"walaupun anak sMa cm segitu.., kelakuannya sprt itu..., ibu tetep bangga??"
Begitu komentar salah seorang siswa saya untuk salah satu note saya di Facebook. Ada kesedihan yang terasa, juga rasa galau. Tapi bukankah rasa itu wajar untuk anak seusianya, yang beranjak dari usia remaja menuju masa awal dewasa?
Sebenarnya, saya jarang sekali bersentuhan langsung dengan anak-anak ini. Yang lebih banyak mengetahui masalah secara detil terutama adalah wali kelas. Wali kelas pun saya pikir tak bisa memantau kehidupan di luar sekolah. Jadi pada intinya, kami tak tahu banyak sebenarnya, apakah mereka seperti apa yang tampak, atau menyembunyikan perilaku yang negatif begitu keluar gerbang sekolah.
Lalu apa saya tetap bangga pada mereka?
Saya tentu saja pernah SMA. Dan tanpa bermaksud sombong, masa-masa SMA saya berjalan cukup mulus. Walaupun jalan kaki setiap hari, saya tidak sekali pun pernah terlambat bayaran. Saya berangkat dengan perut kenyang, dan ketika pulang, makanan hangat tersaji di meja makan.
Saya punya teman-teman yang baik, cukup dekat dengan guru, prestasi lumayan, dan suka ikut-ikutan kegiatan Osis. Keluarga saya cukup harmonis, dan pergaulan masih terjaga (biarpun udah coba2 pacaran, hahaha... culun banget deh!).
Semua lancar, sampai saya lulus tahun 1998.
Bagaimana dengan siswa-siswa saya sekarang?
Tunggakan SPP bertumpuk, bahkan ada yang belum terbayar sejak tahun lalu. Banyak yang putus asa, lalu berjatuhan mengundurkan diri karena masalah ekonomi. Prestasi akademik mereka sulit untuk dibilang cemerlang, kecuali beberapa orang saja. Kebanyakan hanya pasif di kelas maupun ekstra kurikuler. Masalah keluarga seperti broken home sudah terlalu banyak, ditambah pergaulan yang bebas.
Lebih enak mana, hidup saya atau hidup anak-anak didik saya?
Saya mensyukuri setiap langkah dalam hidup saya sebagai pengalaman yang tidak ingin saya tukar dengan milik siapapun, sebagaimana saya berpendapat bahwa pengalaman yang mereka jalani tak kalah berharga.
Sementara saya bisa lulus SMA dengan mudah, mereka terseok-seok diantara tunggakan SPP, setumpuk nilai yang mesti diremedial, surat peringatan dan penghitungan poin, pertengkaran orang tua, dan sebagainya.
Fachry bekerja di pabrik krupuk, Ega baru pulang jam 10 malam karena menjaga warnet, Nurman mengantar kue ke warung-warung setiap subuh, sedang Mutia jadi tukang ojek bagi anak SD. Banyak anak yang tak bisa hadir ke sekolah karena sama sekali tak ada uang untuk naik angkot hari itu.
Bagus adalah siswa dengan masalah emosi, dan Eko tinggal bersama sang nenek yang berjualan sayur di pasar, setelah orang tuanya bercerai dan keduanya menolak membiayai darah daging mereka itu.
Saya melihat sendiri mereka jatuh bangun, tapi mereka SAMPAI! Mereka berhasil sampai sini, di ujian nasional, di penghujung.
Bagaimana mungkin saya tidak bangga?
Saya lulus SMA, lalu lolos UMPTN. Menikmati belajar di kampus bergengsi, dengan berbagai dinamika mahasiswa jaket kuning yang menjadi angkatan pertama di era reformasi.
Anak-anak didik saya mungkin tak menikmati hal tersebut. Mereka akan segera jadi SPG, satpam, penjaga toko/warnet, atau cleaning service. Tapi saya kenal pada beberapa alumni yang masih menyisakan keinginan belajar di dada mereka, mengambil kuliah malam atau akhir pekan, atau setidaknya, mimpi itu tidak mati, walaupun akan panjang jalan untuk mewujudkannya.
Bagaimana mungkin saya tidak bangga?
Atas ketahanan mereka berhadapan dengan banyak masalah, atas keputusan mereka untuk tidak menyerah, atas usaha mereka hingga sampai di titik ini.
Maka, tentu saja. Tentu saja anak-anak SMA yang cuma segitu, yang kelakuannya seperti itu, adalah kebanggaan saya. Semuanya. Semuanya.
No comments:
Post a Comment