Saya mengerti, beberapa sahabat memilih untuk tidak membuka account di Facebook, karena berbagai alasan. Bila saya kemudian tetap membuka account di sana, tentu saja bukan tidak setuju dengan para sahabat saya tersebut, namun karena satu alasan, yakni agar saya bisa terhubung dengan beberapa orang penting: murid-murid dan mantan murid saya.
Bila pada keluarga dan teman-teman, sayalah yang meng-add mereka untuk jadi teman, sedang pada murid, saya memilih menunggu. Tentu tak semua murid nyaman bila ada guru yang memasuki zona pertemanan mereka.
Mereka yang meng-add saya tentu adalah mereka yang percaya dan membuka diri pada saya. Maka, giliran saya yang harus menahan diri dari kebiasaan guru di sekolah: kepingin tahu dan sok menasihati.
Suatu hari, saya terkejut membaca relationship seorang mantan siswa. Ia menulis di sana: married to... Saya cek nama yang tertera, dan ia memang istrinya, dengan satu anak balita. Loh, dia kan baru lulus dua angkatan lalu, bagaimana mungkin sekarang sudak memiliki istri dan anak, kecuali bila ia menikah langsung setelah lulus.
Lalu ia mengirim profile picture seorang perempuan dengan tulisan: my wife. Saya sudah penasaran setengah mati ingin tahu ceritanya, tapi akhirnya dengan susah payah bisa menahan diri dan hanya berkomentar: "Cantik!"
Alhamdulillah, saya bersyukur telah menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan yang menyelidik. Mantan murid saya itu kelihatannya amat senang dengat satu kata yang saya ketik itu. Ia bilang terima kasih, dan berjanji akan menyampaikan pada orangnya.
Mungkin tidak kepingin tahu memang lebih baik kali ini.
Beberapa waktu berselang, seorang mantan murid membuka kotak chat pada saya. Ia bukan alumni, karena drop out saat hampir ujian nasional tahun lalu. Walaupun perbaikan sudah dicoba lewat konseling, sampai diancam dengan hukuman, kadang dunia luar memang lebih kuat dari sekolah.
Lagi-lagi saya kepingin tahu, apa dia melanjutkan di sekolah lain? Apa dia punya ijasan SMA? Akhirnya saya mempersingkatnya dengan pertanyaan: "Sekarang sibuk apa?"
Dia menjawab: "Saya tidak akan melupakan Yapera, Bu. Sekarang saya lagi nunggu, insya Allah besok udah mulai kerja."
Saya menangkapnya sebagai: saya tidak lulus SMA, dan memilih bekerja. Akhirnya saya menuliskan, "Sukses, ya!"
Dia mengetik: "Terima kasih ya, Bu. Baru ibu yang mendukung saya."
Saya terkejut. Ya Allah, saya sekedar bilang, 'sukses ya!' dan menurutnya saya adalah orang pertama yang mendukungnya. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan orang2 lain di sekitarnya selama ini, mengingat ia tidak lulus SMA.
Saya bersyukur karena tadi masih bisa menahan diri, tidak sok tahu dan sok mensehati, walaupun kepala saya sudah penuh dengan petuah-petuah klise tentang masa depan cerah dan cara menggapainya.
Yah begitulah, saya ada di Facebook, demi berhubungan dengan beberapa orang penting seperti dua di atas ini.
membaca tulisan ibu serasa saya melihat diri saya sendiri, saya juga pernah mengalami chat dengan mantan murid saya, persis masalahnya dengan murid ibu, hanya bedanya saya mengatakan Alhamdulillah, ketika dia memberitahu sudah tidak sekolah lagi dan memutuskan bekerja
ReplyDelete