih yang model nungging joknya. Apa ya, namanya. Spion dicopot, lampunya juga. Dan ya tentu saja, suara knalpotnya merepet bikin jantungan. Saat itu saya berkata persis sama, "Ngapain sih suara knalpot sampe segitu kerasnya. Mending kalo tu motor bisa ngebut. Ini suaranya doang kenceng, motornya sih disitu-situ aja."

Saat itu, saya dengan sedikit jumawa bisa bilang bahwa saya sudah dewasa dan dia masih anak-anak. Sekarang, adik saya ternyata sudah dewasa juga. Tolok ukurnya adalah udah ga demen sama knalpot berisik, hehehehe...

"Dulu lu juga gitu, Pi," kata saya menanggapi gerutuannya tadi.

"Iya, kok dulu demen sama yang kayak gitu ya. Sekarang jijay ngeliat anak muda begitu."

Kami terbahak, tapi sementara itu memori di otak mulai bermunculan. Teringat betapa konyolnya dulu saya ketika muda. Saya menepuk jidat sampil geleng-geleng dan bertanya, kenapa saya melakukan hal-hal memalukan kayak gitu, ya. Norak, sumpe dah norak abis. Konyol sampe ke ubun-ubun.

Tapi apakah hal-hal tersebut perlu disesali, maksud saya segala kekonyolan-kekonyolan masa muda itu? Apa anak-anak muda di seluruh dunia perlu diberitahu agar tidak melakukan hal-hal 'konyol dan norak'?

Hal ini jadi penting untuk disadari karena sebagai guru, setiap hari saya berurusan dengan anak-anak muda dengan segala 'kekonyolan dan kenorakan' mereka. Kadang saya tak habis pikir bagaimana mereka memandang banyak hal dengan terbalik: abai pada yang penting, sementara hal-hal kecil dibesar-besarkan. Tapi itulah anak muda, melakukan kesalahan adalah ciri mereka, sementara memperbaiki diri adalah tanda bahwa si anak muda ini mulai melangkah menjadi dewasa.

Jadi, don't take it personally kali yah. Ga perlu ngamuk-ngamuk ketika anak-anak muda ini berbuat konyol. Harusnya, dengan memahami bahwa mereka memang sedang belajar, dan karenanya selalu saja bisa kepleset, kita akan mampu menerima 'kekonyolan dan kenorakan' ini.

Kita yang lebih dewasa harus mendampingi prosesnya, menunjukkan alternatif-alternatif,
dan bukan kepingin mereka langsung baik, langsung bertanggung jawab, langsung berpikir panjang, langsung dewasa, secepatnya.

Hmmmm...., kalau saya sendiri, apakah sudah 'dewasa' sekarang ini? Ga tau, ya. Mungkin saja, 20 tahun mendatang, saya dengan rambut putih semua menepuk jidat sambil geleng-geleng dan bertanya, kenapa saya yang sekarang melakukan hal-hal memalukan, padahal udah kepala 3. Aduh, norak banget ga sih, sumpe dah norak abis.

Ah, tapi itupun kalau belum pikun ya....
Atau belum mati....

03 November 2010

GURU YANG BAIK UNTUK ADELIA

Sekolah saya, SMA swasta kecil di Tangerang, adalah sekolah umum. Maksud saya dengan sekolah umum adalah sekolah biasa saja, dan tak pernah menyatakan diri sebagai sekolah inklusif. Meski demikian, sepertinya ada beberapa siswa kami yang bisa dibilang berkebutuhan khusus, meski tidak tergolong berat. Beberapa diantaranya saya pernah tuliskan di sini, tentu saja tanpa membeberkan identitas aslinya.

Karena sekolah biasa, tentu saja kami tak punya shadow teacher, apalagi terapis dan psikolog. Jangankan itu, punya guru bimbingan konseling saja tidak. Biasalah, terkendala biaya v^_^;v. Jadi bila ada masalah yang timbul, kami tangani sebisanya, mengikuti insting saja. Agak berbahaya juga sebenarnya, tapi sementara ini itu yang bisa diperbuat.



Salah satu siswa yang memiliki kebutuhan khusus adalah Adelia. Ia mungil, manis, ramah, dan banyak tersenyum. Semua guru berpendapat sama mengenai Adelia, bahwa dia tidak mungkin diberi ujian tertulis. Kenapa? Kacau. Apa yang ditulisnya amat kacau. Kertas ujiannya dipenuhi kesalahan eja dan kalimat yang tak jelas maksudnya.


Kalau ada yang pernah membaca tentang (mantan) siswa saya yang bernama Bagus, mungkin ingat bahwa Bagus mengidap sindrom Asperger (keterangan lebih lanjut hubungi Mbak Gita Lovusa ya, saya mah ga terlalu ngerti ^^). Bila dilihat secara langsung, semua orang akan tahu bahwa Bagus 'berbeda', namun tulisannya tertata dengan baik, meski isinya khayalan semua. Sedang Adelia, secara fisik normal, senormal-normalnya, hanya bila menulis saja, kita tidak paham apa maksud kalimatnya.

Disleksia? Guru biasa seperti saya tentu saja tak berani memberi diagnosa. Kalau salah kan berabe.

Ketika rapat evaluasi tengah semester lalu, Adelia adalah salah satu siswa yang diperbincangkan. Tapi satu hal menghangatkan hati saya saat itu, bahwa guru-guru, meski tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Adelia, tapi mereka mau memahami anak ini.

Bu Ida, guru ekonomi berkata, "Memang nilai Adelia jatuh di rapor bayangan, karena kita menggunakan nilai asli. Tapi setiap ulangan tertulis memang Adelia selalu seperti ini. Nanti untuk dia saya ambil nilai secara lisan. Nilai rapornya nanti didominasi nilai harian saja."

Pengambilan nilai secara lisan ini kemarin saya laksanakan untuk Adelia pada mapel yang saya ampu. Bu Ida benar, Adelia paham, dan menjawab dengan lancar. Senyum terkembang di wajahnya setelah berhasil menjawab 3 pertanyaan lisan saya berturut-turut.

Pak Sukron, guru agama, juga menyiasati beberapa kelemahan siswa dengan memikirkan cara lain melakukan tes. Meski dalam kurikulum siswa misalnya dituntut untuk menghapal (misalnya menghapal ayat dalam pelajaran agama), namun untuk siswa tertentu, Pak Sukron akan meminta anak untuk menyalin saja. Memaksakan semua anak harus menghapal akan mendatangkan tekanan bagi beberapa siswa kami.

Bahkan salah satu guru yang dianggap 'killer' di kelas oleh para siswa, adalah guru yang membela beberapa anak yang bermasalah dengan nilai dan kedisiplinan mereka dalam rapat. Andai anak-anak itu tahu ya...



Saya memang banyak menulis yang isinya mengritik guru, tapi kali ini saya juga ingin menunjukkan bahwa guru yang baik itu banyak, insya Allah.

Mungkin ada yang menuding mereka melakukan kesalahan, karena telah menurunkan standar pendidikan. Anak bodoh kok dinaikkan ke kelas selanjutnya. Tapi bagi saya, mereka adalah guru yang mau mengerti.


Mereka mengerti bahwa sekolah ini akan selalu menerima siswa sisa dari sekolah negeri. Itu menyebabkan masalah yang dihadapi di kelas mungkin akan lebih beragam. Ada beberapa anak, yang tidak pernah mungkin bisa naik kelas bila kita memegang teguh permintaan kurikulum. Dan karena guru-guru ini menyadari hal tersebut, maka mereka mencari jalan lain.

Mengetahui bahwa anak-anak seperti Adelia, dan Bagus, dan Bayu, dan Zein, mendapatkan guru yang mau mengerti, bukankah terasa membahagiakan?


keterangan foto:
foto 1: ada adelia di foto kelas memasak ini
foto 2: guru agama ketika kegiatan rohis

21 October 2010

'BELAJAR' ITU APA SIH?

Riki mengacau kali ini. Dia menjadi master of ceremony di upacara senin pagi yang lalu, dan dia mengacaukannya. Bayangkan, di depan seisi sekolah, tiga kepsek dan lima wakasek, seluruh dewan guru, dan semua anak yang masuk pagi dari tiga unit berbeda, dia salah membaca urutan acara. Dan bukan hanya sekali, berkali-kali.
Saya tak dapat menahan senyum, karena pagi itu, kebetulan sayalah guru yang ditunjuk menjadi pembina upacara. Mungkin seharusnya saya malu, karena Riki berasal dari unit saya, unit SMA. Paling tidak, ini membuktikan bahwa unit kami tidak mempersiapkan diri dengan sempurna. Tapi dibanding rasa malu, perasaan saya didominasi rasa kasihan dan cemas.

Karena rasa kasihan –mudah-mudahan kata ini turunan dari kata 'kasih', saya tak menyinggung sedikit pun tentang kesalahan ini ketika saya memberi amanat pembina. Di sekolah tempat saya bekerja, pembina biasanya mengawali amanat pembina upacara dengan mengevaluasi kinerja petugas hari itu. Dan menurut saya, ini bukan hal bagus.

Bayangkan, anak belasan tahun, beberapa di antara mereka baru beberapa saat lulus dari SD, dikritik di depan sekian banyak orang. Kejam sekali, menurut saya. Bagaimana kalau kritik itu meninggalkan bekas di hati, semacam ketakutan untuk tampil di depan umum?

Saya sendiri mempunyai pengalaman yang sama. Suatu kali ketika SMA, saya menjadi MC juga di upacara Senin, sama seperti Riki. Ketika sampai pada amanat pembina upacara yang lama itu, saya yang bengong jadi lupa kalau saya adalah petugas upacara (penyakit lupa saya memang sudah kronis ^^;).

Saya mengobrol dengan petugas kesehatan yang berjaga agak di belakang. Terus.... terus.... sampai tidak sadar kalau seisi sekolah sedang mencari saya karena pembina telah lama selesai menyampaikan amanat. Jelas saja, ketika saya maju kembali ke mikrofon, semua anak menertawai saya.

Saya malu sekali saat itu, dan merasa bersalah. Tapi kesalahan saya tidak diumbar-umbar di depan umum, saya tidak dihukum karena kesalahan saya, bahkan dimarahi pun juga tidak. Selesai upacara, wakasek, Pak Hanif, mendekati saya dan menasihati dengan lembut. Begitulah, kesalahan harus mendapat evaluasi, bukan hukuman.

Sekolah saat ini, semakin menuntut terlalu banyak dari anak. Anak tak boleh salah. Kalau hasil ulangan jelek, anak dihukum. Kalau tidak bisa mengerjakan, mereka diomeli. Kalau mencoba dan salah, yang didapat adalah cemooh.

Memangnya belajar itu apa, sih? Quantum Teaching mendefinisikan BELAJAR sebagai proses yang mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan. Belum ada 'aku tahu' di sana. Kesalahan, kreatifitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu.


Memang selalu ada resiko gagal dalam belajar. Seperti mengajari anak naik sepeda, kita selalu bilang, “Jatuh ga apa-apa. Semakin sering jatuh semakin cepat bisa!” Nah, di sekolah harusnya sama saja. “Gagal ga apa-apa. Semakin sering gagal semakin cepat bisa.” Lagipula, kalau anak sudah bisa semua, buat apalagi belajar, lalu apa gunanya sekolah?


Maka begitu turun dari podium upacara, saya segera menjajari Pak Lutfi, wakasek SMA. Tadi saya melihatnya sempat disindir oleh salah satu pimpinan, dan saya cemas Riki akan terkena masalah setelahnya.


"Kayaknya Riki nervous," kata saya.


"Memang," jawab Pak Lutfi. "Sampai begini..." Ia menggerakkan tangan mencontohkan betapa gemetarnya Riki.


Riki sendiri adalah tipe siswa yang mudah sekali jadi sasaran kemarahan. Dua kali tidak naik kelas, sering menimbun poin pelanggaran (yang artinya rajin bolos dan telat), dan saya curiga bahwa dialah yang menulis pada saya dalam secarik kertas anonim bertuliskan 'saya sedang bermasalah dengan polisi'.


Saya bersyukur wakasek bisa melihat kalau Riki memang sudah berusaha, lagipula ini kali pertama baginya. Jangan sampai Riki dipermalukan atau domarahi karena memalukan unit SMA. Kesalahan kecil begini akan mudah dilupakan, sedang ingatan buruk tentang dimarahi setelah tampil di depan atau setelah berbuat kesalahan bisa bertahan lama dan mempengaruhi sisa kehidupan Riki.



Ini foto petugas upacara Senin lalu. Riki salah satunya. Yang mana? Rahasiaaaaa...... ^_^v

HARE GENE? CKCKCK....

Saya geleng-geleng tak mengerti ketika ada teman saya mengatakan bahwa rata-rata anaknya 94 dan masih juga belum peringkat pertama di kelasnya. Juga saya tidak mengerti, ketika keponakan saya di status update facebook-nya berkata bahwa hasil UTS menempatkan dia di ranking 18.


Dua anak ini kan masih SD, yang pertama kelas 1 dan yang kedua kelas 6, kenapa justru mereka diranking? Masih SD gitu, loh....


Di rapor sekolah saya, tingkat SLTA, di Tangerang, tidak ada kolom untuk peringkat/ranking. Jadi kami tak mengurutkan nilai anak untuk mengetahui siapa ada di ranking apa. Rapor itu

tidak kami cetak sendiri, melainkan dibeli dari MKKS dan digunakan baik oleh sekolah negeri maupun swasta di kota Tangerang. Jadi kebijakan ‘rapor tanpa kolom peringkat’ bukan cuma ada di sekolah saya, tapi disepakati bersama.


Memang kemudian para wali kelas kami melihat siapa yang nilainya paling besar di lembar ledger. Bukan karena hendak membandingkan peringkat anak, tapi semata-mata untuk mengetahui pada siapa dana beasiswa prestasi akan disalurkan.


Saya sendiri setuju pada pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan bukanlah perlombaan. Kalau ada sebuah kompetisi, dipasang judulnya perlombaan apa, atau pertandingan apa, silakan deh anak kita ikut untuk memperebutkan tahta juara.




Tapi pendidikan bukan seperti itu. Education is a journey, not a race. Pendidikan adalah sebuah perjalanan, bukan balapan. Lagipula anak kita bukan kuda atau sapi, kan?


Kalau jaman dulu, memang kita dipertandingkan dengan teman sekelas. Di samping nilai milik kita di buku rapor, ada nilai rata-rata kelas. Apakah seorang anak cerdas atau tidak ditentukan dengan apakah nilai ia berada di atas atau di bawah nilai tersebut.


Tapi sekarang zamannya sudah beda. Anak-anak ini diberi pendidikan bukan untuk mengungguli rekan-rekan sekelasnya. Mereka belajar setiap hari di sekolah agar bisa 'terbangun', terbangun akalnya, hatinya, jiwanya, badannya. Seperti lagu kebangsaan kita itu loh, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya....”


Seringkali terjadi jurang pemisah di kelas akibat sistem peringkat ini. Ada geng anak pintar, dan anak peringkat buncit semakin percaya kalau dirinya memang sudah terlahir sebagai pecundang.


Dengan sistem peringkat, anak-anak kita juga jadi keranjingan menjatuhkan, bukan terbiasa bekerja sama. Ngapain bagi-bagi ilmu, ngapain ngajarin temen yang ga bisa? Nanti dia ngerti, trus gue tersingkir dari ranking satu dong. Akhirnya, yang merasa kurang pandai mengambil jalan pintas: menyontek. Toh, nilailah yang dihargai, sumber segala privilege di dunia pendidikan yang kejam kayak gini.


Jadi saya sepakat dengan rapor yang dicetak oleh MKKS Kota Tangerang. Tak perlu ada peringkat di rapor. Malah, orang tua tak perlu menjawab pertanyaan orang tua bila mereka bertanya ranking berapa anaknya di kelas.


Kenapa orang tua tak perlu diberi tahu? Karena orang tua kadang dengan cepat bertindak: “Masak sama anak tetangga kamu kalah? Bodoh sekali sih, kamu! Mulai besok ikut les ini les itu les anu.” Nah, akhirnya anaknya lagi yang menjadi korban.


Orang tua harus memandang keberhasilan anak dari apa yang telah dia capai sebelumnya, dan dari potensi apa yang sebenarnya anak punya. Bagaimana dukungan yang dapat diberikan orang tua, dan sisi mana yang bisa mereka ambil, agar sekolah dan orang tua bisa sama-sama menyediakan kondisi yang mendukung anak untuk tumbuh dan mekar.


Iya, untuk tumbuh dan mekar, yang berarti menjadi yang terbaik sesuai potensi dan keunikannya, bukan untuk dibandingkan dengan orang lain.

Sekolah tentu saja harus jadi pihak pertama yang menyadari hal ini. Hapuskan sistem peringkat dari rapor, dan dari keseluruhan sistem pembelajaran. Buat sistem yang mendorong pembelajaran kolaboratif, bukan kompetitif.


Contohnya? Mmmm.... Apa ya? Gini deh, misalnya, jangan cuma siswa dengan nilai akademik tertinggi yang diberi piala atau piagam atau bingkisan. Yang kehadirannya 100% juga harus diberi. Yang membawa harum nama sekolah dalam kegiatan ekstrakurikuler juga harus diberi


Nah, bagaimana kalau sekolah anak kita berdalih bahwa sistem peringkat adalah peraturan dari ‘atas’?


Wah, dalihnya basi tuh. Kurikulum sekolah kebanyakan sudah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), jadi tidak lagi bisa berdalih bahwa ini peraturan dari atas, karena sekolah memiliki otonomi yang luas sekarang ini.




Bagaimana kalau sekolah teteeeeeeup keukeuh menggunakan sistem peringkat? Ya orang tua yang harus maju dan bertanya.


“Saya ga mau anak saya jago menyingkirkan orang. Saya lebih suka anak saya bisa bekerja sama, menyadari bahwa dia dan teman-temannya saling mengisi dengan keunikan mereka. Jadi, kenapa ada peringkat di SD ini?”


Bagaimana kalau sekolahnya dibilangin tapi terus ngeyel? Yah, akhirnya, moms clean the mess, as always. Kita, lagi-lagi kita, yang harus membereskan kekacauan yang diperbuat sekolah. Orang tua yang berkewajiban memberi pengertian pada anak, bahwa peringkat satu bukan jaminan kebahagiaan dan kesuksesan. Ranking itu ga penting!


Yang penting apa, dong? Yang penting punya banyak teman (biarpun bukan orang kaya dan ga punya mainan mahal model terbaru), yang penting menemukan minat diri, yang penting enjoy di sekolah.


Nah lo, jadi bentrok dong sama ajaran sekolahnya? Di sekolah disuruh berlomba jadi peringkat satu, eh di rumah malah dibilang ga penting. Ya begitulah, salah sendiri masukin anak ke situh, hwehehehehe....


Hare gene masing ada ranking-rankingan? Ck ck ck.... Jadul banget ga seeeeh....


20 August 2010

TES MI SEDERHANA

Pengetahuan tentang MI (multiple intelligences/kecerdasan majemuk) adalah salah satu pengetahuan terpenting bagi saya, karena teori ini menjawab satu pertanyaan penting di kepala saya: Benarkah ada anak yang dilahirkan sebagai anak bodoh?

Mungkin saja ada manusia yang diuji dengan kemiskinan atau cacat, tapi bodoh menurut saya bukan ujian, tapi kutukan. Kenapa? Karena bodoh membuat seseorang tidak bisa menghadapi hidup, tak berdaya, dan sulit memperbaiki diri. Bukankah itu artinya Allah tidak sayang pada manusia yang ditakdirkan sebagai orang bodoh?

Begitu saya membaca tentang MI, saya tak lagi bertanya tentang keadilan Allah pada manusia bodoh. Kenapa? Karena memang tidak ada manusia bodoh. Semua manusia cerdas, namun masing-masing memiliki domain kecerdasan yang berbeda, yang tidak bisa diukur semua oleh sistem sekolah.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, MI adalah teori kecerdasan hasil penelitian Howard Gardner dari Harvard University. Teori ini menyatakan bahwa setidaknya ada delapan macam kecerdasan dalam diri manusia, yang bisa disingkat dalam akronim SLIM-N-BIL. Maka sekarang ini pertanyaan, “Seberapa cerdas anda?” sudah ketinggalan zaman, karena pertanyaan yang seharusnya adalah, “Anda cerdas yang bagaimana?”

S = Spasial - Visual (berpikir dalam gambar)

Menggambar, membuat sketsa, corat-coret, visualisasi, citra, grafik. Tabel, desain, seni

rupa, video, film, ilustrasi


L = Linguistik - Verbal (berpikir dalam kata-kata)

Kata-kata, bicara, menulis, bercerita, mendengarkan, buku, dialog, diskusi, puisi, lirik lagu, ejaan, bahasa asing, pidato, esai, makalah


I = Interpersonal (berpikir lewat berkomunikasi)

Memimpin, mengorganisasi, interaksi, berbagi, bicara, sosialisasi, manipulasi, permainan kelompok, lobi, kerja sama, klub, berteman


M = Musikal – Ritmik (berpikir dalam irama)

Bernyanyi, mengetuk-ngetuk, irama, melodi, kecepatam, warna nada, alat musik, rima

N = Naturalis (berpikir dalam acuan alam)

Berjalan-jalan, alam terbuka, interaksi dengan hewan, pengkategorian, melihat bintang, cuaca, simulasi, penemuan

B = Badan – Kinestetik (berpikir lewat gerak fisik)

Menari, berlari, menyentuh, melompat, mencoba, simulasi, merakit, membongkar, bermain drama, games, indera peraba

I = Interpersonal (berpikir secara reflektif)

Berpikir,meditasi, diam, berefleksi, membuat tujuan, membuat diary, merenung, menilai diri, menyendiri, introspeksi, menulis

L = Logis – Matematika (berpikir dengan menalar)

Bereksperimen, bertanya, menghitung, logika deduktif induktif, klasifikasi, fakta, teka-teki

########


Berikut Tes MI yang diambil dari buku Sekolah Para Juara oleh Thomas Amstrong.

Berilah tanda cek (√) pada pernyataan yang cocok.


SPASIAL

(....) dapat melaporkan bayangan benda dengan jelas

(....) lebih mudah membaca peta, diagram dan grafik daripada tulisan

(....) suka melamun

(....) suka kegiatan seni

(....) senang melihat slide, film, atau presentasi visual lain

(....) suka mengerjakan puzzle, labirin, atau game sejenis

(....) dapat membangun konstruksi 3 dimensi yang menarik

(....) lebih mudah belajar dengan gambar daripada tulisan

(....) membuat coret-coret di buku kerja, kertas atau bahan-bahan lain

(....) pandai menggambar

LINGUISTIC


(....) menulis cerita
(....) bercerita panjang lebar atau menyambaikan lelucon dan kisah-kisah

(....) dapat mengingat nama, tempat, tanggal atau hal-hal sepele

(....) suka game permainan kata

(....) suka membaca buku

(....) mengeja kata dengan tepat

(....) menyukai pantun dan permainan kata

(….) dapat mengucapkan kata-kata yang sulit

(....) suka mendengarkan

(....) memiliki kosakata yang baik

(....) berkomunikasi dengan orang lain dengan cara berbicara


INTERPERSONAL


(....) suka bersosialisasi dengan teman sebaya

(....) berbakat menjadi pemimpin

(....) memberi saran kepada teman yang mempunyai masalah

(....) mudah bergaul

(....) menjadi anggota klub atau panitia

(....) senang mengajari anak-anak lain secara informal

(....) suka bermain dengan teman sebaya

(....) mempunyai dua atau lebih teman dekat

(....) memiliki empati yang baik atau perhatian kepada orang lain

(....) banyak disukai teman


MUSICAL


(....) tahu mana nada yang sumbang

(....) dapat mengingat melodi lagu

(....) memiliki suara yang merdu

(....) memainkan alat musik atau menyanyi

(....) memiliki cara bicara atau bergerak yang berirama

(....) bersenandung tanpa sadar

(....) mengetuk-ketuk meja saat sedang bekerja

(....) peka pada bunyi-bunyi di sekitar

(....) bersemangat ketika musik dimainkan

(....) menyanyikan lagu yang dihapal tanpa sengaja


NATURALIST


(....) suka karya wisata di alam, ke kebun binatang atau ke museum purbakala

(....) berbicara banyak tentang binatang kesayangan atau lokasi-lokasi alam favorit

(....) peka pada bentuk-bentuk alam (misalnya gunung, awan, model sepatu, atau
mobil)

(....) senang menyiram dan merawat tanaman

(....) suka bermain di sekitar kandang hewan peliharaan atau akuarium

(....) menunjukkan minat pada ekologi, alam, tanaman dan binatang

(....) suka melakukan proyek-proyek yang berhubungan dengan alam (misalnya mengamati burung, mengumpulkan serangga atau kupu-kupu, mempelajari pohon atau memelihara binatang)

(....) membawa binatang kecil atau serangga, bunga atau benda alam lain untuk ditunjukkan kepada teman

(....) dapat mengerjakan dengan baik tugas atau pekerjaan yang bersinggungan
dengan kehidupan


BODY


(....) menonjol di salah satu atau lebih cabang olahraga

(....) selalu bergerak, tidak bisa duduk diam

(....) pandai meniru gerak isyarat atau tingkah laku orang lain

(....) suka membongkar pasang barang

(....) menyentuh barang-barang yang baru ditemuinya

(....) suka berlari, melompat, atau kegiatan semacam

(....) menunjukkan kemahiran dalam keterampilan, pertukangan, jahit, bengkel dll

(....) mampu mengekspresikan diri secara dramatis

(....) suka bergerak ketika berpikir

(....) suka bekerja dengan melibatkan sentuhan tangan


INTRAPERSONAL


(....) menunjukkan sikap mandiri atau kemauan keras

(....) memahami dengan baik kekurangan dan kelebihan diri

(....) tidak mengalami masalah jika ditinggalkan bermain atau belajar sendirian

(....) memiliki gaya hidup dan gaya belajar dengan irama tersendiri

(....) memiliki minat dan hobi yang jarang dibicarakan dengan orang lain

(....) memiliki perencanaan diri yang baik

(....) lebih memilih bekerja sendiri daripada bekerja sama dengan orang lain

(....) dapat mengekspresikan perasaan

(....) mampu belajar dari kegagalan dan keberasilan yang pernah dialami

(....) menghargai diri sendiri


LOGIC


(....) banyak bertanya tentang cara kerja suatu hal

(....) suka bekerja atau bermain dengan angka

(....) suka pelajaran matematika, senang berhitung dan melakukan hal yang melibatkan angka

(....) menganggap game matematika dan komputer menarik

(....) suka permainan catur, main dam atau permainan strategi lainnya

(....) suka mengerjakan teka-teki logika atau soal-soal sulit

(....) suka membuat kategori, hirarki, atau pola logis lainnya

(....) senang melakukan eksperimen

(....) menunjukkan minat pada mata pelajaran yang berhubungan dengan sains

(....) dapat mengerjakan tes berpikir logis

17 August 2010

17 AGUSTUS TAHUN INI

Hari ini, ketika bendera merah putih dikerek naik oleh tim paskibra sekolah, saya bertanya-tanya dalam hati,

"Tidakkah para pahlawan yang kita doakan di setiap upacara bendera itu pernah berpikir, bahwa kekuatan bambu runcing dan senjata tradisional mereka pasti tak akan mampu menang melawan senjata mesin penjajah? Pemberontakan dilakukan, dan pada akhirnya para pejuang gugur tertembak, dan pemimpinnya diasingkan atau dihukum mati.

Lalu kenapa perjuangan itu tetap berlanjut, dan rakyat tetap mau merelakan hidup dan harta? Kenapa mereka tak menyerah saja?"

Sementara itu, bukan satu dua, tapi banyak guru menangis dalam hati ketika ujian nasional berlangsung. Banyak guru resah pada komersialisasi pendidikan. Banyak guru khawatir karena pendidikan di Indonesia makin jelas terkasta-kasta. Banyak guru yang tertekan, karena perubahan yang berusaha mereka lakukan justru membuat gerah banyak pihak.

Sayang guru-guru yang peduli ini tak punya daya untuk mengubah sistem yang kacau balau. Mereka juga tak punya cara untuk bicara di media massa atau diwawancarai jurnalis televisi. Mereka cuma bisa mempengaruhi siswa-siswa sendiri, berusaha memutar otak mencari jalan ketika terhalang tembok bernama biaya, tembok bernama sistem, tembok bernama pengaruh televisi dan internet, tembok bernama stagnansi pemikiran.

Lalu kenapa mereka juga tak menyerah saja?

Banyak analisis mengenai kemerdekaan yang dicapai Indonesia pada 17 Agustus 1945. Apakah diberikan oleh pemerintah Jepang, atau diperjuangkan oleh tangan kita sendiri? Apakah itu semata-mata karena kondisi politik dunia pasca berakhirnya perang dunia kedua, ataukah karena kita berhasil mengalahkan penjajah?

Saya tidak begitu paham sejarah. Tapi yang ada di kepala saya, Bahwa Soekarno bisa membacakan teks proklamasi 65 tahun yang lalu adalah karena Allah mengizinkan hal itu terjadi. Setelah perjuangan pahlawan yang lama dan kelihatan mustahil itu, Allah menakdirkan kita merdeka.

Kalau begitu, kalau begitu, mungkin para guru memang tak bisa menyerah. Mungkin kelihatannya mustahil mengubah sistem, dan pendidikan yang berkualitas dan merata di Indonesia adalah angan yang jauh. Tapi kita tidak akan menyerah, meski pendek jangkauan tangan kita, terbatas kemampuan yang kita punya.

Hingga pada akhirnya nanti, pada waktu yang telah ditentukanNya, Allah akan mengizinkan cita-cita kita untuk semua anak-anak Indonesia akan terwujud.

Amin....


Ramadhan, 17 Agustus 2010

21 July 2010

SAKSI KEHIDUPAN

Bu..."

Di tengah-tengah lalu lalang tamu undangan, seseorang tiba-tiba berdiri di hadapan saya, menyapa dan memberi salam. Badannya tinggi hingga saya sampai mendongak mencari wajahnya.

"Eh, Yoga ya?"

"Iya, Bu," katanya sambil nyengir.

Saya terpana, "Bener ini Yoga?"

Yoga ini dulunya murid saya, lulus dua tahunyang lalu. Tak disangka, di resepsi pernikahan seorang teman, saya bertemu lagi dengannya. Dia memakai seragam hitam-hitam bertuliskan 'crew' dan ada kamera besar di bahunya.

Sambil menikmati hidangan, saya mengingat kembali pertama kali saya bertemu Yoga. Saat MBS (masa bimbingan studi) lima tahun yang lalu. Yoga masih berusia 15 tahun, baru saja lulus SMP, dengan rambut klimis dibelah pinggir. Wajahnya masih kekanak-kanakan dan tingginya belum semenjulang sekarang.

Hampir setiap hari bertemu selama tiga tahun dengannya sejak itu, saya jadi tak menyadari bahwa Yoga -seperti juga seluruh temannya- berubah sedikit demi sedikit. Apalagi mereka sudah SMA, makin matang dan mulai menginjak dewasa. Begitu perayaan perpisahan, dan video MBS tiga tahun yang lalu kembali diputar, kami semua baru sadar, anak-anak ini sudah besar sekarang.

Saya makin yakin, bahwa guru adalah profesi yang hebat. Tak banyak profesi, di mana anda bisa menyaksikan dan menemani kehidupan banyak manusia yang tumbuh menjadi besar. Dan sedikit banyak, guru punya pengaruh dalam pertumbuhan itu.

Mungkin banyak anak yang pencapaiannya luar biasa, jauh melebihi Yoga. Misalnya lolos ke universitas negeri atau dapat beasiswa ke negara asing. Memang sejak dulu, Yoga adalah anak yang biasa saja. Dia anak yatim, memang lumayan rajin, tapi bukan anak yang luar biasa pintar dalam bidang akademik.

Yoga kini kuliah dan membiayai kuliahnya dengan menjadi kameramen freelance di sebuah studio video shooting. Kampusnya kampus kelas dua, tempat kerjanya pun hanya usaha kecil. Tapi anehnya, seperti seorang ibu yang menjadi fans setia anaknya, saya kini bangga setengah mati pada Yoga.

14 May 2010

MEREKA ANAK SIAPA?

"Apa kabar anak saya hari ini?"

Saya kira pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang penting untuk kita ajukan setiap hari pada diri sendiri. Bagaimana keadaan anak saya hari ini. Baik-baikkah, apa terlibat masalah, adakah yang perlu saya bantu atau dampingi, adakah yang perlu saya dengarkan, dsb.

Meskipun anak-anak kita sudah besar, makan bisa menyendok sendiri, belajar tak perlu ditemani, sakit sedikit tak perlu ditunggui, bukan berarti pertanyaan di atas tak perlu kita cari jawabannya lagi setiap hari.

Kenapa saya menulis begini?

Karena saya menemukan banyak kasus, di mana orang tua, bahkan ibu, tak lagi menganggap penting keadaan anak-anak mereka. Kecuali, ketika sudah terjerat masalah berat seperti narkoba, hamil di luar nikah, atau mencuri.

Surat pemanggilan dilayangkan pada orang tua. Ayo Pak, Bu, kita duduk bersama, menyelesaikan masalah kedidiplinan anak-anak kita. Karena sekeras apapun kami berusaha, semua kembali mentah bila kondisi rumah tidak mendukung.

Jangankan bahu-membahu menyelesaikan masalah, datang pun tidak.

Empat bulan menunggak bayaran, akhirnya si ibu datang juga setelah berkali-kali dipanggil lewat surat dan telefon. Ibu wali kelas yang menerima kebetulan melek mode, hingga tau sekali bahwa gaya busana si ibu, model kerudungnya, berikut aksesoris dan perhiasannya, adalah keluaran terbaru.

Kenapa tak dia selesaikan dulu SPP anak yang hanya 135.000 per bulannya?


Saya melihat sendiri seorang lelaki muda, menunjuk-nunjuk wajah wakasek -yang juga guru agama, dengan rokok di tangan, protes keras karena keponakannya dikeluarkan. Kenapa baru datang sekarang, Pak? Kemana aja anda dan keluarga lain selama ini?

Kami sudah jumpalitan mengurus anak ini, mencoba memperbaikinya, menggunakan berbagai macam cara yang mungkin terpikirkan, seraya membendung pengaruh yang dibawa bagi anak lain. Selama itu, apa pernah pihak keluarga menjawab surat dan telefon kami?


Setiap kali kegiatan kerohanian dimulai pada awal tahun, kami tak pernah berhenti terheran-heran. Pada tes penempatan halaqah untuk tilawah (1 guru : 8-10 siswa), selalu saja ada anak-anak baru kelas 1 SMA yang tidak bisa membaca satu huruf pun dalam al-Qur'an. Jangan tanya soal bacaan shalat, jika al-Fatihah pun tidak bisa dibaca dengan benar. Tidakkah soal shalat penting di keluarga mereka?

Dan siapakah yang akhirnya meluruskan lagi kekacauan ini?


Sebenarnya, anak-anak ini anak siapa? Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas pendidikan mereka? Kalaupun anda menitipkannya pada kami untuk pendidikan formal, itu artinya kita adalah dua pihak yang BERBAGI TANGGUNG JAWAB atas anak-anak ini. Bukan karena anda membayar, lalu seluruhnya dibebankan pada kami.

Hal yang sering dimaki oleh orang tua HS adalah bagaimana sekolah merusak anak-anak mereka. Tapi saya, ketika menempatkan diri sebagai pihak sekolah, sungguh juga melihat banyak kasus, bagaimana orang tua juga merusak anak-anak mereka.

Saya adalah orang tua HS. Tapi tidak, rekans. Sekolah tidak boleh dilenyapkan. Dalam beberapa kondisi, sekolah justru jadi penyelamat bagi banyak anak-anak.

02 May 2010

DUA KEPALA SEKOLAH

Saya tak pernah banyak merasakan diajar oleh kepala sekolah. Dulu sepertinya kepala sekolah tidak mengajar ya, hanya sesekali masuk ke kelas bila guru yang bertugas berhalangan. Baru sekarang saja disyaratkan mengajar minimal 6 jam per minggu untuk keperluan sertifikasi.

Kepala sekolah saya sewaktu SMP bernama Ghufron Dardiri. Orangnya tinggi besar, matanya lebar, berkulit hitam dengan rambut keriting. Saya amat jarang bertemu dengannya, hanya tau saja kalau dia kepala sekolah. Suatu hari ada guru yang tidak masuk, dan Ustadz Ghufron menggantikan (karena SMP saya di pesantren, maka semua guru dipanggil ustadz/ustadzah).

Ingatan saya memang tidak begitu bagus, tapi rasanya, pelajaran Nahwu (sintaksis) waktu itu berjalan lebih menarik dari biasanya. Ustadz Ghufron mengisi materi dengan antusias. Matanya yang lebar terlihat agak melotot jadinya.

Kelas berjalan lebih komunikatif. Dia bahkan menantang kami untuk menerjemahkan kalimat ke dalam Bahasa Arab. Untuk pertanyaan pamungkas, yang bisa menjawab diperkenankan pulang sekarang juga, tidak perlu menunggu bel keluar. Kalimatnya: Empat orang lelaki (ada) di atas empat buah meja. Apa anehnya? Yah, terjemahan lelaki (jamak) dan kaki (jamak) memang agak mudah membuat terpeleset.

Eh, ternyata ada juga yang bisa jawab. Dengan rela dan bersikap fair Ustadz Ghufron memperbolehkan siswi itu keluar. Sayangnya si siswi malah bingung, dan bel ganti pelajaran berbunyi. Saved by the bell ya, Tadz.... ^_^;

Di MA (SLTA), kepala sekolah saya bernama Balya Isa (sedikit mirip dengan nama kepseknya Ikal di novel Sang Pemimpi ^^). Nama keluarganya, Isa, menandakan bahwa Pak Balya adalah generasi berikutnya dari pendiri yayasan di mana sekolah saya bernaung. Nama itu juga mencirikan keluarga kyai di kampung Betawi kami, yang dididik bertahun-tahun di pesantren-pesantren NU, dan memimpin sekolah-sekolah di bawah yayasan.

Tapi Pak Balya adalah anomali. Sementara kakak-kakaknya jago mengkaji kitab-kitab kuning, Pak Balya mengaku mengambil arah lain. Dia jago berbahasa Inggris. IMO, lebih jago dari guru bahasa Inggris manapun yang pernah mengajar saya selama ini. Sungguh.

Bukan cuma tata bahasanya, dia juga berbicara dengan fasih, menulis bahan rapat atau hasil seminar dalam bahasa Inggris, mengetahui banyak lagu klasik dalam pengajaran bahasa Inggris, juga puisi, cerita rakyat, juga anekdot berbahasa Inggris. Dan semua itu membuat pelajaran jadi berbeda ketika dia menggantikan guru aslinya. Jadi lebih kaya, lebih menarik.

Kenapa saya bercerita tentang dua kepala sekolah ini?

Hm..., entahlah. Hanya saja, saya merasa puas ketika mengetahui bahwa seorang kepala sekolah mengajar dengan cara yang lebih baik dari guru-guru yang dia pimpin. Bukankah memang seharusnya begitu?

Dibanding guru, kepala sekolah berkesempatan lebih banyak mengikuti penataran dan pelatihan, berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengembangkan diri. Sudah seharusnya mereka memiliki sikap yang lebih terbuka, lebih kaya, dan lebih bijak.


Keterbukaan pikiran, kekayaan pengalaman, dan kebijaksanaan kepala sekolah dalam memandang pendidikan ini yang akan membawa sekolah ke arah yang lebih baik. Dia tau apa yang terjadi dengan siswa-siswanya, bersedia menerima pembaruan, dan bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan berkaitan dengan segala sesuatu di sekolah.

Seperti nahkoda yang memimpin bahtera ke tujuannya.

dosen killer

Sejak masuk kuliah, saya merasa bahwa dosen dan guru itu berbeda. Ketika di kelas, kontrol dosen tak sebanyak ketika di sekolah. Misalnya, kalau terlambat datang sekian menit, paling banter ga boleh isi daftar hadir, alias dianggap absen. Gak bakal disuruh lari keliling lapangan. Kalau ga ngerjain PR, ga pernah disetrap. Dosen ga ngatur seragam mahasiswa. Mahasiswa juga bisa saja bolos beberapa kali tanpa harus dijemur di lapangan pada pertemuan berikutnya.

Semua pelanggaran yang dibuat memang ada konsekuensinya, tapi dosen 'membebaskan' mahasiswa untuk bisa mengatur diri sendiri. Begitu kira-kira.

Yah, setidaknya itu anggapan saya, sampai para senior bilang: "Pak Aliyuddin kembali dari Brunei semester ini."

"Siapa Pak Aliyuddin?"

Eeeeh, ditanya malah pada senyum-senyum aja, "Liat aja nanti, seru deh pokoknya!"

Dan ternyata memang benar-benar seru. Pertama kali muncul di kelas, dia langsung mencanangkan: "Kalian SEMUA akan BISA pelajaran yang saya berikan dalam semester ini!" Dan tekad itu dia jalankan dengan benar-benar serius!

Selanjutnya, kami seperti kembali lagi ke masa SMA. Kalau datang telat, diomeli. Ga buat PR, diomeli. Ga bisa jawab pertanyaan, diomeli. Absen di pertemuan sebelumnya, juga diomeli (padahal yang absen itu hanya mahasiswa sit-in dari jurusan lain ^^;).


Salah satu teman saya adalah lulusan Madrasah Aliyah di kota Padang. Saya yakin benar dia bisa menjawab pertanyaan Pak Ali. Sayang kegugupannya malah bikin dia malah tak bisa bicara, dan seperti biasa, kena omel lagi. Aksi gebrak-gebrak meja, sampai gelas kaca di atasnya berguncang-guncang, gebrak pintu, nunjuk-nunjuk.

Wah, luar biasa deh energinya Pak Ali ini. Kalau mengajar hampir ga pernah duduk, padahal dia sudah sepuh saat itu. Para senior tambah asik ngasih bumbu: "Waktu masih lebih muda, sebelum diangkat jadi kajur sastra Arab di Brunei, galaknya dua kali lipet!" Hah, kayak gimana tuh gambaran 'dua kali lipat dari sekarang' kira-kira.


Setelah marah-marah, dia akan menyeka keringat sambil berkata, "Aduh, kamu ini bikin saya jantungan aja!" Kami cuma bisa nyengir sambil berpandangan.

Saya sendiri tak pernah menganggap apa yang dilakukan Pak Ali sebagai tindakan jahat. Setiap ngomel, dia lebih terlihat gemas daripada marah. Kayak bilang, "Kamu semua tuh lulus UMPTN, yang begini sih harusnya ga sulit!" Dia juga tak pernah ngomel dengan bahasa yang kasar. Tapi mengenai semangat dan antusiasme Pak Ali di depan kelas, saya kita semua mahasiswanya mengakui.


Sekarang ini banyak metode-metode baru dalam mengajar. Ada SCL, ada CTL, ada MI, dan sebagainya. Tapi perlu diakui bahwa cara Pak Ali terbukti membuat mahasiswanya datang tepat waktu, selalu mengerjakan PR, dan BELAJAR. Ya, apalagi yang diharapkan dosen selain tiga hal itu?

Suami saya bilang, "Ya, itu. Jadilah dosen yang menarik, atau killer sekalian (atau dua-duanya ^_^). Jangan jadi yang biasa-biasa." Dosen yang biasa-bisa aja menghasilkan pembelajaran yang biasa-biasa saja, mahasiswa yang belajar dengan dorongan yang biasa-biasa saja, dan menghasilkan kenangan yang biasa-biasa saja.

Sejak lulus tahun 2003, saya tak tau lagi kabar terakhir Pak Ali. Tapi semoga keberkahan selalu menyertainya di dunia dan akhirat. Amin....