11 November 2006

STANDAR! STANDAR?

“Kita semua harus memiliki standar moral yang ketat!”

Itu yang saya katakan dalam rapat staf. Saat itu sedang dibahas tentang penggunaan ruang serbaguna yang merangkap ruang OSIS dan siapa yang akan memegang kuncinya. Saya tidak ingin ruang itu menjadi salah satu celah masuknya hal-hal negatif di sekolah.

Standar, kata itu yang kemudian terngiang-ngiang malam tadi. Standar. Untuk menetapkan standar bagi pihak lain, jelas kita harus punya standar untuk diri sendiri. Apakah sesuatu sudah berlebihan ataukah masih kurang, atau manakah ukuran yang tepat, semuanya mengenai standar.

Standar di sebuah sekolah tampaknya banyak. Standar bagi moral dan perilaku, standar bagi kualitas pendidikan, standar kedisiplinan, standar nilai kekeluargaan. Standar ini berbeda ketika kita bicara tentang keluarga, atau tentang urusan santri. Standar apa yang saya punya untuk menyikapi semua masalah? Lalu, apakah saya sendiri mencapai standar yang seharusnya?

Menyelesaikan "Menemukan Sekolah yang Membebaskan"

Saya sudah menyelesaikan Menemukan Sekolah yang Membebaskan yang ditulis oleh Komunitas Sekolah Alam. Berkali-kali ketika membaca buku itu, mata saya jadi basah. Basah karena rindu. Ya, ada mimpi di hati ini untuk mewujudkan sekolah ‘yang membebaskan’ di tempat saya mengajar. Sekolah yang membuat anak selalu ingin datang. Sekolah yang tidak memebebani anak dengan bayaran yang mahal atau sumbangan ini itu. Sekolah yang menerima anak seutuhnya, menghargai keunikan mereka dan tidak menggolongkan anak kepada ‘anak pintar’ dan ‘anak bodoh,’ atau ‘anak populer’ dan ‘anak pinggiran.’ Sekolah yang mampu menyalurkan semua ekspresi anak didiknya ke arah yang positif. Sekolah yang membumi, bukan menara gading.

Tapi warna kelabunya bukan hanya karena rindu, tapi juga iri. Pendiri Sekolah Alam bukan cuma punya mimpi dan idealisme, tapi juga punya teman-teman yang sevisi. Orang-orang ini rela mandi keringat, mengorbankan waktu, dan digaji sekedarnya untuk mewujudkan sekolah impian mereka. Dan karena itu saya merasa sendiri. Adakah orang yang bisa saya bagi dengannya tentang mimpi ini di sekitar saya? Orang yang masih rapat terbungkus idealisme dan semangat? Saya belum melihat itu. Memiliki mimpi begini di tengah situasi ini, rasanya sepi.

Rabb, mimpi ini sungguh buncah. Keinginan di hati membanjir. Tapi kami hanyalah hambamu yang dhaif. Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Kau beri nikmat, bukan jalan orang dimurkai dan sesat.

06 November 2006

Panggilan Palsu

“Tuuuuut…..,” ponsel saya berbunyi. Dari siapa ya? Lagi sibuk gendong anak nih. Si kecil memang lagi rewel. Dengan malas saya meraihnya dengan sebelah tangan. Di layar tertulis: sekolah. Duh.

“Halo….”

“Bu, ini Ida,” suara salah seorang TU terdengar di seberang.

“Iya, ada apa, Da?”

“Ada tamu dari dinas.”

“Kan ada guru piket?”

“Lagi keluar.”

Haaaaah….. Keluar ke mana sih? Jadi saya deh yang harus menerima. Mentang-mentang paling dekat dari sekolah.

“Iya, sebentar lagi saya ke sana.”

Saya menoleh ke jam dinding. Sudah masuk waktu ashar. Dengan malas saya bersiap, memakai pakaian dan jilbab yang paling mudah dan cepat dikenakan, membawa apa yang diperlukan, serta menitipkan dua anak yang sedang flu ke orang rumah.

Sudah masuk waktu istirahat ketika saya sampai di gerbang. Lapangan ramai. Keran-keran air di depan masjid diantri oleh para siswa. Sudah sore, mau apa sih orang Dinas (Dinas Pendidikan Kota) datang? Mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya jadi malas kalau ditugasi menerima tamu dari sana. Banyak basa-basi, dan ujung-ujungnya…. Yah, biasalah. Mudah-mudahan kali ini tidak lama.

Begitu sampai di kantor SMA di lantai dua, saya langsung membuka pintu. Dan…. Jreeeeeng! Kantor yang kecil itu penuh! Ada guru-guru, petugas-petugas TU, penjaga perpus, sampai petugas kebersihan. Tak lama sebuah black forest datang. Lhoooo, jadi mana orang dinasnya niiiih? Ternyata panggilannya palsu!

Lalu doa dipanjatkan sama-sama, dipimpin oleh Pak Sukron, guru agama. “Haajaatunaa ilaika katsiir, rabbi yassir kulla ‘asiir…” Kalimat itu masuk sekali ke dalam hati saya. Sungguh memang banyak sekali yang masih saya cita-citakan, untuk diri, keluarga, juga pekerjaan saya. Belum terwujudnya keinginan itu, membuat sadar bahwa kita hanyalah hamba yang lemah. Hanya kepadaNya kita menyembah dan kepadaNya kita minta pertolongan.

“Ayo, Bu, tiup lilinnya!”

Lho, ada lilin segala?

“Saya lagi flu. Kalau pake lilin, nanti kumannya kena kue. Ketularan lho!”

Jadi kuenya saja segera dipotong. Maka dengan pisau dapur yang besarnya agak mengerikan (apa mungkin punya Mpok Mela, yang jualan es kelapa?), kuenya saya potong. Potongan pertama diberi ke Pak Hilal. Dia wakil kepala sekolah sekaligus adik ibu saya paling bontot. Memang agak nepotisme sedikit nih.

O ya, ayo foto-foto! Tapi tak ada yang bawa kamera. Yah, pakai ponsel saja. Satu mengambil gambar saya depan kue, belasan lainnya menjepret para staf yang kebanyakan masih muda. Lho?

Acaranya cuma berlangsung setengah jam. Tak lama, tapi kesannya amat membekas. Ini kali pertama ulang tahun saya dirayakan sejak umur saya enam atau tujuh tahun. Ini kali pertama juga saya mendapat kejutan seperti itu. Kejutannya bertambah waktu saya tahu kalau kuenya dibuat sendiri oleh TU. Sepanjang jalan kembali ke rumah, bibir saya terus melebar, tak mau dirapatkan.

“AlhamduliLlah, terima kasih ya Allah, atas keluarga lain yang kau berikan di sebuah tempat di mana kuletakkan sebagian mimpiku….”

05 November 2006

Nama Saya Irmayanti

Nama saya Irmayanti. Hanya Irmayanti, seperti yang tertulis di akte kelahiran. Tapi ayah saya suka ngambek kalau namanya tidak ikut tercantum. Jadilah nama saya Irmayanti Nugraha. Saya lahir di Jakarta dari ibu asli Betawi dan Ayah asli Sunda. Saya sendiri selalu mengaku orang Betawi, karena itulah budaya yang melingkupi saya sejak kecil. Pan malu kalo ngaku orang Sunda tapi kagak bisa ngomong Sunda. Orang-orang seringkali menyangka saya anak bontot, padahal saya sulung dari tiga orang adik yang kesemuanya laki-laki. Adik saya yang terakhir lahir ketika saya berusia 19 tahun. Kelahirannya memberi kesempatan training mengurus anak pada saya.

Pengumuman UMPTN yang memberi kabar bahwa saya di terima di Sastra Arab UI tidak saya terima terlalu antusias. Bukannya tidak bersyukur, tapi saya sudah belajar Bahasa Arab sejak kelas satu SD sampai kelas tiga Aliyah. Juga bukan sombong, hanya saja bosan. Dan seperti yang saya duga, mata kuliah Kemahiran Bahasa sebagian besar hanya mengulang apa yang saya telah pelajari. Berangkat dari kejenuhan, saya memutuskan untuk mengambil kuliah dobel di malam hari. Pilihan saya jatuh pada Prodip Akuntansi Syariah di Shariah Economics and Banking Institute (SEBI), Ciputat.

Ketika IP semester pertama di SEBI saya terima, saya cukup terkejut melihat nilai Ekonomi Mikro yang hanya mendapat B. Bagaimanapun, sedikit su'udzan pada dosen yang mengajar mata kuliah tersebut terlanjur muncul tanpa bisa dicegah. Hal ini saya ceritakan pada seorang teman, yang ternyata menyampaikannya pada dosen yang bersangkutan. Dosen tersebut, Ledi Trialdi, sekarang menjadi ayah dari Dhiya Fissilmie dan Dhiya Alannafs.

Dhiya Fissilmie lahir di Jakarta tahun 2003, tidak lama setelah saya diwisuda. Ayahnya, yang sejak dia berusia dua bulan dalam kandungan sudah berangkat mengambil S2 di Jepang, alhamduliLlah dapat hadir mengazankannya. Tiga bulan berselang, Dhifie, begitu ia dipanggil, bersama saya menempuh perjalanan udara 10 jam menyusul ayahnya, dan tinggal di Jepang hingga usianya setahun dua bulan. Dhiya Alannafs lahir tiga tahun setelahnya. Kami sudah pulang ke Indonesia dan tinggal di Ciledug, Tangerang. Saat ini saya menyambi pekerjaan rumah tangga dengan mengajar di sebuah SMA swasta dekat rumah.

Hidup memang penuh kejutan. Pada satu titik, saya menyadari bahwa semua yang terjadi adalah skenario Allah. Sekarang saya malah bersyukur diterima di Sastra Arab UI. Syukur yang akhirnya menghapus penyesalan-penyesalan lainnya di belakang. Kalaupun ada jalan lain yang bisa saya tempuh, saya tetap percaya bahwa jalan ini yang terbaik. Jalan di mana semua potensi yang ada termaksimalkan dalam membentuk sebuah harmoni bernama: hidup saya. Sekarang saya bahagia.