03 May 2012

DUA AKUN FACEBOOK?

Bikin dua akun Facebook?

Satu untuk Irma yang 'bu guru' (status-statusnya harus jaim, karena dibaca siswa dan rekan sejawat), satu lagi Irma yang 'manusia' (status-statusnya bebas merdeka suka suka hip hip hura hura).

Sayangnya hanya ada satu Nengirma. What you see is what you get.

Tema ini masuk dari obrolan para guru tentang larangan guru berteman online dengan siswa yang dikeluarkan negara bagian Missouri, AS. Beberapa guru di Indonesia menyarankan agar guru membuat 2 akun, satu aku sebagai guru, satu lagi akun sebagai pribadi.

Saya sendiri ga setuju kalo profesi guru tidak inheren dengan kepribadiannya. Apa yang tidak boleh dilakukan ketika di sekolah, harusnya juga tidak dilakukan di luar sekolah. Foto atau ucapan yang tidak pantas ditampilkan di depan siswa, berarti bukan perbuatan yang sesuai dilakukan oleh seorang guru.

Lagian, kalo punya dua akun, i'll mess it up, for sure ^_^;.

Jadi bikin 2 akun untuk memisahkan 'aku yang guru' dan 'aku yang manusia biasa' kayaknya bukan ide yang cocok untuk saya.

MEMASTIKAN KEKOKOHAN


“Aku berhenti pakai guru les buat anak-anak. Ga kuat bayarnya.”

Guru privat memang mahal, makanya wajar kalau teman lama saya itu mengeluh begitu. Kami bertemu di lorong sebuah mini market secara tidak sengaja. Anaknya kelas 3 SD, setingkat dengan anak saya kalau dia sekolah.

“Memangnya si Tengah ada masalah di pelajaran matematika?” Tanya saya.

“Nggak sih, tapi dulu kakaknya kelihatan baik-baik, ternyata pas kelas 5 SD baru ketahuan kalau dasar matematikanya lemah.”

Benar, itulah masalahnya. Kebanyakan anak tidak mencapai kompetensi di kelas-kelas sebelumnya, hingga jadi masalah begitu naik kelas. Dasarnya lemah, tapi tak sempat diperkuat. Tak ada waktu menunggu semua anak kompeten. Jadi kalau sudah kelihatan bisa, ya udah aja deh, dianggap bisa.

Bayangkan saja, dasarnya goyah, terus ditumpuk lagi sama materi, ditumpuk lagi, ditumpuk lagi, pantas saja ada anak SMA di Tangerang tidak paham bagaimana menulis kata ‘siapa’ atau tak bisa menjumlahkan pecahan sederhana dengan benar.

Sebagai guru, saya juga bingung bagaimana menyiasatinya. Materinya banyak, beneran deh, dan waktunya ngepas. Mestinya kan tiap evaluasi (misalnya latihan atau ulangan), yang tidak dimengerti harus langsung diremedial. Bukan diuji ulang, tapi dibahas ulang. Tapi ga sempet, hiks hiks hiks…

Dan 40 anak sekelas, yang berarti 40 variasi kemampuan, 40 variasi kecerdasan, dan 40 variasi gaya belajar. Kepingin nangis aja rasanya.

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati (Iwan Fals).

Ah, akhirnya, mom cleans the mess, as always. Mudah-mudahan anak-anak Indonesia punya ibu-ibu yang peduli yah. Bukan peduli nilai, tapi peduli tentang kompetensi minimal yang harus dikuasai anak-anak mereka.

Cobalah datang ke wali kelas, Tanya apa anak kita siap menerima pelajaran di kelas berikutnya. Bukan, bukan masalah nilai, tapi pemahaman yang cukup kokoh dari si anak. Ya, benar. Siap di sini adalah siap untuk sekian belas mata pelajaran.

Mudah-mudahan saja wali kelas anak-anak kita bisa menjawabnya.