27 January 2013

TOMBOL KLIK

Kemarin sekolah kami merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Tentang tradisi Maulidan di sekolah kami sendiri bisa jadi satu cerita, tentang kenapa kami peringati sampai bagaimana kami memperingatinya. Tapi kali ini bukan itu yang ingin saya rekam.

Tapi tentang seorang siswa, sebut saja namanya Toni.

Penceramah yang diundang bertanya pada hadirin yang terdiri dari siswa dan guru, "Adakah di sini yang hapal silsilah Baginda Rasul sejak ayahnya sampai Nabi Ismail?"

Wah, jauh banget kan... Saya kebetulan bawa salah satu buku sirah, yang di belakangnya ada silsilah. Ternyata di buku itu hanya sampai Quraisy (Fihr).

Penceramahnya mengompori, "Saya kasih 50 ribu, deh!"


Lalu majulah Toni. Dengan lancar di luar kepala dia melafazkan puluhan nama dalam silsilah Rasulullah, dari garis AbduLlah hingga ke atas, dari garis Aminah hingga ke atas, lalu ke bawah hingga ketujuh putra putri beliau. Semua dilagukan dalam bahasa Sunda.

Saya ternganga.

Toni berwajah menarik dan berkelakuan baik. Biasanya guru akan berlaku lebih baik pada siswa seperti ini di awal-awal. Tapi lama kelamaan, akan terlihat juga bila ia lemah dalam bidang akademik. Paling tidak, pada pelajaran saya yang gampang itu, Toni jauh dari peringkat papan atas. Ehm, maksud saya, benar-benar jauh.

Tapi bagaimana dia bisa menghapal sepanjang itu? Saya lama mengira-ngira. Toni adalah pemain marawis ('band' perkusi khas Timur Tengah). Apakah karena menggunakan musik? Saya melihat Toni bisa menghapal ketukan dan nada tanpa salah.

Apakah karena seorang guru tertentu? Karena saya percaya bahwa tiap orang punya gurunya masing-masing. Guru yang menyentuh hatinya, mengubah hidupnya. Dan tentu guru itu bisa siapa saja, juga bisa muncul kapan saja dalam perjalanan kehidupan.

Atau ada faktor lain?

Itulah misteri yang selalu menggelitik saya. Lewat jalan manakah tiap siswa bisa secara efektif menyerap pengetahuan di sekelilingnya. Di manakah letak tombol itu, yang ketika berhasil ditemukan, lalu ditekan, maka 'klik', belajar jadi jauh lebih mudah.

Dan memang, harus diakui bahwa jarang sekali saya bisa menemukan tombol klik itu ^_^;

14 January 2013

"SAYA SUKA NYIRAM, BU!"

Mengabaikan segala hal yang memecah konsentrasi (yang saya tuliskan di sini), saya kembali ke fokus pembicaraan bersama setengah dari kelas yang memperhatikan. Kami membicarakan hal yang membuat mereka enjoy dan terasa easy melakukannya. Ini bisa jadi awal menemukan passion yang ingin dijalani setelah lulus.

Dan seorang siswa menyela, "Saya suka nyiram, Bu!"

Maksudnya adalah menyiram tanaman di sore hari. Selama saya berbicara, siswa memang bebas menyela dan menanggapi atau bertanya, tanpa harus mengangkat tangan dan dipersilakan. Langsung saja bicara, dan langsung juga saya tanggapi. Jadi ada rasa seperti ngobrol beneran.

Saya melihat spontanitas di wajah Rani, siswa yang bicara itu. Teman-temannya juga merasa begitu. Maka semua terdiam beberapa detik, lalu tawa pecah di kelas itu. Saya membiarkannya sejenak.

"Bagus banget, tuh!" komentar saya bersemangat setelah tawa reda. Hobi menyiram adalah sebuah penemuan berharga, itu bisa jadi awal menemukan passion, bukan? Rani bisa jadi tukang bunga, misalnya.

Siswa tertawa lagi, kali ini heran. "Masa' cita2 jadi tukang bunga, Bu?"

"Loh, tukang bunga, atau florist, adalah pekerjaan yang indah. Sehari-hari bergaul dengan bunga dan tanaman, merangkainya jadi indah, dan hasil karyanya digunakan pada acara-acara istimewa." Saya menyarankan Rani ikut kursus merangkai bunga atau budidaya tanaman. Jika ingin kuliah pun, sudah enak pilih jurusannya. Tidak bingung lagi.

Para siswa mengangguk-angguk mengerti, tak ada lagi yang mengejek hobi 'menyiram' Rani, sementara wajah Rani terlihat cerah, seperti ada lampu menyala di kepalanya.

Rani adalah siswi yang lemah di bidang akademik. Meski begitu, beberapa saat setelah saya bicara tentang hal yang membuat enjoy dan terasa easy, dia langsung paham dan mengaitkan dengan dirinya, lalu menemukan aktifitas itu. Sementara itu teman-temannya, bahkan yang dibilang pintar-pintar, masih mencari di kepala mereka.

Yah, hal itu juga membuat saya iri sebenarnya. Ketika saya seusia Rani, saya belum menemukan kegiatan yang bisa jadi calon passion saya kelak. Tembus UMPTN, tapi 'tersesat' begitu perkuliahan di mulai bukan hal yang membanggakan juga sebenarnya.

Sedang untuk siswa-siswa lain, saya melihat bahwa banyak hal perlu dibukakan pada anak-anak ini. Mereka tertawa dan mengejek, lebih banyak karena mereka belum tahu. Ketika wawasan mereka dibuka, mereka akan melihat bahwa dunia ini sungguh luas, dengan berbagai kemungkinan di dalamnya.

* * * * *

Saya merasa beruntung sekali minggu ini. Tiga tulisan dihasilkan dari satu materi yang sama di tiga kelas XII, membukatikan bahwa saya belajar banyak sekali. Saya membaca galau mereka yang sebentar lagi lulus, saya mengatasi rasa marah diri sendiri, saya melihat potensi anak-anak ini. Bagi saya, ini adalah tambahan berguna bagi cara pandang saya terhadap siswa. Mudah-mudahan obrolan ini bermanfaat bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga untuk siswa yang bersedia mengikuti.

11 January 2013

AHAYDE

Jadi memang itu yang tertulis: AHAYDE. Yang artinya kira-kira sejalan dengan 'asik, dah!'.


Setelah saya bicara berbusa-busa 40 menit tentang what-so-called kisah inspiratif, dengan suara serak akibat flu, saya mendapat 'ahayde' di kertas yang seharusnya berisi narasi/kontemplasi masing-masing siswa kelas X SMA. Kesal? Tentu saja. Guru juga manusia.

Di berbagai blog guru yang saya stalk diam-diam ^_^, biasanya yang tertulis adalah kisah keberhasilan, metode sukses, atau keisengan manis dari siswa-siswa di kelas. Meski saya tahu bahwa kisah pembelajaran tiap guru di kelas pastilah tak selalu mulus, tapi sepertinya menceritakan kegagalan perlu juga sesekali. Untuk evaluasi, paling tidak.

Jadi begitulah, saya mendapat 'ahayde'. Tapi bukan hanya itu, ada lagi yang lain:


Oh, my.... ^_^;

Itu di kelas X. Jam berikutnya di salah satu kelas XII. Saya bicara mungkin sekitar 80 menit, diselingi beberapa komentar dan pertanyaan singkat dari beberapa siswa, dan selama itu hanya setengah baris ke depan yang mendengarkan. Setengah bagian ke belakang ngobrol sendiri. Sakit hati? Ya, tentu saja saya merasa tidak dihormati.

Harusnya jangan kebanyakan ceramah? Mungkin saja. Tapi untuk hal yang saya sampaikan kemarin, memang tak banyak metode lain yang bisa dipilih. Kami bicara tentang passion, tentang rencana masa depan, dan tentang 4E. Belum ada ide menjadikannya metode yang lebih hands on.

Tapi saya malas sekali bila harus marah-marah di kelas. Bagi anak kelas XII SMA, marah-marah akan selalu jadi bumerang bagi guru. Semua guru yang mengajar tingkat SLTA pasti sepakat. Bukannya siswa akan mengekeret takut, tapi justru tambah nantangin. Alhasil, bukannya guru 'menang' dan kelas damai, tapi malah tambah kesel dan kelas makin tak kondusif.

Dalam kondisi seperti ini saya teringat sahabat saya sesama pendidik, Wiwiet Mardiati. Dialah yang menasihati saya agar "Don't take it personally." Kelas bukanlah ring tinju untuk membuktikan yang siapakah yang menang dan berkuasa, apakah guru atau murid. Jadi tiap 'kebandelan' yang dilakukan bukanlah karena siswa berniat mengalahkan gurunya, atau mau meruntuhkan otoritas sekolah, tapi karena mereka belum bisa mengalahkan diri sendiri. Guru jangan merasa offended, justru harus sympathize.

Sementara ini, saya belum menemukan cara lain untuk mengelola emosi di kelas (atau di rumah bersama anak) yang lebih baik dari caranya Wiwiet ini. Dengan cara ini, saya bisa mengembalikan lagi kewarasan yang sempat hilang karena emosi, dan membalik kemarahan jadi simpati.

Saya tidak lagi marah pada beberapa siswa kelas X dalam kisah 'ahayde' di atas. Mereka baru kelas X, baru 6 bulan pindah dari SMP ke SMA. Masih suka bercanda konyol, dan boleh jadi belum terbiasa menulis kontemplatif seperti kakak-kakak kelas mereka (seperti blog post saya yang ini).

Jadi, kasus 'ahayde' sepenuhnya bisa saya pahami. Berarti, sedikit demi sedikit, kesadaran akan sikap yang lebih dewasa, termasuk diantaranya keterampilan membangun visi dan berkontlempasi, harus mulai diterapkan bagi kelas X.

Seadang pada cerita kedua, saya masih menata hati soal ini. Kemarin saya biarkan saja yang menolak memperhatikan, dan fokus pada anak-anak yang dari sorot matanya saya tahu bahwa mereka tertarik. Karena tak adil jika saya membuang waktu untuk mengurusi orang yang menolak saya, dan mengabaikan orang yang bersedia mendengarkan.

Yang penting, saya sudah menyampaikan bahwa saya concern terhadap hidup mereka.

Tiap orang punya punya sosok 'guru' masing-masing di antara semua pengajar yang pernah dia temui sepanjang hidup. 'Guru' itu yang menyentuh hati dan mengubah hidupnya. Dan tentu saja, sosok guru itu belum tentu saya. Bagi yang menolak memperhatikan saya kemarin itu, mereka akan menemukan 'guru'nya sendiri nanti, insya Allah.

Tapi memang, begitu saya menggeser tempat menjadi seseorang yang bersimpati, saya merasa prihatin. Sebentar lagi lulus SLTA, tapi belum bisa mengendalikan diri sendiri dan memilih apa yang lebih penting? Ah, ini benar-benar jadi bahan evaluasi bagi saya. Di mana salahnya? Apakah sistemnya, atau ada hal lain yang belum saya mengerti di sini?

Jadi begitulah. Menggeser tempat dari guru yang marah menjadi guru yang bersimpati ternyata works on me. 

09 January 2013

SETUMPUK GALAU


Ini adalah setumpuk galau milik kelas XII BN, yang sebentar lagi akan melepas label anak sekolahan, untuk selamanya. Setelah itu dunia nyata menunggu mereka: kuliah, bekerja, menikah, atau nganggur?



"Di penghujung akhir semester genap ini (harusnya dia menulis: semester ganjil) perasaan dan pemikiran saya bingung untuk menentukan jalan mana yang akan dipilih, karena saya sebagai laki-laki khawatir atau takut (akan) jalan yang saya pilih, sementara itu bukan yang terbaik buat diri saya.

Pencarian jati diri pun terus saya lakukan. harus bagaimana, dengan cara apa, dan mau jadi apa saya nanti, itulah yang saya pikirkan saat ini."

Yang menulis seperti ini bukan cuma satu, tapi hampir semua anak. Saat sebentar lagi akan lulus seperti ini, mereka masih tidak mengerti harus ke mana, karena belum menemukan passion diri.

Pernah mengalaminya? Saya pernah, persis sama, ketika kelas 3 SMA dulu.

Salah seorang mentor saya mengatakan bahwa passion bisa kita kenali salah satunya dengan rumus 4E: ENJOY, EASY, EXCELLENT, EARN. Hal yang jadi passion kita haruslah sesuatu yang kita nikmati, terasa mudah melakukannya mesti butuh waktu dan usaha yang besar, dan karena 'betah' ngulikin hal itu maka akan mudah mencapai tingkat excellent, dan akhirnya, bisa mendatangkan uang, tak jarang dengan sendirinya.

Jadi Senin kemarin, demi menghangatkan kelas di hari pertama aktif belajar, saya dan siswa kelas XII BN ngobrol sambil menilai diri sendiri, hal apakah dari mereka yang memenuhi setidaknya 2 E pertama, yang mereka enjoy dan easy melakukannya.

Apakah menggambar, musik, twitteran, menulis, kerajinan tangan, pangkas rambut, memasak, fisika, fashion, drama korea, coklat? Semua bisa saja dijadikan awal dari passion yang bisa menghidupi diri dan keluarga. 

Dan mereka menuliskan setumpuk galau mereka di atas kertas. Mereka khawatir tentang ujian, tentang jalan yang dipilih setelah ujian, tentang keluarga yang mungkin tak setuju atas pilihan mereka, tentang keinginan untuk secepatnya mandiri, tentang orang tua yang tidak bisa membiayai kuliah, tentang sifat jelek yang sulit dihilangkan, tentang menjadi contoh yang baik untuk adik, banyak sekali.

Sungguh saya bersyukur mereka galau, karena kalau tidak justru akan mengkhawatirkan. Galau artinya mereka berpikir, dan tugas kita para guru untuk menunjukkan jalan.

Satu tulisan membuat saya tersenyum:


"Yang memang sangat saya sukai yaitu memelihara hewan/binatang peliharaan seperti kelinci, hamster, marmut dll kecuali yang najis. Kenapa? Karena saya pernah merasakan dan hampir punya peternakan. Emmmmh..... dulu saya pernah punya kelinci 23 ekor ketika umur 14 tahun dengan modal pembelian 7000 untuk 1 ekor kelinci betina. 

Tapi Allah berkehendak lain. Ketika kelinci saya sudah mulai banyak dan penjualan lancar, saya terkena musibah kecelakaan dan tak bisa berjalan hampir 6 bulan lamanya. Alhasil kelinci saya tak ada yang merawat dan satu persatu mati karena sakit dan sampai habislah semuanya itu. Dan saya sempat putus asa tentang itu selama beberapa tahun.

Akan tetapi dengan adanya 4E saya mendapat bimbingan dan wawasan baru. saya akan tetap menekuni apa yang memang saya sukai itu nanti."

Jika passion sudah ketemu seperti ini, semua akan jadi lebih jelas: kuliah sudah terbayang jurusan apa yang diminati, kerja pun bisa langsung ambil di bidang yang disukai. Tinggal kita yang tua-tua ini melakukan tugas, yaitu mendukung secara moril dan materil.

01 January 2013

KISAH KALA HUJAN


Sore ini hujan lebat, saya jadi teringat pada sebuah kisah manis.

Seorang sahabat saya menikah dengan pria Jepang dan tinggal di sana. Lewat laman Facebooknya dia bercerita bahwa sore itu juga hujan bertepatan dengan jam pulang sekolah. Karena deras, dia menjemput gadisnya dengan mobil. Seperti ibunya, gadis manis ini juga berjilbab, satu-satunya muslimah di sekolah itu, tentu saja.

Tapi mobil tak bisa masuk melewati lapangan, jadi sang ibunda melambai dari pagar luar sekolah. Si gadis bersama dua sahabat nihonjin-nya bergegas berlari menerobos hujan. Tapi tiba-tiba, mereka merasakan sesuatu di atas kepala mereka.

Payung. Ketika si gadis menoleh ke belakang, seorang pemuda tersenyum di sana, sambil menyediakan payungnya.

Aawww..... Seperti cerita dalam shoujo manga ^_^

Saya mengajar siswa-siswa SMA, seusia dengan gadis pada cerita di atas. Karena saya berteman pula dengan siswa-siswa saya di Facebook dan Twitter, maka saya membaca status dan tweet mereka berhubungan dengan cinta. Saya tersenyum melihat para remaja ini memaknai cinta dengan begitu hiruk pikuk, satu saat dengan berbunga-bunga, saat lain dengan galau dan keluhan, tak jarang air mata ikut serta.

Gadis yang saya ceritakan tadi seorang muslimah, dan sang pemuda bukan. Mereka juga baru SMA, dan tak harus merasakan kehidupan cinta yang pelik semacam menikah vs perbedaan keyakinan. Tapi rasa ketertarikan adalah fitrah manusia.

Cerita sahabat saya di atas adalah tentang cinta yang sederhana, tak ditingkahi macam-macam hal, bahkan tak juga menuntut balasan. Bening.

Saya percaya bahwa guru bukan hanya ditugasi mengajarkan mata pelajaran pada anak, membuat soal ujian, lalu mengolahnya jadi nilai rapor. Saya percaya tugas guru adalah membimbing jiwa-jhiwa muda ini untuk mengerti segala hal di dunia ini. Termasuk cinta.

Saya harap pada suatu saat siswa-siswa saya bisa merasakan cinta yang bening seperti itu.