25 February 2013

SAYA SAKSINYA

Tahun 2009, hanya 18 siswa yang mendaftar ke sekolah kami. Ya, hanya segitu. Terus terang, semua kecewa dan sedih, bukan hanya pihak sekolah dan guru, tapi juga para kakak-kakak kelas. Hingga akhirnya diputuskan, jika kondisi ini tak membaik di tahun depan, sekolah mungkin akan ditutup saja.

Lalu tahun ajaran baru datang, dan kami memandang 80 lebih anak baru di hari pertama. Harapan mulai tersemai lagi.

80 anak ini sekarang sudah kelas XII, terbagi ke 3 rombongan belajar. Dan pekan ini, adalah pertemuan saya yang terakhir dengan mereka di kelas.

Kelas XII IPA, mayoritas berisi siswa perempuan. Cerewet, tapi partisipatif, kritis dan pintar. Saya ingat Pak Lutfi keluar dari kelas XII IPA dengan kuping berdenging. "Tu kelas isinya nenek-nenek semua. Rempong!" begitu katanya. Berisik sekali, tapi semua partisipatif tanpa terkecuali.

Saya sampaikan kata-kata di atas pada anak XII IPA, dan mereka terbahak-bahak senang. Nenek Rempong justru merupakan pujian, semacam panggilan sayang untuk mereka.

XII IPA: Photo session in yukata

Kelas XII BN adalah kelas istimewa. Ini kelas mayoritas cowok, tapi saya sama sekali tidak kesultan. Saya belum pernah melihat kelas dengan banyak sekali bakat menonjol, dari band, sampai marawis, sampai hadrah, sampai seni rupa, sampai bela diri, sampai menulis.

Saya tahu, selama bersekolah di sini, mereka banyak mengalami kekecewaan. Bukan salah saya, memang. Tapi entah kenapa saya ingin minta maaf pada mereka. Saya harap saya sedikit membantu meringankan jalan berat mereka sepanjang 3 tahun ini.

XII BN: Look at the angry bird!

Kelas XII IPS punya karakter yang berbeda. Berimbang antara lelaki dan perempuan, tapi inilah kelas yang paling menantang.

Sebagai guru, saya berusaha keras memperbaiki diri. Saya membaca buku tentang metode, mencari model pengayaan, dan merancang pembelajaran yang bisa menyenangkan. Hampir selalu berhasil, di semua kelas.

Kecuali XII IPS.

Dengan kata lain, kalau merancang lesson plan, maka harus dicobakan di kelas XII IPS untuk tahu kelemahannya. Bahkan lesson plan yang sukses besar ketika diimplementasikan di kelas lain, belum tentu bisa menarik sekedar antusiasme kelas istimewa ini.

Terus terang, XII IPS sering sekali membuat saya frustasi, ide mentok, mati gaya. Tapi kebahagiaan yang didapat ketika berhasil menjalankan proses belajar di mana semua anak XII IPS antusias dan berpartisipasi, rasanya dua kali lipat dibanding kelas-kelas lainnya.

Kelas inilah yang paling sulit ditundukkan. Kenyataannya sayalah yang malah ditundukkan. Tepatnya, kesombongan saya yang ditundukkan. XII IPS adalah cara berintrospeksi bahwa sebagai guru, saya masih perlu banyak belajar.

XII IPS: Obentou time!

Ah, tiga kelas yang berbeda, tapi hebat semuanya.

Suatu hari saya sedang ada di belakang kelas memeriksa pekerjaan siswa, katika salah satu siswa berteriak dari depan, "Ibu punya rautan, ga?" Saya bilang ada, itu di tempat pensil. Siswa itu maju ke meja guru, mengorek-ngorek tempat pensil saya.

Tak sopan? Tidak, saya tidak menganggapnya demikian. Kalau anda ada di kelas saya saat itu, anda akan lihat bahwa saya tetap dominan, tak ada yang berbuat kurang ajar atau melanggar. Semua bekerja, seperti yang saya suruh. Cerita tadi menunjukkan bahwa kami akrab, dan saya senang bahwa keakraban kami sampai pada tahap tak sungkan meminjam rautan dari saya.

Saya mengajar Bahasa Jepang, dan terus terang, saya sering dibuat kegeeran oleh kelas XII. Beberapa siswa menambahkan 'nama Jepang' di belakang ID Facebook atau Twitter mereka. Mereka memasang profile pic atau avatar ketika memakai yukata. Mereka menamai lembar tugas pelajaran lain dengan hiragana. Mereka tiba-tiba melakukan dance cover pada lagu AKB48, dan menyanyikan Tegami dari Angela Aki di acara sekolah.

XII IPA-IPS: CLD48? Hwahahaha....

Mungkin segala hal yang berbau Jepang itu bukan berasal dari kelas saya, tapi tetap saja saya kegeeran. Dan itu tidak mengapa, karena kegeeran itu membuat saya bahagia.

Ketika siswa baru lulus, biasanya mereka datang ke sekolah dengan rambut gondrong, mengecat rambut, memakai kontak lensa warna warni, segala hal yang menunjukkan I'm free from school. Tapi setelah beberapa bulan, saya menemukan fakta bahwa mereka akan mulai berpikir serius tentang masa depan.

Saya selalu bahagia ketika melihat para alumni, bahkan yang kemampuannya lemah atau paling susah diatur, mulai menemukan kehidupan mereka sendiri. Beberapa datang dengan rutin di SMA Fair kami, yang lain saya tengok kabarnya  lewat Facebook, berfoto dengan seragam kerja atau bersama teman-teman kuliah, sambil tersenyum.

Karena itu, saya percaya. Saya percaya bahwa mereka akan bisa mandiri, bermanfaat buat orang lain, dan menemukan kebahagiaan. Tentu tidak cepat hasilnya. Lima atau sepuluh tahun mendatang, saya percaya 100% akan melihat buktinya. Datanglah saat itu ke sekolah, Nak, dan laporkan apa saja yang telah kalian lewati dan dapatkan sepanjang jalan kehidupan.

Mungkin di suatu hari nanti ada yang akan mengatakan pada anak-anak ini bahwa mereka useless dan tidak bisa diharapkan. Bila saat itu datang, saya harap mereka tetap percaya bahwa mereka adalah anak-anak yang baik.

Saya yang jadi saksinya.

Surprise birthday cake from XII IPA

14 February 2013

GENOGRAM


Apakah harusnya kelas XII fokus ke UN saja, yah? Apa mereka masih perlu duduk melingkar untuk jam kerohanian di masjid, atau ikut kelas pengembangan diri? Lumayan juga kan, ada 4 jam tambahan untuk belajar. Tapi ga tega deh, rasanya. Kepala mereka udah ngebul kebanyakan latihan soal. Barangkali saja kelas rohis, PD, maupun kelas seni justru bisa menjadi selingan.

Jadi kami duduk lagi di kelas PD. Saya bersama belasan siswa kelas XII, gabungan dari 3 kelas berbeda. Hari itu kami membuat genogram, atau pohon keluarga. Bukan hanya berisi nama, tapi juga pendidikan terakhir dan pekerjaan sekarang.


Apa adanya kita sekarang adalah hasil bentukan nature+nurture, dan keluarga jelas memegang peranan besar mengatur cara pandang kita terhadap sesuatu, termasuk tentang pendidikan dan jenis pekerjaan. Meskipun semua siswa pasti hapal apa pendidikan terakhir dan pekerjaan orang tuanya, tapi kebanyakan belum 'ngeh' sebelum dipetakan seperti ini. Maka saya meminta anak-anak membuat genogram.

Saya teringat salah satu anak di kelas XII, kira-kira 2 tahun yang lalu. Ketika saya bertanya apa rencananya setelah lulus SMA, dia menjawab, "Akan bekerja di pengeboran minyak lepas pantai."

Wow, itu jenis pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan akan keluar dari murid saya, seorang siswa SMA di Ciledug, Tangerang. Ketika saya tanya kenapa demikian, dia bilang ingin ikut kakaknya yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Oh, ternyata begitu. Ini menjelaskan tentang pengaruh keluarga/lingkungan pada pilihan pendidikan dan karir kita.

Seperti juga pada kenyataan bahwa setiap tahun saya menyodorkan persyaratan beasiswa ke luar negeri pada siswa-siswa kelas XII, tapi ternyata tak seorang pun berani mencoba. Bahkan mencoba saja tidak berani. Kuliah di luar negeri sepertinya jauh sekali dari dunia mereka, dan sulit dibayangkan. Mungkin saja karena tak seorangpun dari orang-orang terdekat mereka yang memiliki pengalaman tersebut, hingga tampaknya impossible.

Kembali ke genogram, saya membaca hasil genogram yang dibuat para siswa dan menemukan beberapa hal menarik. Banyak profesi terbaca di sana, dari guru, supir taksi, ibu rumah tangga, wartawan, sales, pedagang, buruh, petani, sampai pengrajin sepatu.

Saya bertanya pada mereka, adakah yang sudah pernah mengobrol dengan pamannya yang wartawan, atau kakaknya yang menjadi kasir supermarket? Tentang bagaimana asyiknya wartawan, atau bagaimana cara melamar kerja di supermarket. Adakah yang sudah meminta tips bagaimana berdagang atau bagaimana cara memasarkan sepatu? Kalau bapaknya petani, adakah yang menjadikannya inspirasi dalam memilih jurusan saat kuliah? Kalau kebanyakan keluarganya hanya lulusan SD, adakah yang berniat menjejaki pendidikan tinggi?

Lalu kenapa tidak terpikir 'menggunakan' teman sendiri? Ngobrol dengan kakaknya teman yang bekerja di showroom mobil, belajar memelihara ternak dari ayah teman yang petani, atau belajar manajemen warung dari teman yang keluarganya nge-warung.


Inilah serunya menjadi mentor kelas pengembangan diri. Saya bisa melihat jiwa-jiwa muda yang punya kesempatan tak terbatas untuk tumbuh, potensi yang bisa kita, para guru, bangunkan dan dorong keluar. Mudah-mudahan saja materi genogram bisa berguna untuk anak-anak ini dalam membangun masa depan mereka.




08 February 2013

BELAJAR KATAKANA

Ceritanya, saya ga lulus JLPT N4. Bayangkan, guru bahasa Jepang macam apa yang N4 saja ga lulus, xixixi.... Dan sudah saya kabarkan berita ini ke seluruh dunia, lewat jejaring sosial, entah karena apa. Tapi sekarang saya mau bilang:

Syukurlah.... Syukurlah....

Tapi tak ada hubungannya dengan #GaLulusN4. Saya bersyukur karena alhamdulillah, saya mengajar Bahasa Jepang. No UN's pressure here, yeah! I can take my time, much freedom, much fun!  

Sebelum 2009, saya mengajar Bahasa Indonesia. Fyuh, keringetan deh ngejar kurikulum. Belum mantep di bagian ini, udah kudu pindah materi. Kalau ga begitu, nanti numpuk di akhir dan membebani pas ujian. Waktu tambahan? Hadeh, mimpi aja dah.

Tapi untuk Bahasa Jepang, saya lebih lapang. Misalnya kemarin kami belajar katakana. Eh... tunggu! Kok baru belajar di semester genap? Lha iyaaa.... Tadi kan saya sudah bilang, I take my time. I really am. Dan inilah lesson plan yang saya rancang untuk pembelajaran katakana.

Sesi #1: Mengenal dan menulis katakana 

Saya pake worksheet, mencontohkan satu-satu urutan mengguratnya. Harusnya bisa pakai video, karena di Youtube buanyak banget tutorial menulis katakana. Tapi kebetulan in focus cuma ada satu, yaitu di ruang audiovisual perpustakaan. Jadi guru-guru 'rebutan' menggunakan ruang tersebut. Jadi kalo ga penting-penting banget, kita di kelas aja, pake cara tradisional.


Sesi #2: Katakana di sekitar kita

Kalau di Jepang, penggunaan katakana memang lebih sedikit dibanding kanji dan hiragana. Tapi di Indonesia, saya mengamati bahwa justru lebih banyak katakana. Saya pergi ke minimarket dekat rumah dan memfoto merek-merek produk dalam katakana. Dan hasilnya buanyak....


Setiap jalan-jalan, saya juga awas pada katakana, mulai dari plang toko sparepart, bengkel, tempat kursus, sampai restoran.


Sepertinya anak-anak baru ngeh ketika saya menunjukkan hal ini. Maka hari itu kami membaca katakana yang terpampang nyata (#eh) di berbagai kemasan dan plang menggunakan powerpoint.


Sesi #3: Inkan

Ini sebenarnya terinspirasi dari Pak Ferry Hadari. Ketika saya minta tandatangan di buku Sapa Cinta, beliau tidak menandatanginya, tapi mencap dengan inkan. Karena Pak Ferry adalah gaijin, maka huruf yang tertera di inkan tersebut adalah katakana. Ih, lucu....

Maka kami buat inkan nama masing-masing (tentu dalam katakana) menggunakan penghapus murah, dan bertukar stempel dengan semua anggota kelas (termasuk saya) di portofolio masing-masing. Menyenangkan!


Sesi #4: Mengubah kata-kata asing menjadi katakana

Saya menggunakan worksheet latihan dari http://www.guidetojapanese.org/learn/grammar/katakana_ex . 

Sesi #5: Games menebak katakana

Dilakukan dengan membentuk beberapa kelompok dan menunjukkan makanan yang memiliki katakana di kemasannya. Saya akan menyebut nama salah satu anak, bila dia bisa membaca katakananya, maka makanan tersebut menjadi milik kelompok. Kalau tidak bisa, pertanyaan vboleh direbut kelompok lain.


Sesi #6: Membaca cerita anak yang terdapat cukup banyak katakana


Kecepatan belajar setiap rombel pasti berbeda-beda, jadi dalam pertemuan bisa diisi 1-2 sesi. Tapi sesi #5 dan #6 mungkin tidak terlaksana, karena materi lain sudah menunggu. Saya menganggap 4 sesi bertemu katakana sudah bisa mengakrabkan anak dengan huruf-huruf ini.

Jadi, ini enaknya ngajar mapel pilihan seperti Bahasa Jerpang. Terbayang kalau saya dikejar-kejar kurikulum seperti dulu, saya akan terburu-buru. Belum sempat mengenalkan konteks, belum sempat menghubungkan dengan dunia nyata, belum memberi kesempatan anak untuk get connected dengan materi pelajaran, dan terutama belum bersenang-senang, eh sudah harus pindah materi.

Sebagai guru Bahasa Jepang jadi-jadian, saya mengakui kemampuan bahasa saya yang sangat minim. Dan karena itu, sudah 2 tahun ini saya keukeuh ikut JLPT. Sementara itu, saya berusaha memperbaiki metode mengajar saya, agar mudah-mudahan para siswa merasa bahwa bahasa dan budaya Jepang itu tidak asing, dekat dan akrab dengan keseharian, dan menyenangkan.


03 February 2013

APAKAH SAYA SEBEGITU MEMBOSANKAN?

Beberapa waktu yang lalu, saya mengajar di SMK BN. Hari itu hari Sabtu yang mendung, jam tujuh pagi. Setelah beberapa menit, salah seorang siswa terangguk-angguk di baris ketiga. Mengantuk.

Xixixi.... Apakah saya sebegitu membosankan?

Mungkin mood saya sedang bagus, karena alih-alih marah atau kesal, saya malah nyengir-ngengir bernostalgia.

SMK BN adalah sekolah berbasis pesantren. Saya juga dulu murid di sekolah berbasis pesantren. Jadi saya mengerti bahwa anak-anak ini harus bangun jauh sebelum subuh untuk antri mandi. Kalau menunggu setelah subuh, bisa tidak kebagian mandi, dan beresiko kehabisan air juga.

Setelah subuh ada tilawah dan mufradat, piket sarapan, sekolah, dan seterusnya kegiatan berturut-turut, mulai dari yang wajib sampai yang pilihan. Belum lagi mengurus keperluan pribadi seperti cuci setrika dan sebagainya.

Jadi saya mengalami juga tuh, yang seperti itu. Terangguk-angguk ngantuk di kelas. Dan sepertinya itu alasan kenapa saya tidak marah, justru menganggapnya lucu sekaligus jatuh kasihan.

Di hari lainnya, saya masuk ke salah satu kelas. Di sekolah saya, meja kursi guru tidak beda dengan siswa. Begitu duduk, pandangan saya jatuh pada meja tanpa taplak di hadapan. Ya ampyuuuun.... penuh contekan isinya! Saya sontak terbahak, tapi dalam hati saja. Yang muncul di luar cuma mesem-mesem sambil menunjukan apa yang tertulis di atas meja itu pada pada para siswa.

Saya sendiri hampir tidak pernah nyontek. Pernah sih melihat lembar jawaban teman, tapi malah ragu jangan-jangan dia salah. Ga jadi deh nyonteknya (eheheh, mo nyontek aja kok pake cerewet). Tapi melihat meja penuh contekan membawa saya (lagi-lagi) bernostalgia.

Mungkin sebagai guru harusnya saya menasihati para siswa dan menunjukkan keprihatinan saya pada kebiasaan buruk ini. Tapi maklumlah, kadang otak ini lemot jalannya. Bukannya prihatin, kok saya malah merasa hal ini lucu.

Saya bagikan cerita ini pada sahabat-sahabat saya di grup whatsapp, yang membawa kami semua mengingat cerita-cerita masa lalu. Nah, terbukti memang ada orang yang sama anehnya dengan saya, bukannya menasihati malah cekikikan ^o^.

Lalu yang terakhir, ini baru terjadi kemarin. Jadi mulai Januari ini, sekolah saya mengeluarkan kebijakan tidak membawa hp di kelas. Kebijakan ini berlaku baik bagi guru dan siswa. Lalu kemarin ada kasus: karena dilarang bawa hp, eeeeh siswa bawa iPod ke kelas.

Yang dilarang kan hp, jadi apa yang salah?

Hwahahahaha..... We can't beat them, for sure! *nyengir sambil tepok jidad*

Apa yang saya pelajari kemudian?

Yaitu bahwa ketika kita memakai kacamata yang lebih positif pada siswa, segala macam masalah bisa terlewati dengan hati yang lebih lapang. Siswa itu bukan 'lawan' bagi pihak sekolah loh. Bila ada kelakuan yang tidak sesuai harapan sekolah, tidak selalu diartikan sebagai upaya melawan otoritas, makar, usaha menghancurkan tatanan. Kalau kita memandang demikian, itu yang dinamakan 'take it too personal'. Dengan kata lain, kita tersinggung.

Kadang siswa bandel, mungkin hanya karena kurang tidur, atau sekedar clueless, atau malah kreatifitas mereka dalam hal problem solving. Dan saya HARUS terus mengingat hal ini, karena sering sekali lupa.

Tapi tidur di kelas, mencoret-coret meja untuk contekan, dan menyetel iPod saat belajar di kelas itu SALAH!

Memang, kemungkinan besar memang demikian. Tapi kalau semua itu dipandang sebagai kenyataan bahwa mereka belum bisa mengendalikan diri sendiri, dan bukan bentuk perlawanan pada guru/sekolah, kita akan bisa menyelesaikannya dengan lebih santai, tanpa tersinggung, dan -mudah-mudahan- lebih bijaksana.



*gambar ngambil semua di googleimages, mohon keikhlasannya.