26 December 2012

NYAMPAH

Saya tahu, ini akan jadi blog post sampah, karena isinya menggerutu dan mengeluh, dengan bumbu menyalahkan orang lain. Bolehkah?

Ga boleh yah... =_=#

Begini saja. Saya bersyukur bertemu dengan Mba Lea. Saya kepingin nangis tiap baca posting terbaru di blognya. Kenapa? Karena Mba Lea mengajar di sekolah biasa, dengan siswa-siswa biasa, dengan fasilitas biasa, dan kurikulum nasional. Yang dihadapinya adalah kondisi sekolah pada umumnya di Indonesia.

Kelihatannya saya amat menyanjung Mba Lea, ya? Saya menaruh hormat, tapi lebih penting dari itu, saya merasa terhubung, connected, dengannya.

Karena Mba Lea bukan guru di sekolah terpadu, atau sekolah alam, atau sekolah internasional, atau IB school, atau sekolah nasional plus plus plus. Jadi bila Mba Lea melakukan sesuatu, maka artinya bisa dilakukan oleh kebanyakan guru di Indonesia, yang sekolahnya tidak punya tennis court dan kolam renang sendiri, yang paradigma rekan sejawat dan pimpinannya belum bergeser, yang siswanya tidak mampu membayar banyak untuk proyek macam-macam.

Jadi....

Ah, saya mengaku sajalah.

Kadang saya berpikir:

Kalau sekolah saya lebih kaya, mungkin saya bisa melakukan lebih banyak hal.
Kalau saya disediakan lebih banyak fasilitas, mungkin pembelajaran bisa lebih bervariasi dan menyenangkan.
Kalau saya bisa mendapat lebih banyak dukungan orang tua, mungkin masalah non akademik bisa lebih mudah terselesaikan.
Kalau saya bisa mendapat waktu yang lebih panjang.... 
Kalau kelas yang ada tak harus dipakai bersama sekolah lain....
Kalau....
Kalau....
Kalau....

Tentu saja saya menyiksa diri sendiri dengan sibuk mengutuk kegelapan, tapi menyalakan lilin ternyata bukan perkara gampang.

Dan sungguh berbeda antara membicarakan pendidikan di dalam seminar, paper atau media sosial, dengan menangani banyak siswa kelas X yang mengeja 'siapa' dengan s-i-y-a-p-a dan tak paham cara menambahkan pecahan, berhadapan dengan pihak yayasan yang tak mau mengerti, dibebani ujian nasional, serta kasus kehamilan dan aborsi anak usia 16 tahun.

21 December 2012

DEAR MY STUDENTS #2

Pagi yang cerah ^o^.... Apa kabar, semua?

Ada rencana apa aja nih, untuk liburan? Saya setuju banget sama RT salah satu siswa beberapa hari yang lalu. Kalian tuh kayaknya kebanyakan belajar deh. Hati-hati ah, bisa jadi pinter nanti.... Nah, sekarang waktunya melihat dunia. Coba nih, saya tanya:


Udah pernah lihat proses kupu-kupu keluar dari kepompong?  
Udah pernah nyebrang ke Kepulauan Seribu? 
Udah pernah lihat padang edelweiss langsung? 
Udah pernah lihat matahari terbit dari puncak gunung?  
Udah pernah bakar udang segede gaban di pinggir pantai?

Okelah, mungkin biayanya agak gede. Sekarang yang ini:

Pernah nyusurin jalur kereta commuter line dari ujung sampe ujung?  
Pernah nonton pagelaran di GKJ?
Pernah ke musium apa aja?
Pernah ke Kampung Betawi di Setu Babakan?
Pernah ke Pecinan-nya di sekitar Jakarta (banyak nih)? 
Pernah foto di jembatan Passer Baroe? 
Pernah nyari barang vintage di jalan Surabaya? 
Pernah muter-muterin kota tua?

Atau gimana kalo liburan ini:
Bikin web? 
Belajar nyetir? 
Belajar biola? 

Buat yang kelas XII, jangan gunakan liburan ini hanya untuk jalan-jalan doang. Sekarang waktunya untuk ancang-ancang masa depan. Gimana caranya? Salah atunya gini:

Punya kakak atau temen atau saudara yang kuliah? Minta ajak ke kampusnya, lihat langsung isi kampus, minta terangin sistem belajarnya, kelebihan kekurangannya. Ini manjur banget buat persiapan masuk dunia kampus, biar ga salah pilih. Beda banget loh, antara cuma lihat dari brosur dengan dateng langsung dan ngobrol sama 'pelaku'.

Yang ga kalah penting, bikin ancang-ancang tempat kerja. Ini untuk yang ga memilih kuliah atau mau kuliah sambil kerja. Ada beberapa tempat/kantor yang mengizinkan karyawannya menerima tamu. Kalau ada yang punya kakak atau teman atau saudara yang sudah bekerja, dan kalau diizinkan sama bosnya, datangi aja. Cari tau enak/ga enaknya kerja jadi SPG, jaga counter, gudang, kasir, administrasi, koki, frontdesk, dll. Lebih seru lagi kalo temen kamu punya usaha sendiri. Magang bisa jadi pengalaman berharga!

Para alumni yang baca note ini, adik-adiknya tolong dibantu yaaa.... prokprokprok!

Jadi, jangan sia-siakan masa liburan. Jangan sampe, eh udah 6 Januari, besok udah masuk lagi, kok belum ke mana-man.

Oke deh, selamat liburan, semoga tanggal 7 kita bisa kembali ke sekolah dengan fresh!


Salam,
Irma.

13 December 2012

KURIKULUM YANG BAIK

Apakah kurikulum tersebut jelas, konkret, punya tujuan menyeluruh yang konsisten dengan nilai-nilai sosial? 

Bisakah para siswa menjelaskan bagaimana setiap pelajaran terhubung ke tujuan di atas?
 
Apakah kurikulum tersebut bukan hanya menghormati, tetapi memanfaatkan perbedaan peserta didik?

  
Apakah kurikulum tersebut berjalan dengan mulus dengan tingkat kompleksitas "ide"yang semakin tinggi ?

Apakah diperlukan penggunaan rutin dari semua proses berpikir?

  
Adalah apa yang diajarkan bisa langsung berguna ketika berurusan dengan kehidupan di luar sekolah? 

Apakah anak-anak bisa bangkit dari kursi mereka dan melakukan sesuatu yang mereka anggap penting?
 

Apakah kurikulum tersebut mencerminkan peralihan dari sulitnya akses informasi, kepada kemudahan akses informasi, dan pada akhirnya kepada akses informasi tak terbatas?
 

Adalah apa yang materi dipelajari terlalu rumit untuk dievaluasi oleh mesin?


Jika semua jawabannya adalah YA, maka artinya kurikulum tersebut adalah kurikulum yang baik.



Sumber: http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2012/11/28/nine-questions-about-21st-century-curriculum/

11 December 2012

NASIHAT LAMA

Sebenarnya hari ini saya ngeblog dengan perasaan melow, karena satu kabar yang saya terima di sekolah. Tapi ini blog yang bisa dibaca oleh umum, jadi tentu tak bisa saya ceritakan dengan detil (tapi mesti bisa pada nebak, hehehehe).

Saya menikah usia 21. Melahirkan di usia 22. Sudah dewasakah perempuan usia 22 tahun? Tentu dewasa tak ditentukan oleh berapa usia, tapi dari sikap. Tapi setidaknya ketika itu, saya sudah merasa punya bekal.

Meski tak bisa dibilang aktifis, saya beberapa kali ikut organisasi, sejak tingkat dua sudah memiliki penghasilan sendiri, di waktu yang bersamaan saya kuliah di dua tempat berbeda, dan telah mengurus bayi merah sejak usia saya 19 tahun. Jadi saya pikir, di usia 22 tahun, saya telah memiliki sedikit bekal manajemen, kemandirian, terbiasa sibuk, dan biasa dengan urusan bayi.

Ketika punya anak, apa saya bisa menangani semuanya? Ternyata tidak. Saya mengalami baby blues, saya sering menangis sendiri karena rumah berantakan, belum mandi, dan anak rewel. Ternyata, mengurus rumah tangga bukan seperti menjalankan organisasi, dan jauh lebih sulit dari mengatur kelas. Yah, padahal anak baru satu, rumah cuma sepetak.

Menjadi menjadi ibu rumah tangga bukan perkara enteng. Beberapa teman saya yang menikah di usia yang lebih dewasa dan matang pun tetap merasa menjalani peran ibu tidaklah mudah.

Jadi hal itu menjelaskan mengapa saya khawatir pada para siswi saya. Pernikahan muda bukan masalah, saya pun menikahrelatif muda. Yang jadi masalah adalah pernikahan tanpa persiapan dan bekal. Apalagi pernikahan yang diawali dengan sebuah kekacauan.

Makanya saya rela dibilang sok tua dan nyinyir oleh siswa karena berulang-ulang bilang: "Ada memang cowok atau cewek yang asik diajak jalan dan senang-senang. Tapi yang harus kamu cari adalah seseorang yang kamu inginkan untuk jadi ayah atau ibu anak-anakmu di masa depan.

Kamu mau cowok yang masih nenggak pil jadi suami kamu? Kamu suka cowok yang ngoleksi bokep jadi ayah anak-anakmu? Kamu rela memperistri cewek yang pulang jam 2 pagi sambil teler? Kamu rela cewek yang gampang dipepet jadi ibu anak-anak kamu?"

03 December 2012

DANGKAL DAN MENTAH?

Karena berteman dan following akun siswa di jejaring sosial, saya jadi sedikit tau lebih tentang siswa-siswa saya. Tapi pengetahuan tidak selalu jadi hal yang menyenangkan. Banyak hal yang mungkin akan membuat kita lebih tenang bila kita tidak mengetahuinya, terutama hal-hal yang sulit kita pengaruhi.

Setelah berusaha sekemampuan, saya mengerenyitkan dahi membaca kicauan anak yang tidak puas dengan apa yang terjadi di sekolah, atau anak yang kepingin pindah sekolah karena satu hal remeh. Kalau di kelas saya melihat sosok beberapa siswa sebagai anak lugu, ternyata tak berarti sama ketika menulis status Facebook dan berkicau di Twitter.

Kenyataan ini sebelumnya membuat saya gelisah. Mungkin karena bingung atas penilaian diri sendiri pada orang lain, setengah lagi mungkin dipengaruhi oleh rasa putus asa kenapa pendidikan tak menjadikan mereka lebih matang berpikir.

Suami saya memberi saran: jika ingin tetap berada di socmed, jangan gampang sakit hati. Dan beberapa orang memang punya pikiran pendek.

Jadi saya menyadari, mereka baru 15-18 tahun. Dan saya salah jika mengukur pemikiran dan ucapan mereka dengan mengambil diri sendiri yang ubanan ini sebagi tolok ukur. Bagaimana bisa saya mengharap mereka punya keluasan pandangan, pertimbangan, tanggung jawab, dan kepekaan rasa seperti ibu-ibu beranak tiga?

Ketika saya SMA, begitulah saya juga bersikap. Persis seperti siswa-siswa saya sekarang. Kalau pemikiran anak muda tidak terasa dangkal dan mentah, kemudian apa guna pendidik?

Oh iya, lupa. Mengajarkan mereka cara cepat mengerjakan soal UN.

27 November 2012

KARENA SEBUAH KENANGAN

Tak disangka, mengenakan batik PGRI untuk yang pertama kalinya mendatangkan keharuan dalam dada. Apakah karena merasa bagian dari sebuah organisasi guru? Apakah karena romantisme perjuangan si pahlawan tanpa tanda jasa?

Hehehehe, bukan....

Tapi karena sebuah kenangan.


Ketika saya bercermin di pagi sebelum upacara, lembaran-lembaran kenangan tentang guru-guru saya dulu segera memenuhi kepala. Saya menggunakan pakaian yang sama persis dengan yang digunakan Bu Ida Idris, Pak Budi, Pak Bahroin, Pak Samsul. Seperti melihat kembali mereka berdiri di depan kelas, berjalan di koridor, dan menuruni tangga menuju kantor guru.

Maka saya bahagia, bukan karena seragam apa yang saya gunakan, tapi karena perasaan dekat dengan guru-guru saya tercinta.

Memang waktu sungguh bergerak. Saya yang dulunya siswa, sekarang menggunakan pakaian yang sama dengan guru-guru saya.

Di sisi lain, siswa-siswa saya, yang sungguh saya ajar di kelas ketika usia mereka 15 tahun, sekarang telah jadi rekan sejawat saya.


Ini adalah Wahyu, 7 tahun lalu dia adalah murid saya, sekarang telah jadi rekan sekerja. Jadi saya harus memanggilnya Pak Wahyu. Aneh sekali rasanya berfoto pagi kemarin itu, karena saya merasa sepertinya saya tak ke mana-mana, sementara kejadian-kejadian lain di dunia berdesingan melewati saya. Jarak antara guru dan siswa yang dulu terlihat jauh, ternyata hari ini sudah hilang sama sekali.

Meski merasa limbung dengan kenyataan betapa relatifnya waktu ketika berkelindan dengan kenyataan, saya nikmati perjalanan ini dengan penuh syukur.

SELAMAT HARI GURU!

23 November 2012

BALAS DENDAM

Pernahkah anda masuk ke kelas dan hanya melihat sepertiga saja dari jumlah keseluruhan siswa?

Yah, itu terjadi pada saya hari Senin lalu. Karena saya masuk setelah jam istirahat, saya bertanya apakah siswa lain masih ada di kantin. Ternyata tidak, duapertiga isi kelas memang tak hadir hari itu.


Bagaimanapun, guru piket pasti sudah mengambil langkah tentang masalah ini, jadi saya tak perlu ngomel lagi di kelas. Lagi pula, siapa yang harus diomeli, kan yang alpa tidak ada di sini. Masa' iya malah ngomelin siswa yang masuk?


Tapi kesal sih tetap ada, dan setiap menemukan kasus seperti ini, saya selalu gemas. Meski tanpa persiapan, saya segera putar otak merencanakan pembalasan bagi mereka yang tidak hadir.


Saya menyuruh siswa pindah ke perpustakaan, syukurlah ruang audiovisual sedang kosong. Sementara para siswa pindah gedung, saya berlari pulang, mencari beberapa buku, CD, dan mencetak bahan, syukurlah rumah saya dekat sekali dengan sekolah.



Apa yang kami pelajari hari itu? Manga.

Ya, komik. Kami membahas tentang shoujo manga dan shounen manga. Syukurlah kedua jenis manga itu tersedia di perpus. Kami juga membedakan manga yang masih raw dan manga yang sudah di-flip oleh penerbit Indonesia. Syukurlah kedua jenis itu juga tersedia di perpus.


Kemudian saya membahas sedikit yang saya tau tentang animasi dari Studio Ghibli, dan memutar sedikit cuplikan dari Tales from Earthsea. Terakhir, kami bernyanyi bersama: Teru no Uta *, salah satu suara terindah namun tersedih yang pernah saya dengar.


Saya tak tahu banyak soal manga dan anime, lagi pula itu semua tak ada dalam kurikulum. Tapi siswa yang tak lebih lima belasan orang itu sangat antusias, dan ketika kami bernyanyi bersama, saya segera bisa melihat bahwa mereka some how terhubung dengan (terjemahan) Teru no Uta.


Jadi, itulah balas dendam saya pada siswa yang berani-beraninya tidak masuk hari itu.


Melewatkan kelas saya? Mereka akan menyesal melakukannya!





* Barangkali ada yang mau dengar Teru no Uta (Therru'Song): http://www.youtube.com/watch?v=8M15yHEnEJ0. Teks yang saya punya ditulis ulang dan diterjemahkan oleh sahabat saya, Nesia Andriana.





--TERU NO UTA –

Penyanyi : Teshima Aoi
Penerjemah : Nesia A.

夕闇迫る雲の上
Yuuyami semaru kumo no ue
Samar menjauh di atas langit

いつも一羽で飛んでいる

Itsumo ichiwa de tonde iru
Selalu sendirian ia saja terbang

鷹はきっと 悲しかろ
Taka wa kitto kanashi karou
Elang itu sedih, tentu

音も途絶えた風の中
Oto mo todaeta kaze no naka
Suaranya hanyut bersama angin

空をつかんだその翼
Sora wo tsukanda sono tsubasa
Sayap yang mencengkeram langit

休めることは できなくて

Yasumeru koto wa deki nakute
Tidak bisa ia beristirahat

***

こころを何に たとえよう

Kokoro wo nani ni tatoeyou
Hati ini, tak seorangpun tahu

鷹のような このこころ

Taka no you na kono kokoro
Hati ini bagai elang itu

こころを何に たとえよう

Kokoro wo nani ni tatoeyou
Hati ini, tak seorangpun tahu

空を舞うような 悲しさを

Sora wo mau youna kanashi sa wo


Kesedihan yang menari di langit, sungguh
menyakitkan

***

雨のそぼ降る岩陰に

Ame no sobo furui wakage ni
Di bawah bayangan batu karang, saat hujan turun

いつも小さく咲いている
Itsumo chiisaku saite iru
Ia mekar kecil saja

花はきっと せつなかろ

Hana wa kitto setsuna karou
Bunga itu sedih, tentu

色もかすんだ雨の中

Iro mo kasunda ame no naka
Warnanya pun memudar di tengah hujan

薄桃色の花びらを

Usu momo-iro no hanabira wo
Kelopak merah muda sewarna  peach

愛でてくれる 手もなくて

Medete kureru te mo nakute
Tak ada tangan yang ingin menyayanginya

***

こころを何に たとえよう

Kokoro wo nani ni tatoe you
Hati ini, tak seorangpun tahu

花のような このこころ
Hana no you na kono kokoro
Hati ini, bagai bunga itu

こころを何に たとえよう

Kokoro wo nani ni tatoe you
Hati ini, tak seorangpun tahu

雨に打たれる せつなさを
Ame ni utareru setsuna sa wo
Kesedihan yang terbentur derai hujan

***

人影絶えた野の道を

Hitokage taetano no michi wo
Bayangan orang-orang sirna di jalan setapak

私 と共 に 歩んでる

Watashi to tomo ni ayunderu
Bersamaan ketika aku melangkah

あなた も きっと さみしかろ

Anata mo kitto samishi karou
Kamu juga kesepian, bukan?

虫 の 囁くくさはらを

Mushi no sasayaku kusahara wo
Serangga berdenging di semak-semak

共に道行く人だけど
Tomo ni michiyuku hito dakedo
Bersama-sama kita menapaki jalan itu

絶えて物言う こともなく

Taete mono iu koto mo naku
Tapi tak ada kata yang bisa diucapkan

***

こころを何に たとえよう
Kokoro wo nani ni tatoe you
Hati ini, tak seorangpun tahu

一人道行く このこころ
Hitori michiyuku kono kokoro
Hati ini sendirian menapaki jalan

こころを何に たとえよう
Kokoro wo nani ni tatoeyou
Hati ini, tak seorangpun tahu

ひとりぼっちの さみしさを
 Hitoribocchi no samishi sa wo
Kesendirian yang sepi ini sungguh
menyakitkan

***

"PINJAM RAUTAN YA, BU!"

Tadi, seorang siswa memanggil saya yang sedang berkeliling memeriksa tugas yang sedang dikerjakan siswa.

"Ibu punya rautan ga, Bu?"

Saya menyuruhnya mengambil di tempat pensil saya di atas meja guru, dan dia bangkit, berjalan ke depan kelas, lalu mengorek-ngorek tempat pensil saya.

Tiba-tiba saya jadi ingat dengan istilah 'akrab dominan' yang diperkenalkan oleh seorang tokoh pendidikan, kala bicara bagaimana model hubungan terbaik antara guru dan siswa. Guru harus akrab, namun tak boleh kehilangan wibawa.

Saya sendiri masih berusaha untuk memiliki hubungan 'akrab dominan' ini, sambil mereka-reka apa saya sudah menuju arah yang benar dalam membina hubungan dengan siswa.

Tak banyak (tak ada? hihihi...) anak yang curhat masalahnya pada saya, namun seperti cerita di atas, sepertinya saya tak terlalu berjarak dengan siswa. Mungkin belum bisa dibilang akrab sih, tapi lumayanlah.

Ada guru yang akrab dengan siswa tapi kebablasan. Siswa bicara sembarangan dan berbicara/bersikap seperti pada teman. Ini juga tak baik, karena berarti tak mengenal adab. Istilahnya, akrab tapi tak dominan.

Saya melihat ke sekeliling. Beberapa siswa berjalan-jalan, suara obrolan juga mengambang samar di udara. Memang bukan kelas yang tenang.

Tapi mereka bekerja. Yang berjalan biasanya sedang meminjam spidol warna yang memang dipakai bergantian. Yang mengobrol ternyata membincangkan tugas yang sedang dikerjakan, tidak berteriak-teriak, tapi dengan suara ringan saja. Satu dua siswa berjalan menghampiri saya, membawa tugas setengah jadi, untuk memastikan mereka ada di jalur yang benar.

Ini kelas yang santai, saya kira, namun tetap fokus. Jadi rasanya saya tetap tidak kehilangan dominasi saya di sini.

12 November 2012

KELAS PD BIKIN PD

Sedikit banyak saya merasa iri pada siswa-siswa saya sekarang. Utamanya karena di zaman saya sekolah dulu, belum ada yang disebut dengan pendidikan karakter yang terencana seperti sekarang.

Tapi kami guru-guru di sekolah ini hampir tak tau apa-apa tentang pendidikan karakter ini. Semua guru di sini belum pernah mendapatkan pelatihan resmi tentang pendidikan karakter. Yang kami punya hanya naluri sebagai guru, bahwa siswa tak bisa hanya dicekoki pelajaran saja. Tapi juga harus dibangun jiwanya, diperluas wawasannya.

Sebenarnya pencarian atas bentuk pendidikan karakter di sekolah kami sudah cukup lama juga. Begitu pendidikan karakter mulai digaungkan, dinas pendidikan kota sudah menyuplai buku pegangan untuk guru dan siswa. Penerbit juga menyebar sampel buku pendidikan karakter yang bisa dibeli. Sayang, cara materi itu disajikan sungguh kering dan tidak menginspirasi.

Ada juga materi yang bagus, malah telah di-franchise-kan secara internasional. Sebenarnya saya ngiler berat begitu lihat materi dan tampilan tools-nya. Tapi ya itu, mihil, bo... Akhirnya kami memutuskan, kita buat sendiri aja!

Meski pendidikan karakter seharusnya menyatu dalam pembelajaran, tapi dipandang perlu untuk tetap menjadwalkan satu jam pelajaran sebagai waktu khusus membimbing soft skills siswa. Setiap Rabu pagi, masing-masing guru dengan 20 siswa kelompoknya duduk melingkar. Semacam morning talk, begitu. Kami menyebutnya kelas PD, Pengembangan Diri.

Apa hebatnya program ini? Bukankah sekolah lain juga banyak yang memiliki program serupa? Malah bukan hanya seminggu sekali, tapi setiap hari.

Ya memang ini program biasa saja. Tapi untuk sekolah yang pada siang hari ruangannya digunakan untuk sekolah lain, bahkan 45 menit untuk jam 'ngobrol-ngobrol dengan siswa' ini sulit sekali dapat tempat di antara sesaknya kurikulum. Solusinya? Kami mengorbankan jam pelajaran. Dan hasilnya sama sekali tidak merugi.

Adalah Fahrudin, guru IPS, yang merangkum semua materi yang bisa kami dapat. Guru-guru PD yang lain mengumpulkan berbagai materi dari buku, internet, majalah, tabloid, dan sumber lain. Fahru kemudian menyortirnya, mana yang cocok untuk kelas X, kelas XI dan kelas XII. Lalu program semesternya dibuat. Semua proyek ini dilakukan tanpa bayaran.

Maka inilah yang kami jalani tiap hari Rabu pagi, Kelas PD namanya. Kami tak punya taman rindang apalagi saung, jadi kami menggunakan masjid,  perpus,  kelas, lapangan, mana saja yang memungkinkan untuk anak-anak duduk melingkar bersama mentor PD mereka.

Program kelas X difokuskan pada kecakapan pribadi. Materinya antara lain tentang perbedaan karakter, mendeteksi perubahan diri, pemahaman pada orang lain, kiat berteman, mengatur jadwal, sikap dan pikiran positif, keluarga dan teman, data sosiogram, pengendalian diri, tes gaya belajar, sikap belajar, dan menyontek.

Saya sendiri memegang salah satu kelompok kelas X.

Program kelas XI membahas kecakapan sosial. Materinya antara lain tentang laras bahasa, sikap asertif, respon pada pendapat orang, ekspresi positif, etika diskusi, hubungan remaja, kepedulian sosial, membaca boigrafi, dan terakhir, proyek tentang mimpi dan cita-cita.

Program kelas XII sebagai kelas tertinggi lebih ditujukan pada persiapan tentang kehidupan setelah lulus. Materinya antara lain tentang jenjang pendidikan tinggi, profesi dan karir, genogram, bakat dan minat, kewirausahaan, masalah pengangguran, masalah TKW/TKI, hingga persiapan pernikahan dan pernikahan dini

Di kelas XII, terlihat sekali siswa lebih banyak memegang peranan dibanding kelas-kelas sebelumnya. Keseruannya sudah mulai ketika siswa mengadakan talent show, di mana tiap orang mempertunjukan bakat dan minat yang mereka punyai.

Untuk materi kewirausahaan, siswa mencari profil pengusaha di lingkungan mereka, mewawancarai, dan mempresentasikannya. Setelah itu mereka membentuk kelompok usaha dan memulai proyek berjualan di sekolah. Tiap istirahat, kantor guru dipenuhi anak kelas XII yang berjualan, mulai coklat, kripik, sampai cupcake wortel dan bayam. Terakhir, mereka akan membuat laporan tertulis tentang proyek kewirausahaan ini.

Dengan keterbatasan pengetahuan kami tentang pendidikan karakter, soft skills, bimbingan konseling atau apapun namanya, inilah ikhtiar sederhana untuk para siswa. Harapannya, Kelas PD (Pengembangan Diri) bisa ikut mempersiapkan para siswa agar lebih PD (Percaya Diri) menghadapi dunia nyata

Dulu ketika sekolah, tak ada program seperti ini di sekolah saya. Jadi sekarang, bagaimana mungkin saya tak merasa iri ^_^?

30 October 2012

GURU KEPO

Saya memang kepo sama siswa, alias mau tauuuu aja! Dan baru saya sadari, keponya guru ternyata beragam caranya. Saya sendiri kurang nyaman kalau bicara secara pribadi semacam sesi konseling, dan lebih memilih melakukan bersama dengan banyak siswa di kelas.

Ternyata eh ternyata, salah satu sifat yang tidak disukai siswa dari guru adalah KEPO, hahahaha.... Ini saya ketahui ketika meminta anak mengumpulkan hal-hal yang yang mereka tidak sukai dari guru. Saat itu kami sedang berada di kelas PD, membahas tentang konflik yang terjadi antara remaja dengan teman, guru dan orang tua, serta bagaimana mengatasinya.

(Kelas PD, atau Pengembangan Diri, adalah kelas ngobrol-ngobrol. Semacam morning talk, di mana satu guru memandu <20 siswa, membahas pengembangan pribadi, sosial, dan karir)

Jadi, apa yang disebelin siswa dari kita para guru? Ini daftar panjangnya:

Bikin bete
Omongan ketinggian
Pelit (nilai, kayaknya)
Sok Jagoan
Ga mendengarkan
Galak
Sok galak
Kepo
Ngasih tugas kebanyakan
Kalo menerangkan ga jelas
Ga semangat pas ngajar
Sok pinter
Ngajarnya bikin ngantuk
Main HP di kelas
Jaim
Maunya menang sendiri
Sensitif banget
Pilih kasih sama anak pinter
Ngomong kecepetan
Membandingkan dengan kelas lain
Marah-marah ga jelas
Membosankan

Hahahaha.... Ternyata saya sudah lupa gimana rasanya jadi siswa. Membaca daftar ini, saya langsung berpikir, "Wih, dulu gue juga ngalamin!", persis seperti yang siswa-siswa saya rasakan. Aneh kan, ketika jadi guru, saya melakukan hal yang dulu saya benci. Jadi daftar ini membuat saya introspeksi diri kembali.

Sebagai guru, yang juga orang tua, saya juga tertarik ada daftar hal-hal yang disebelin anak dari ortunya. Ini daftarnya:

Ga ngertiin anak
Galak
Terlalu mengatur
Pilih kasih
Cepat tersinggung
Pelit
Kalo nyuruh kebanyakan
Khawatir berlebihan
Egois
Jarang ngajak jalan bareng
Ngga perhatian
Membandingkan dengan anak lain
Telalu menuntut
Terlalu sibuk
Curigaan
Berprasangka
Bertengkar di depan anak
Main tangan kalau marah

Tak cukup waktu. Kelas PD hanya 45 menit, jadi beberapa menit terakhir kami gunakan untuk berefleksi dan membangun empati. Siswa diminta membayangkan diri jadi orang tua, lalu mereka menjawab pertanyaan, "Anak kamu bilang, sebagai orang tua, kamu itu terlalu ngatur. Benarkah itu? Kenapa?"

Setelah itu, mereka diminta membayangkan diri jadi guru, lalu menjawab pertanyaan, "Siswa kamu bilang, sebagai guru, kamu itu sok jagoan. Benarkah itu? Kenapa?"

Terakhir, siswa mejawab pertanyaan berkaitan dengan teman, yaitu, "Teman kamu bilang, kamu itu egois. Benarkah itu? Kenapa?"

Menempatkan diri dalam posisi orang lain diharapkan bisa membuat siswa dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya dalam pertanyaan ketiga, beragam jawaban dilontarkan tentang kenapa mereka bisa egois. Misalnya:

"Karena saya harus membela diri. Semua orang juga begitu."
"Karena ada hal yang teman saya ga perlu tahu."
"Saya ga egois. Tiap orang kan beda2 pendapatnya."

Lalu kami berlari-lari kembali ke kelas, karena saya telah menggunakan beberapa menit dari jam pelajaran untuk membahas materi Kelas PD kali ini.

11 August 2012

DEAR MY STUDENTS 1

Dear my students,

Percaya atau tidak, saya juga pernah muda. Ya, seusia kalian. Sayangnya, manusia itu ternyata tak dapat mengingat semua. Saya bisa ingat beberapa hal yang terjadi saat seusia kalian, tapi sudah lupa bagaimana cara saya melihat masalah dan berpikir ketika itu.

Jadi sepertinya itulah masalah antara kita sekarang. Saya tidak mengerti bagaimana cara kalian berpikir, dan kamu juga tidak paham bagaimana cara saya berpikir.

Saya tidak paham kenapa kalian tidak khawatir pada masa depan. Saya tidak paham kenapa kalian menganggap tak perlu melatih diri agar lebih disiplin. Saya tidak paham kenapa 'tidak patuh' terasa begitu menyenangkan buat kalian.

Mungkin kalian juga tidak mengerti kenapa saya begitu ribut mengurusi masa depan, padahal bukan milik saya, dan tidak bisa dipastikan juga akan terjadi bencana. Mungkin kalian merasa ketidakpatuhan adalah cara mengekspresikan diri, dan berkata bahwa saya ada di dunia.

Jadi begitulah, tampaknya ada jembatan yang mesti kita bangun.

Jadi ketika kemarin saya tersinggung dengan ucapan lantang yang dilontarkan salah satu dari kalian, hampir saja saya berkata, "Mau jadi apa, kamu? Apa ga sadar punya otak udang, sekarang pun komitmen ga bisa pegang? Mau jadi apa, kamu?"

Tapi untungnya, saya segera sadar bahwa kata-kata itu salah, tepat ketika ia ada di ujung bibir, siap dilontarkan. Saya menarik nafas, dan duduk di sisi meja paling depan.

Kalian tahu, dulu saya menganggap bahwa siswa rajin dan pintar adalah segalanya. Kehidupan terancang mulai dari sekolah, dan akan berjalan linear hingga masa depan. Tapi ternyata saya salah.

Belakangan saya bertemu dengan teman-teman yang ketika sekolah dianggap nakal dan bodoh, tapi sekarang sukses dan bahagia. Mereka hidup berkecukupan, punya pekerjaan yang mereka cintai, berkeluarga dengan bahagia, dan berkontribusi pada sekelilingnya.

Mereka membuat saya percaya, bahwa kalian, sebandel apapun, tetap bisa berubah jadi baik nantinya. Karena kalian masih muda. Jika sekolah tak berhasil mendidik kalian, saya harap, kehidupan yang akan mendidik kalian.

Masalahnya, saya khawatir apakah kalian akan tahu jalan yang akan dituju atau tidak. Saya khawatir apakah kalian akan mampu berdiri melawan kesulitan atau tidak. Saya khawatir kalian akan bertemu dengan teman-teman yang bukannya mendorong untuk maju dan malah membenamkan kalian dalam lumpur.

Dan yang utama, saya khawatir jika pencarian kalian belum selesai tapi perjalanan harus berakhir. Keburu mati sebelum jadi baik.

Jadi bagaimana kita menyelesaikan semua ini?

21 July 2012

KAMIS TAARUF

Seperti biasa, hari Kamis pertama di awal tahun ajaran adalah hari taaruf (perkenalan) di sekolah kami. Senin-Rabu pertama adalah masa orientasi siswa baru, sedang Kamis adalah pertemuan pertama siswa baru dengan seluruh keluarga besar sekolah. Sekolah kami isinya tak lebih dari dua-ratus orang, termasuk guru dan pegawai, jadi tak sulit bertemu dengan semua orang dalam sekali waktu.

Siswa yang saya ceritakan di jurnal beberapa waktu yang lalu juga hadir. And it breaks my heart to see him there. Karena rapat dewan guru akhirnya memutuskan dia tidak naik kelas.

Keputusan yg kejam kelihatannya, tapi anda harus melihat apa yang terjadi di ruang rapat saat itu. Guru perempuan menangis, guru lelaki menghela nafas. Jumlah siswa kami yang sedikit membuat kami punya waktu untuk sedikit lebih mendalami masalah anak. Kami tahu, bahwa masalah yang dihadapi anak bisa begitu berat, hingga kesulitan yang terjadi tidak sepenuhnya salah siswa. Dan tidak menaikkan siswa dengan kondisi seperti itu adalah keputusan yang membuat hati jeri.

Jadi keputusannya tetap hadir di sekolah, mesti tak naik kelas, adalah sebuah keberanian yang harus diapresiasi.

Di sisi lain, siswa tak tahu guru-guru mereka menangis di ruang rapat, tapi Allah tentu melihat. Mereka bukan guru sempurna, kedisiplinan masih perlu di evaluasi, metode mengajar masih model lama, tak berapa melek teknologi juga, tapi mereka guru yang baik. Saya mendoakan keberkahan langkah dan kebahagiaan dunia akhirat bagi mereka.

Satu hal lagi yang  penting saat Kamis Taaruf adalah penghargaan bagi guru dan siswa. Siapa yang diberi penghargaan, siswa dengan rata2 rapor tertinggi? Bukan. Sekolah memberi penghargaan pada siswa yang memiliki NOL poin pelanggaran. Ada 13 anak dengan disiplin terbaik tahun ini.

Hati ini bergetar melihat Ani, maju ke depan sebagai salah satu siswa terdisiplin tahun ini. Artinya, dia tidak melakukan satu pun pelanggaran sepanjang tahun lalu.

Ani adalah siswa yang paling lemah di angkatannya, dalam bidang akademik. Beberapa kali saya memanggil dia ke meja guru, agar saya bisa menerangkan pelajaran khusus untuk dirinya, tapi tidak tiap pertemuan, karena tak ada cukup waktu (as always). Dia kemudian akan membeo semua perkataan saya tanpa paham maknanya. Dalam olahraga atau eskul pun tak menonjol. Karena kepercayaan diri yang kurang, dia biasa membuntuti beberapa siswa seperti anak kucing yang takut tersesat.

Pernahkah dia menerima penghargaan sebelum ini? Entah, tapi yang penting hari ini dia maju ke depan, menerima penghargaan sebagai siswa dengan disiplin terbaik, dan berfoto bersama wali kelas dan kepala sekolah. Ani bersinar hari ini.