22 October 2008

Ingin Buru-buru Jadi Guru

Ceritanya, saya baru nonton Laskar Pelangi di bioskop. Rada telat nih, memang. Kesan-kesannya? Wah, kalau review Laskar Pelangi mah, udah di mana-mana, ya. Tapi, memang ada hal-hal dari sana yang terus saja teringat di kepala saya. Begitulah, kadang suatu kisah jadi berkesan, karena terkait dengan kehidupan kita. Karena ada yang mirip entah di bagian mananya. Karena rasanya tidak asing di hati ini.

Di salah satu adegan film itu, Pak Harfan bertanya pada keponakannya, Bu Muslimah, kenapa ia tidak menerima pinangan dari seorang pemuda kaya. Dengan begitu, dia kan bisa jadi istri saudagar nantinya. Bu Muslimah tersenyum dan menjawab, “Pak Cik, saya tidak bermimpi jadi istri saudagar. Saya ingin menjadi guru.”

Hm… Seperti ada yang mengetuk hati. Kata-kata Bu Mus itu terasa tidak asing bagi saya.

Kebetulan saya baru pindah tempat lagi, hehehe… Iyah, yang ketiga kalinya di tahun ini. Tiap pindah rumah, pastilah kita membongkar barang-barang dan merapikan kembali. Nah, kali ini saya menemukan buku harian saat masih gadis. Tertulis bulan pembeliannya di sana, Agustus 2001.

Lagi heboh-hebohnya saya, masih kuliah tingkat tiga. Berangkat jam setengah enam, sampe rumah jam sepuluh malam. Gelantungan di bis kota antara Kebayoran Lama – Depok – Ciputat. Sama sekali gak nyangka kalau dua bulan kemudian ternyata ada yang ngelamar, huihihihi….

Di lembar-lembar pertama diary bersampul hitam polos itu tak ada yang istimewa. Cuma catatan kejadian sehari-hari, beberapa kisah di tempat kerja sambilan, jadual harian, atau daftar belanja. Yah, umumlah.

Lalu saya tiba pada catatan tanggal 6 Juli 2002, yang sepertinya jadi tonggak sebuah mimpi. Walaupun samar, tapi rasanya itu memang sebuah mimpi. Membaca kembali catatan enam tahun yang lalu, kini saya tak dapat mengucapkan apa-apa lagi kecuali syukur. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam…

6 juli 2002

Kenapa kesadaran ini baru datang sekarang? Pertanyaan ini mengundang flashback. Apa gunanya menyesali masa lalu yang tidak kreatif dan berani. Lebih baik mensiasati masa depan, toh?

Jadi guru, ini sarananya. Dengan jadi guru. Please… Aku ingin jadi guru Bahasa Indonesia. Bukan cuma ngajar tentang ejaaan, tapi menulis dengan benar. Bukan ngasih tau macam2 majas, tapi gimana bikin dan makenya. Bukan cuma ngritik karya, tapi juga berkarya.

Mulai dengan laporan harian, lalu bikin sinopsis cerita di TV, lalu masuk ke cerpen, novel, roman. Lomba mengarang cerpen dan puisi, artikel, wawancara dan jurnalisme, pembukuan karya2 siswa dan mengirimkannya ke majalan2 remaja atau Horison. Juga mengaktifkan mading.

Ah, pengen buru-buru jadi guru...

20 October 2008

Kung Fu Panda Mengajari Saya (2)

Ayah dari Po si panda gendut adalah pembuat dan penjual bakmie terkenal. Pelanggan mensesaki warung mereka setiap hari. Meskipun demikian, sang ayah merasa belum saatnya Po mengetahui 'the secret recipe of my secret recipe' bakmie terkenal itu. Sampai suatu hari ketika mereka mengungsi, sang ayah merasa sudah waktunya membuka semuanya: resep rahasia bakmie buatannya.

Po bengong tak mengerti ketika akhirnya si ayah berkata, "No secret!" Ya, resep rahasia bakmie istimewa itu adalah tanpa rahasia. Kenapa begitu? "Because, to make something special, you just have to believe that it is special."

Maka Kungfu Panda kembali bicara pada saya. Saya, yang sebelumnya menganalisa keistimewaan anak dari nilai rapor dan ijasah, dan dari sekolah mana ia berasal; apakah negeri papan atas, negeri baris belakang, swasta kaya, atau swasta kecil miskin murah entah di mana. Kenapa saya, dan mungkin banyak guru lain, menimbang anak dengan cara demikian? Karena mengira bahwa ada special ingredient untuk menciptakan anak spesial: IQ superior, gizi baik, keluarga tanpa masalah, dan fasilitas sudah memadai.

Padahal sungguh Kungfu Panda benar, tak ada resep rahasia tertentu. Cukup anda percaya pada siswa. Itu yang akan membuat mereka jadi istimewa.

"Istimewa gimana? Memangnya percaya aja cukup?"

Bukankah agama pun dilandasi oleh iman, kepercayaan? Iman membuat seseorang bertransformasi: lebih percaya diri, lebih berani, lebih sabar, lebih ikhlas, lebih bahagia. Demikian juga kepercayaan seorang guru pada keistimewaan siswanya.

Bila kita berkesempatan hadir di sebuah acara istimewa, kita akan mempersiapkan diri sejak jauh hari. Memikirkan benar-benar penampilan dari ujung rambut hingga ujung kaki, mengatur ucapan terbaik apa yang bisa dilontarkan, dan menyiapkan bingkisan apa yang sekiranya baik dan terkesan.

Bayangkan energi yang tercipta ketika di pagi hari, sebelum berangkat kerja, seorang guru mengingat bahwa, "Wah, hari ini adalah satu hari istimewa lagi. Saya akan mendidik manusia, bukan sekedar menciptakan robot. Manusia yang oleh Allah dikaruniai kelebihan yang unik. Dan sayalah salah satu orang yang diberi kehormatan untuk menggali potensi mereka yang amat beragam itu. Sebagai bagian dari amal jariyah, sebagai usaha menjadi orang bermanfaat, sebagai cara berbuat ihsan."

Pikiran positif itu akan menyebar, seperti juga pikiran negatif bisa menular.

Karena itu, mari kita awali setiap hari dengan rasa percaya, pada kualitas anak-anak yang kita didik, pada kualitas kegiatan belajar mengajar tahun ini. Dengan demikian, guru bisa memberi anak lebih banyak dari hanya sekedar nilai: harga diri, semangat, rasa hormat, dan kecintaan pada ilmu.

09 October 2008

Tukang Omong

Dengan wajah tertunduk, saya mengakui bahwa saya punya banyak kesalahan dan sering menghadapi kegagalan selama berprofesi sebagai guru. Dan kalau guru salah, ada sekian ratus siswa yang mungkin merasakan akibatnya. Salah satu kesalahan terbanyak yang pernah saya lakukan adalah: kegagalan menahan diri dari menilai siswa lewat kesan pertama, memberi stereotip tertentu dengan melihat sesuatu yang hanya ada di permukaan. Keadaan itu diperparah dengan dua kondisi: sempitnya ilmu dan dangkalnya pemahaman.

Saya tak bisa ingat lagi semua siswa yang telah saya perlakukan tak adil seperti di atas, namun ada satu nama yang masih melekat: Arief Soebarna.

Di tempat saya mengajar, sekolah mengadakan evaluasi keseluruhan setiap tiga bulan, yang membahas semua komponen sekolah, termasuk kedisiplinan siswa. Tahun lalu, nama Arief Soebarna dari kelas sepuluh selalu masuk pembahasan. Hampir semua guru mengeluhkan kelakuannya yang membuat suasana belajar jadi tidak ‘kondusif’ (saya letakkan kondusif dalam petik karena maknanya berbeda bagi tiap orang).

Hobi Arief adalah nyeletuk di tengah-tengan pelajaran, saat guru menerangkan di dalam kelas. Kalau tidak berkomentar yang tidak perlu, ia akan menggunakan kata-kata guru untuk meledek salah satu teman. Yang lain riuh menanggapi, sehingga guru harus berusaha keras membuat anak kembali memperhatikan ucapannya.

Berbagai jurus dikeluarkan menghadapi Arief. Guru sains mempersilakan Arief mempertanggungjawabkan kata-katanya di depan kelas, sementara guru lain membawa air comberan dalam gelas plastik untuk mengancam Arief agar tak buka mulut. Begitulah, saya menerima Arief sebagai si tukang omong di kelas sepuluh sebagai sebuah kebenaran, tanpa mencari pembuktian.

Di tengah semester dua, berhari-hari saya tidak menemui Arief di kelas. Tak ada kabar, sampai wali kelas memberitakan bahwa Arief telah mengundurkan diri dari sekolah karena alasan biaya. Alasan ini lumrah di sekolah kecil seperti kami. "Kelas sepuluh lebih damai," demikian komentar banyak guru, seakan mensyukuri perginya Arief.

Lalu suatu hari, saya menemukan ruang guru yang kosong, menyisakan hanya 1 orang tenaga administrasi. Tak ada guru lain, bahkan guru piket pun tak ada. Takdir menentukan bahwa hari ini hampir semua orang izin bersamaan. Untungnya kelas XII sudah tidak aktif belajar setelah UN. Maka saya menangani sendiri dua kelas untuk belajar materi yang saya kuasai, tentu, Bahasa Indonesia. Yang terpikirkan saat itu adalah berbalas pantun.

Saya pernah mencoba metode berbalas pantun di kelas X sebelumya, saat kami tiba pada materi puisi lama. Hasilnya amat memuaskan. Semua excited, bahkan siswa yang termasuk pendiam pun berani berdiri dan melontarkan pantun untuk memuji diri sendiri atau membalas godaan orang lain. Kelas penuh tawa hingga dua jam pelajaran terasa berlalu sangat cepat. Tak ada tekanan teori, atau ceramah sampai lidah kering dan anak mengantuk.

Nah, saya ingin mencobanya sekarang. Berbalas pantun, siswa kelas X melawan siswa kelas XI, berharap keceriaan yang sama akan tercipta lagi. Tapi kelas X tampaknya merasa agak khawatir berhadapan dengan kakak kelasnya. “Arief udah gak ada sih, Bu.”

Dan mata saya terbuka. Ternyata suksesnya acara berbalas pantun tempo hari sebagian besar adalah campur tangan siswa tukang omong bernama Arief Soebarna. Dia yang menjawab sebagian besar pantun yang dilemparkan pada kelompoknya dengan cepat, tanpa konsep di atas kertas, dan isinya bikin kami sakit perut karena tertawa. Begitu kelompok lain merasa Arief terlalu sering membalas, dia memasok pantun pada teman-temannya, bukan lewat tulisan, tapi lewat bisikan.

“Dia cerdas!” putus saya dengan hati sedih. Sedih karena saya baru melihat bahwa Arief adalah anak dengan kemampuan verbal yang menonjol, justru setelah orangnya sudah tidak ada di sekolah. Tak heran dulu dia begitu banyak bicara, karena itulah yang jadi kelebihannya. Kelebihan yang dianggap sebagai kekurangan oleh kami, para guru, yang mengaku berpendidikan.

Ah, anak ini tentu mengalami banyak sekali tekanan sejak dulu. Tak banyak guru yang mau disela, dan banyak orang dewasa yang tak rela mendengar omongan anak-anak. Semua menyuruhnya, “Diam! Dengarkan! Catat!” Tak ada yang membiarkan dia bicara, bercerita, diskusi, bakan mungkin sekedar bertanya. Seperti kelinci yang dipaksa berenang, tak ada yang membiarkan Arief menjadi diri sendiri.

Saya tidak tahu di mana Arief sekarang. Biar pekan depan, saat sekolah masuk kembali, saya akan tanyakan pada mantan teman-teman sekelasnya. Saya merasa harus mencari Arief. Untuk minta maaf padanya. Untuk menunjukkan bahwa ia akan cocok jadi penyiar radio, tenaga pemasaran, public relation, pendongeng, juru kampanye, pelobi bisnis, atau orator. Untuk meyakinkan, bahwa sungguh, Arief Soebarna juga istimewa.