25 February 2012

MENEMUKAN ZEIN

Saya tahu, saya harus percaya kalau semua anak itu terlahir cerdas. Saya seorang guru, dan kepercayaan akan hal itu adalah modal awal bagi setiap guru yang akan mengajar. Tapi kadang, sulit sekali untuk merasa percaya, setelah berbagai cara telah dicoba di kelas. Pakai metode ini, pakai cara itu, tapi materinya tidak bisa terserap juga. Ya, mungkin saya tidak cukup sabar. Apa daya, kurikulum mengejar.

Pagi ini kami berkumpul untuk rapat evaluasi tengah semester. Seperti biasa, semua guru melaporkan perkembangan mata pelajaran yang diampunya. Maka muncullah nama-nama siswa yang 'sulit ditangani', baik secara kedisiplinan maupun secara akademik.

Dalam situasi ini, memang sulit untuk tidak berpendapat bahwa ada anak yang memang terlahir bodoh. Zein, misalnya. Nilainya di bidang eksakta hancur-hancuran, di bidang sosial jeblok, di bidang bahasa sama saja. Sulit sekali menghapal, tulisannya sangat jelek, dan tidak paham bila guru menerangkan. Jadi kalau bukan bodoh, anak ini disebut apa?

Tampaknya memang sulit menemukan gaya belajar anak bila masih mengikuti pakem pembelajaran yang konvensional. Saya bersyukur, sekolah kami punya tiga kelas yang 'mengkhianati' kurikulum, yaitu kelas seni, kelas pengembangan diri, dan kelas kerohanian. Ada 7 jam pelajaran normal yang dikorbankan untuk ketiga kelas ini. Nah, kalau 'pengkhianatan' ini ketahuan pengawas sekolah, bisa gaswat!

Kebetulan saya menjadi mentor Zein di kelas pengembangan diri. Di kelas 'ngobrol-ngobrol lesehan' ini baru saya tahu bahwa Zein hobi memodifikasi sepeda motor. Wah, bukankah ini memerlukan keterampilan teknis tertentu? Titik terang tentang gaya belajar Zein mulai bisa ditemukan, ketika kami mulai mengkhianati kurikulum.

Ketika rapat tadi, titik terang itu makin jelas. Pelatih kelas marawis (semua alatnya perkusi) menyerahkan nilai, dan tebak siapa yang tertinggi nilainya? Ya, Zein. Ah, saya jadi terharu. Ternyata dia punya kecenderungan pada kecerdasan kinestetik (badan) dan ritmik (musikal) yang tidak diketahui orang, bahkan juga tidak diketahui oleh dirinya sendiri.

Aneh juga. Zein sudah pernah mengikuti tes multiple intelligences sederhana sebelumnya, tapi hasilnya tidak terlalu jelas. Saya berpikir, dan menduga bahwa ia lemah dalam bidang verbal (bahasa). Hal itu membuatnya sulit mempelajari percakapan, menulis dengan baik, termasuk memahami instruksi dalam tes MI.

Coba tebak, apa yang saya pikirkan soal kondisi ini? Ya, ya ya. Saya tahu tak semua anak bisa jadi homeschooler karena berbagai sebab. Tidak bisa saya bilang, "Kita pulangkan saja Zein ke orang tuanya. Homeschooling!" Tidak semudah itu. Tetapi setiap bertemu dengan masalah seperti ini, kepercayaan saya pada sistem sekolah konvensional makin rendah saja.

Di sekolah konvensional, dengan kurikulum kemendiknas, Zein akan selalu jadi pecundang. Padahal kalau Zein boleh belajar dengan gayanya, dengan musik, dengan lagi, dengan bergerak, dengan peralatan, mungkin tak akan ada yang bilang dia bodoh. Tapi di sekolah biasa seperti tempat saya, hal itu cukup sulit dilakukan.


Memang, tak boleh hanya menyalahkan, menuduh, menggerutu, marah-marah, pada institusi bernama sekolah. Karena sekali lagi, tak semua anak punya kesempatan homeschooling. Yang harus dipikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan dalam kondisi ini untuk membuat kondisi anak-anak ini bisa lebih nyaman. Maksud saya, sedikit lebih nyaman. Sedikit saja, kecuali Paman Gober mewasiatkan hartanya pada saya untuk bisa membangun sekolah macam Summerhill.

No comments:

Post a Comment