24 September 2017

MENJADI JAGOAN FINANSIAL: Ligwina Hananto Memenuhi Janji Publiknya


Pada Pesta Pendidikan di awal tahun 2017, saya mendampingi Pak Bukik Setiawan yang waktu itu jadi narasumber dalam bincang-bincang Guru Kompeten bersama Wardah. Saat itu narasumber lain, Mba Analisa dari Wardah, bertanya pada saya di belakang panggung, "Guru2 itu sebenarnya perlu apa, Bu?"

Terus terang saya terpana mendengar pertanyaan itu. 12 tahun jadi guru, saya tidak pernah ditanya tentang apa yang paling saya butuhkan dalam menjalankan profesi saya. Sejauh yang saya ingat, bahkan dinas pendidikan pun tak pernah bertanya.

Belum sempat saya menjawab, panitia keburu memanggil kami untuk naik panggung. Tapi jika saja ada waktu saat itu, saya akan menjawab begini: "Guru perlu partner untuk mendidik anak."

Semua pihak, orang tua, pemerintah, masyarakat, menginginkan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, mandiri, beriman, bermanfaat, berkarakter, sehat, mampu memaksimalkan semua potensinya demi kebaikan, singkatnya rahmatan lil alamin. Bayangkan, bagaimana mungkin guru bisa mewujudkan semua itu sendirian?

Karena itu, guru perlu partner. Guru perlu dukungan dari semua lembaga pemerintahan, dari dunia usaha dan industri, dari pemuka agama, dari para profesional, dari seluruh komponen masyarakat. It does take a whole village to raise a kid.

Dukungan ini diwujudkan dalam Janji Publik dalam Pesta Pendidikan 2017, ketika ratusan institusi non pendidikan ikut membuat janji, bagaimana mereka akan berkontribusi pada pendidikan Indonesia. Tapi saya sepertinya sudah mati rasa dengan yang namanya 'janji publik', mungkin akibat pengalaman masa lalu 😜. Jadi Janji Publik di Pesta Pendidikan terlupakan oleh saya. 

Sampai kemarin (23/10/17), saat saya berkesempatan mengikuti pelatihan Menjadi Jagoan Finansial di QM Financials, dan Mba Ligwina Hananto berkata, "MJF adalah pelaksanaan dari Janji Publik kami di PeKan 2017."

Allahu Akbar....
Mbak Wina terus ingat! Dan memenuhinya!
Ya jelaslah saya jadi baper. 

Guru itu biasa jalan sendirian, jujur kita tuh pada bingung dan suka keder. Tapi kan proses pendidikan tidak bisa menunggu, gabisa kan sekolah tutup dulu sampai gurunya paham. Jadi ya sebisa-bisanya deh, terus berusaha menunjukkan pada anak how the world works

Nah terus, sekarang ada (banyak) yang mau menemani perjalanan ini. Wajar kan kalo terharu?

Pelatihan Menjadi Jagoan Finansial dibuka oleh pemaparan dari Mba Najelaa Shihab. Saya ingin menuliskan hal terpisah tentang apa yang disampaikan oleh Mba Elaa, karena ini juga menarik. Nanti baca juga, yah.

5 jam seterusnya berjalan dengan seru. Bahkan 'ceramah' tentang dasar-dasar pengelolaan keuangan saja terasa seru. Gimana yah bilangnya, baru lihat gaya Mba Wina bicara aja, sudah bahagia bener rasanya, hahaha... Antusiasme itu memang menular ya kan, Mba 😍.

Ada kartu-kartu berwarna yang membantu peserta membedakan komponen pengeluaran, ada worksheet kosong yang membuat peserta bisa menilai apakah kondisi keuangan masing-masing sudah cukup sehat, ada pembahasan tentang mendidikkan literasi keuangan ini untuk anak beragam usia, dan ada boardgame yang membuat peserta bisa mereview pemahaman tentang literasi keuangan dengan cara yang super menyenangkan. Ngga berat!

Jangan lupa, peserta MJF seluruhnya adalah guru, baik formal maupun nonformal. Kami semua berkewajiban mendidikkan literasi keuangan ini pada para siswa. Jadi kemudian peserta dibagi sesuai jenjang, kemudian bersama mengubah materi literasi keuangan yang sudah disampaikan jadi rencana aksi yang sesuai.

Di kelompok saya, para guru mendiskusikan masalah keuangan apa yang sering timbul bagi siswa jenjang SMP-SMA. Berdasarkan curhat masing-masing guru, kami menyimpulkan bahwa ternyata spending adalah masalah yang banyak timbul, yakni tentang membelanjakan dengan bijak dan terencana. Maka sebagai solusi, kami merancang proyek Investment Day, dengan rangkaian acara berupa seminar, simulasi, dan permainan peran.

Satu lagi, boardgame! Ini keren pake banget. Boardgame untuk literasi keuangan ini disusun Quamma Project bekerjasama dengan demeira.id, sebuah boardgame developer, yang juga sedang melaksanakan Janji Publik mereka bagi pendidikan Indonesia.

Ih terharu ga sih, kalo banyak yang ikut berkontribusi begini?

Tampak di luar, para guru sedang asik main boardgame sambil ngobrol. Jika kita dengarkan dengan seksama, mereka sedang melakukan kegiatan finansial, sekaligus melakukan refleksi belajar.

Salah seorang guru nyeletuk, "Wah ini keputusan sulit, harus bergerak ke mana nih supaya bisa dapat penghasilan (karena pemain boleh bergerak ke maju-mundur-naik-turun untuk mencapai tujuan)." Artinya, ada pemahaman/kesadaran bahwa literasi keuangan memuat keterampilan menilai situasi, membuat keputusan, dan menetapkan tujuan.

Ada juga komentar seperti, "Wah gimana nih. Kalau harus belanja, cashnya jadi habis dong," dan kemudian ditanggapi peserta lain, "Yakan kalo ga belanja, perekonomian jadi ga jalan." Percakapan itu membawa pada pemahaman bahwa belanja itu baik asal bijak.

Oh ya, yang unik lagi adalah setiap pemain tidak mungkin bisa menang jika tidak memasukkan komponen 'sedekah' dalam pengeluaran mereka 👍

Maka pelatihan pun berakhir, dan kami pulang membawa PR dari Mbak Wina. Ini penting loh, bagaimana supaya sebuah pelatihan tidak berhenti sebagai wawasan belaka, tapi bisa mendorong sebuah gerakan. Ayo semangat ngerjain PR!

Kabar dari Mba Wina, MJF akan dilaksanakan lagi di Ambon (Nov), Pekanbaru (Des), Sukabumi (Jan), Lampung (Feb), dan Bali (Mar). Dan rangkaian tur keliling Indonesia ini akan ditutup dengan acara besar Festival Jagoan Finansial di bulan Mei. MJF diperuntukkan untuk guru, dengan biaya hampir Rp0. Coba bayangkan berapa yang harus dikeluarkan kalau kita ikut kelas regulernya. Jadi jangan terlewat, ya!

Ohya, bagi yang berencana hadir di Temu Pendidik Nusantara 14-15 Oktober 2017, Quamma Project buka kelas MJF loh di TPN. Recommended!

Terima kasih Mba Elaa dari Kampus Guru Cikal, terima kasih Mbak Wina dari QM Financial, terima kasih Mas Febrian dari demeira.id, terima kasih teman-teman panitia. Semoga selalu sehat, selalu dilimpahi berkah, agar terus bisa menebar manfaat lebih luas.


27 February 2017

MERDEKA BELAJAR DI RUMAH

Sebagai homeschoolers, anak-anak saya memang cenderung belajar tanpa dibatasi tembok kelas, dan terbiasa memilih cara belajar mereka sendiri. Ketika terpapar dengan konsep Merdeka Belajar dari Kampus Guru Cikal, saya kemudian menggunakan konsep ini untuk berefleksi atas proses yang kami jalani di rumah, sambil menambal apa-apa yang ternyata saya lewatkan.

Awalnya bermula dari Temu Pendidik di Bandung yang tidak bisa saya hadiri karena bersamaan waktunya dengan kejuaraan wilayah U14 Perbasi Jakarta Pusat yang diikuti oleh Si Sulung, dan kejuaraan wilayah U12 Jakarta Selatan yang diikuti oleh Si Tengah. Sebagai 'balas dendam', saya akhirnya menerapkan konsep Merdeka Belajar pada kegiatan bola basket anak-anak saya ^_^.

Kemarin suami saya menemani Si Sulung pada pertandingan final di Gelanggarang Remaja Pulogadung, lalu menjemput saya yang sedang menemani Si Tengah pada laga pertamanya di Gelanggang Remaja Pasar Minggu. Sudah dua tahun ini Sabtu-Minggu kami sekeluarga memang dihabiskan di lapangan-lapangan basket dan dari GOR ke GOR.

Di mobil dalam perjalanan pulang, saya membuka obrolan tentang Merdeka Belajar, yang akan membuat pembelajar berdaya menjalani pembelajaran apapun tanpa perlu tergantung pada hal-hal di luar diri mereka, semisal perintah guru, ancaman nilai, atau ketersediaan fasilitas. "Apakah kalian ingin tertarik?" 

Betapa senang hati ini ketika mereka merespon dengan antusias.

Saya menjelaskan 3 konsep penting dalam merdeka belajar, yaitu Komitmen, Kemandirian, dan Refleksi.

Bagi Si Sulung (13th) yang bersama timnya alhamdulillah memenangkan final wilayah dan melaju ke kejuaraan daerah di tingkat provinsi, kegiatan awal yang dia lakukan akan dimulai dari refleksi. Suami saya membantu Si Sulung menggali lewat pertanyaan tentang hal-hal apa saja yang akan jadi titik pijak kegiatan refleksinya.

Sedang bagi Si Tengah (10th) yang baru memulai laga pertama di kejuaraan wilayah, saya memintanya menyatakan komitmen belajar secara tertulis.

Hari ini, sambil menunggu makanan pesanan kami tersaji di sebuah restoran keluarga, anak-anak memulai kegiatan yang telah kami bicarakan sebelumnya. 

Karena bola basket bukan kegiatan wajib di keluarga kami (yang wajib itu.... solat ^_^), tak berapa sulit bagi Si Tengah untuk menemukan tujuan belajarnya. Justru refleksi yang dijalani oleh Si Sulung lebih memerlukan pendampingan. 

Refleksi diri yang kami butuhkan bukan hanya perasaan suka/tidak suka atau menarik/membosankan, tapi bagaimana Si Sulung menilai perjalanan dirinya sendiri, mencakup tantangan yang telah dan belum teratasi. Refleksi ini akan segera digunakan untuk membuat komitmen belajar yang baru, yang targetnya adalah final kejuaraan daerah untuk mendapatkan tiket menuju ke kejuaraan nasional setelah lebaran nanti. 

Kegiatan ini baru langkah sangat awal dari keseluruhan proses Merdeka Belajar. Pasti perlu diulangi berkali-kali sebelum konsep Merdeka Belajar menjadi keterampilan hidup yang menetap dalam diri mereka. Semoga Allah memampukan kami dalam menemani anak-anak menjapa tujuan penciptaan yang telah digariskanNya.

18 January 2017

PELATIHAN DISIPLIN POSITIF DARI KAMPUS GURU CIKAL


Tanggal 8-9 Desember yang lalu, alhamdulillah saya mendapat beasiswa pelatihan Disiplin Positif dari Kampus Guru Cikal. Beasiswa ini hanya selang 4 hari dari seminar Disiplin Positif yang saya ikuti di Sekolah Cikal. Tapi memang seminar 2 jam sungguh tidak bisa disamakan dengan pelatihan 2 hari.

TENTANG DISIPLIN POSITIF

Trainer kami di hari pertama adalah Bu Imelda. Membuka pelatihan dengan games, Bu Imelda sudah memberi inspirasi sejak awal, bahwa sebagaimana yang dialami sendiri oleh peserta ketika mengikuti games, kebebasan pada hakikatnya terikat dengan kesamaan-kesamaan yang dimiliki, atau pada kesepakatan yang dibangun, atau bahkan membutuhkan arahan jika diperlukan.

Lalu kami masuk pada pengertian Disiplin Positif dan tujuannya. Masing-masing peserta mengutarakan kata kunci yang dipahami tentang disiplin, dan mendiskusikan apa sebenarnya Disiplin Positif itu. Bu Imelda mengarahkan lewat pertanyaan-pertanyaan sehingga diskusi mengerucut pada satu pemahaman, bahwa Disiplin Positif menekankan pada perilaku positif, dengan mengajarkan dan menguatkan perilaku baik.

Apa targetnya? Kemampuan anak untuk mengendalikan diri. Di sini kata ‘kompetensi’ mulai banyak beredar. Kita mengharapkan siswa kompeten dalam disiplin positif,  bukan hanya tahu, bukan hanya bisa, tapi ‘memiliki’ hal tersebut sebagai perilaku yang menetap dan pada satu titik bisa mempengaruhi sekitarnya.

Di kelas, dari mana awal penerapan disiplin positif ini? Dari peraturan/kesepakatan kelas. Maka tiap kelompok bekerja membuat aturan kelompok untuk kelas tertentu. Beberapa panduan diberikan sebelum kerja kelompok, yakni menggunakan pernyataan positif, fokus pada hasil yang bertahan dalam jangka panjang, batasi jumlah aturan, libatkan siswa dalam penyusunan, terapkan secara bertahap, refleksi dan tinjau ulang jika ada hal yang perlu disesuaikan, dan pelanggaran harus segera ditindaklanjuti.

Namun setelah melihat hasil kerja masing-masing kelompok, diskusi selanjutnya mengantarkan pada beberapa tips dalam membuat peraturan kelas, yakni:

1.    Sesuaikan dengan karakteristik siswa di kelas
2.    Melakukan warming up dengan membaca buku/dongeng/studi kasus sebelum membuat kesepakatan
3.    Fokus pada hubungan anggota kelas dan kenyamanan ruangan
4.    Siswa tahu jabaran peraturan (dos and don’ts), biarkan mereka mencari contohnya
5.    Foto dan kirimkan ke ortusis untuk diterapkan juga di rumah

Terkait dengan poin ‘segera menindaklanjuti pelanggaran’, kami mendikusikan bagaimana cara menindaklanjuti pelanggaran terhadap kesepakatan. Bu Imelda meberikan kartu-kartu yang berisi contoh-contoh tindak lanjut atas pelanggaran yang terjadi. Manakah tindak lanjut yang baik dan mana yang tidak?

Setelah kelompok selesai berdiskusi dan memilah kartu, Bu Imelda memberi tabel perbedaan antara hukuman dan konsekuensi. Gunakan konsekuensi untuk menindaklanjuti pelanggaran, bukan hukuman. Hati-hati, beberapa hukuman diberi nama ‘konsekuensi’ padahal ciri-cirinya lebih pada hukuman.

Setelah itu masing-masing kami menceritakan pengalaman masa lalu ketika mendapat hukuman. Ternyata semua masing ingat dengan jelas, beberapa bahkan hampir mengalami trauma. Bu Imelda kemudian meminta peserta mengubah hukuman yang diterima di masa lalu menjadi konsekuensi logis, yaitu konsekuensi ang berhubungan dengan kesalahan, sesuai kemampuan anak, memberi kesempatan belajar pada anak, dan tetap menjaga harga diri anak. Karena berhubungan langsung dengan pengalaman buruk di masa lalu, maka tugas kali ini entah bagaimana terasa nyesss di hati.

Pelatihan hari pertama pun selesai. 

Hari berikutnya, trainer kami adalah Pak Bukik. Materi dimulai dengan gambar populer Triune Brain, yang menjelaskan bagaimana hukuman tidak akan membuat seseorang menjadi kompeten dalam disiplin positif.

Yang menarik, diskusi membawa kami pada kesimpulan bahwa terkadang baik pendidik maupun siswa sama-sama terjebak menggunakan otak reptil ketika berinteraksi. Guru merasa terancam ketika siswa mulai berulah, dan memilih marah (fight) atau membiarkan (flight). Sementara siswa yang kena marah akan bereaksi sama, melawan guru (fight) atau tak peduli (flight).

Namun Pak Bukik mengingatkan bahwa sebagai guru, kita bukanlah objek, namun subjek. Objek adalah orang bereaksi terhadap kondisi; ‘Jika murid begini maka saya begini” atau “Jika ortu begini, maka saya begini.” Guru adalah subjek, persona yang memiliki kemampuan untuk memutuskan dan mengubah kondisi.

Sebagaimana hukuman, iming-iming pun menjadi hal yang dihindari dalam penerapan disiplin positif. Kenapa? Karena iming-iming bisa menghilangkan makna kegiatan, siswa tidak paham kenapa melakukan sesuatu, dan tidak membangun kemampuan pengendalian diri. Jadi kalau tidak diberi iming-iming, bagaimana memotivasi siswa untuk berbuat baik?

Guru bisa memberikan penghargaan dan penyemangat (appreciation and encouragement). Bentuknya bukan barang, melainkan perhatian. Guru memperhatikan perilaku baik dan menyampaikan apresiasi, yang memunculkan perasaan mampu di diri anak, dan membuatnya ingin mengulangi perbuatan tersebut.

Kemudian materi pelatihan masuk pada 5 Posisi Kontrol dalam penerapan Disiplin Positif. Ada dua hal yang menurut saya paling sulit untuk mengambil posisi sebagai Pemandu/Manajer, yang pertama adalah bagaimana agar sikap ini bisa menjadi perilaku yang menetap dan keluar secara otomatis dari guru, dan yang kedua, bagaimana cara menggali pendapat siswa dan mengarahkan sikap mereka melalui pertanyaan.        
          
TIPS DARI DISKUSI

Sebagian besar sudah saya masukkan ke tulisan sebelumnya, namun berikut saya tambahkan beberapa tips yang dipaparkan dari Bu Imelda, Pak Bukik, serta peserta pelatihan lain sepanjang diskusi dan tanya jawab.

+Maksudnya menguatkan perilaku baik itu yang bagaimana?
-Fokus pada perilaku positif, dengan memperhatikan perilaku positif yang muncul, disebut, dihargai, dibiasakan, hingga akhirnya tertanam tanpa sadar.

+Bagaimana melatih anak tepat waktu datang ke sekolah?
-Datang tepat waktu penting buat anak karena membangun mood yang baik. Buat pagi yang menyenangkan sehingga anak ingin datang tepat waktu. Bisa menggunakan beragam aktifitas, midalnya games yang bermakna. Buat Bank Permainan yang berisi permainan-permainan yang menyenangkan tapi juga berkolerasi dengan materi belajar, meruopakan konteks atau review dari pembelajaran tertentu, atau dapat direfleksikan manfaatnya.

+Bagaimana jika anak sudah minta maaf tapi terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama?
-Jangan jadikan kata maaf sekedar sebagai lip service.  Urutannya adalah anak melakukan refleksi terlebih dulu. Jangan menasihati, tapi menggali. Paparkan faktanya, tanya perasaannya, cari penyebabnya, bagaimana jika..., apa menurutmu.... Setelah itu sepakati konsekuensi dan biarkan anak menjalaninya, lalu minta maaf.

+Bagaimana jika pelaku pelanggaran tidak mau mengaku?
-Hentikan pembelajaran, ajak siswa lain untuk menghibur korban, ingatkan tentang nilai yang dipegang bersama (kesepakatan kelas), wawancara individual, bahas inti masalah di kelas, kuatkan kesepakatan kelas, bekerja sama dengan ortusis.

+Bagaimana jika anak enggan menjawab?
-Tawarkan alternatif solusi, minta anak untuk memilih tawarkan bantuan jika perlu. Ingat, guru harus benar-benar melaksanakan tawaran tersebut.

+Apa yang bisa menjadi pemicu motivasi internal?
-Rasa penasaran, perasaan otonomi atau menjadi orang dewasa, kesukaan, perasaan mampu/bisa.

+Bagaimana jika anak hanya tertarik satu aktifitas saja?
-Aktifitas yang disukai adalah pintu masuknya. Guru pelan-pelan memberikan tantangan untuk memasuki mata pelajaran atau katifitas lainnya. 
                 
HAL-HAL YANG MENGESANKAN

Apa perbedaan membaca buku dengan belajar langsung dari guru? Saya kira, perbedaannya adalah kekayaan dimensi yang dapat dihadirkan. Tatap muka dengan guru artinya kita bukan hanya mendapatkan apa yang tercetak di modul atau ditayangkan dalam powerpoint, bukan hanya hasil diskusi dengan pemandu dan teman, tapi juga hal-hal tersirat lain.

Seperti apa?

Seperti bagaimana pelafalan dan tempo bicara Bu Imelda saat menjelaskan. Bu Imelda tidak bicara lambat seperti pada anak-anak, tapi jelas dan efektif,  sehingga peserta bisa menangkap materi dengan baik. Seperti juga bagaimana Pak Bukik mengelola pendapat pro-kontra yang muncul sepanjang diskusi. Hal-hal seperti ini, adalah pembelajaran yang tersirat namun berharga.

Karena kekayaan dimensi yang didapatkan itu, saya berusaha benar-benar merekam hal-hal penting, meskipun tetap saja banyak hal yang terlewat. Sisi samping, atas bawah, maupun halaman kosong di balik modul pelatihan saya dipenuhi dengan catatan-catatan. Kebanyakan merekam berbagai tips sebagai alternatif untuk memecahkan kasus-kasus kedisiplinan yang terjadi di sekolah, beragam hal yang tidak ada di modul pelatihan karena muncul dari pertanyaan dan diskusi peserta.

Saya memperhatikan bahwa Bu Imelda dan Pak Bukik selalu menyediakan waktu agar peserta bisa melakukan refleksi setiap kali selesai kerja kelompok. Saya bahkan mencatat langkah demi langkah ketika Bu Imelda memfasilitasi diskusi kelompok, sejak bagaimana dibentuk, bagaimana jalannya tukar pendapat, sampai bagaimana mempresentasikan hasil diskusi, karena aktivitas ini penting menurut saya.                     

SETELAH ITU, LALU?

Di kelompok saya, teman-teman peserta lain mengeluhkan satu hal yang sama: kepala penuh! Pemahaman-pemahaman baru, perubahan yang mesti diusahakan, dan setumpuk gagasan dan ide yang bisa diterapkan. Memang begitulah harusnya, bahwa pelatihan harus membawa pada gerakan, dan gerakan ini akan mengubah kondisi ke arah yang lebih baik.

Maka para peserta pulang dengan banyak pekerjaan rumah. Mengubah diri sendiri, berbagi dengan guru sevisi supaya bisa bergerak bersama sekaligus selalu saling mengingatkan, dan akhirnya bisa mempengaruhi lingkungan kerja, tampaknya bukan hal enteng. Tapi jika sesuatu hal kita anggap baik, maka perlu diusahakan sebaik-baiknya.