10 August 2008

Our Legacy

Hari Kamis lalu, pintu saya diketuk orang. Agak kaget juga, karena tak biasanya saya kedatangan tamu. Setelah dibuka, muncullah 2 wajah berjilbab, memakai atasan batik biru dan rok lebar putih. Saya tahu, mereka berdua adalah siswi SMP di bawah yayasan yang sama dengan SMA tempat saya mengajar.

"Mau mewawancarai Ibu, untuk tugas Bahasa Indonesia" kata salah satunya malu-malu. Wah, wawancara? Hari Kamis saya memang tidak ada jadual mengajar, jadi seharian dihabiskan membereskan rumah. Aneh sekali diwawancarai dengan pakaian kucel berbau asap dapur.

Pertanyaan dimulai dengan "Siapa nama Ibu?" Saya hampir tertawa mendengarnya, kalau saja saya tidak ingat bahwa yang menanyai saya masih SMP. Pertanyaan itu tentu saya jawab sejujurnya. Lalu pertanyaan tentang tanggal lahir, jumlah anak dan sebagainya yang biasa ada pada biodata. Saya mulai bertanya-tanya kapan pertanyaan intinya akan dimulai.

Ternyata tema wawancaranya adalah pengalaman saya sebagai guru, yang secara formal baru 3 tahun saja. Tapi kemudian, dua siswi ini mengajukan pertanyaan yang membuat saya berpikir dulu sebelum bicara.

"Apa yang Ibu harapkan dari siswa-siswa Ibu?"

Tak mudah, memang tak mudah. Pertanyaan ini sesungguhnya menyentuh inti kenapa sekarang saya memilih jadi guru. Apa yang saya sebenarnya inginkan untuk dicapai oleh siswa-siswa?
Saya bisa saja memilih jawaban mudah tapi basi seperti: "Saya harap anak-anak dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa." Itu memang jawaban yang sama sekali tak salah, hanya saja terlalu samar bagi saya. Jauh, utopis. Saya ingin yang sederhana saja sekarang.

Sederhana, karena tanpa dibebani macam-macam harapan pun, apa yang dirasakan siswa sekarang sudah kompleks. Mereka berhadapan dengan kondisi ekonomi yang menjepit, gizi yang kurang, beban pelajaran yang banyak, ujian nasional yang meresahkan, kesempatan kerja yang sedikit, juga pergaulan yang kian meracuni. Makanya, tak usah jauh-jauh dulu berpikir tentang 'berguna bagi agama, nusa dan bangsa'.

Maka jawaban untuk dua siswi tersebut adalah, saya ingin anak-anak yang saya ajar cinta belajar, suka belajar, dan jangan sampai benci belajar. Kalau sudah cinta belajar, tidak masalah bila tidak bisa meneruskan sekolah karena kehabisan biaya. Tidak masalah kalau belum bisa menebus ijasah di sekolah sebelumnya. Karena suka belajar membuat siswa tak pernah berhenti belajar, dari mana saja, dari apa saja, dan dengan itulah ia akan selalu punya arti bagi orang-orang di sekitarnya.

Masalahnya, apa kita bisa dibuat percaya bahwa mereka bisa cinta belajar? Beberapa guru mungkin akan skeptis, melihat kenyataan yang mereka temui sehari-hari di kelas. Siswa lebih-lebih lagi, tampaknya.

Bagaimanapun, tentu mereka bisa. Caranya? Ya seperti penyebab rasa suka kita pada seseorang, belajar harus juga menarik dan menyenangkan. Belajar juga memiliki makna, yakni terhubung dengan kehidupan. Dan menciptakan kondisi seperti itu banyak caranya, bertumpuk bukunya, asal mau dicari dan diterapkan.

Saya jadi tertohok lagi. Mari menilai diri sendiri. Bagaimana mungkin mengajarkan anak cinta ilmu kalau gurunya saja tidak? Karena rumus diferensial mungkin akan dilupakan, bagaimana menghitung rugi laba perusahaan mungkin akan dilupakan, sistem pemerintahan akan dilupakan, sejarah runtuhnya Demak mungkin akan dilupakan. Lalu apa yang akan saya, dan rekan guru lain tinggalkan?

Cinta belajar.