Saya dan si Akang sama-sama sedang mengoreksi ujian pekan ini. Bedanya, si Akang ngajar mahasiswa, saya ngajar siswa ^^. Sambil mengoreksi, kami ngobrolin soal pembuatan soal ujian semester gasal.
Si Akang mengeluhkan soal yang dibuat bersama oleh tim. Apa sulit? Bukan sulit, tapi 'sulit'. Menurutnya, rumus-rumus yang digunakan mudah, tapi angka yang diberikan sangat berbelit-belit. Tidak mungkin mengerjakannya tanpa scientific calculator, padahal tidak ada pemberitahuan agar membawanya.
Pertanyaannya: kenapa banyak dosen suka memperumit soal dengan hal-hal yang tidak prinsip, sih?
Bukannya memastikan mahasiswa paham modelnya, malah membuat mereka ribet dengan angkanya. Bagaimana dengan ketelitian? "Mereka anak IE, bukan Akuntansi," kata si Akang. Penekanannya bukan pada ketelitiannya, walaupun tentu saja perlu, tapi pada pemahaman konsepnya.
Kebetulan, hal yang agak mirip terjadi juga di sekolah. Ketika rapat, beberapa guru mengeluhkan bahwa soal yang didistribusikan dari rayon menyimpang dari materi di buku.
Seorang guru bilang, setelah mencari-cari berbagai sumber, di buku keempat barulah dia temukan materi seperti di soal. Jadi soal yang diberikan adalah materi yang diambil hanya dari salah satu buku yang tidak ditemukan di buku lain (siapa sih nih yang bikin? nyusahin orang aje....).
Guru kedua bilang, soalnya mudah, tapi bahasanya dibuat tidak mudah. Kalau kasus si Akang di atas, angkanya yang dibuat ribet, kali ini soalnya yang dibuat panjang-panjang dengan bahasa yang terlalu ilmiah.
Mendengar beberapa kasus di atas, saya jadi teringat sebuah tulisan tentang rasa gagal dan hubungannya dengan keberhasilan belajar.
Sering kali, anak-anak ini sebenarnya mampu, tapi dalam evaluasi yang diberikan guru, mereka kalah sebelum berperang. Kalah oleh apa? Oleh hantu bernama 'rasa gagal'.
Dari mana rasa gagal itu didapatkan? Salah satunya adalah, menurut saya, dari soal yang dibuat ribet (bukan sulit).
Ketika anak putus asa mengerjakan soal, bukan akibat tidak belajar, tapi akibat soal yang ribet, mereka akan merasa: "Saya bodoh, ternyata. Udah belajar tetep ga bisa. Geografi pelajaran yang susah ternyata. Saya ga suka geografi."
Inginnya membuat anak teliti, hasilnya anak jadi frustasi.
Mungkin ada baiknya orang tua meluangkan sedikit waktu, untuk sesekali melihat soal yang diberikan sebelum memarahi anak ketika nilai mereka jelek. Mungkin saja yang 'bodoh' bukan anaknya, tapi soalnya ^^;.
Buat para guru, yuk kita kembali berbenah diri.
No comments:
Post a Comment