23 September 2008

Janji Untuk Bagus

“AAAAAAAAAA...!!!”

Terdengar suara ribut-ribut di luar. Bu Ida, guru piket hari Rabu, bergegas mencari sumber suara. Saya dan beberapa orang di kantor sekolah melongok ke luar. Tapi kami sudah tahu ada apa. Itu suara Bagus. Lagi-lagi Bagus.

Bu Ida adalah guru yang tegas, tapi Bagus bukan anak kecil lagi. Dia remaja SMA, laki-laki. Bu Ida tak lagi bisa menyentuhnya. Sayangnya, di hari Rabu tak banyak guru laki-laki hadir. Maka bantuan satpam akan diperlukan setiap kali Bagus mengamuk di hari Rabu.

Saya tak suka bila satpam ikut campur. Mereka cenderung kasar, menarik tangan Bagus dan menyeretnya ke kantor sambil mengancam. Duh, saya bisa hampir merasakan badan Bagus yang sakit saat menggelosor di tanah sementara tangannya ditarik paksa. Bagaimana pula dengan hatinya? Sementara bertarung dengan rasa frustasi, pada saat yang sama ia dipermalukan oleh tatapan anak-anak lain lewat jendela-jendela sepanjang koridor sekolah.

Ada apa dengan Bagus? Saya tidak tahu. Saya tak pernah belajar psikologi atau psikiatri. Sejauh pengamatan saya sebagai guru Bahasa Indonesia, ia cukup cakap berbahasa, karena berbahasa dianggap ukuran kecerdasan tingkat tinggi. Ia bisa menyusun kata dalam kalimat lengkap, baik verbal maupun dalam tulisan yang rapi kecil-kecil. Bagus menguasai tata bahasa yang bahkan lebih baik dari beberapa siswa lain yang ‘normal’. Hapalannya juga bagus. Hanya saja, setiap mengarang dalam tema apapun, hanya dua hal yang ditulisnya: sekolah Bahasa Inggris di Los Angeles dan kemudian bertemu gadis bernama Stephanie, atau perjalanannya sebagai pilot pesawat luar angkasa.

“AAAAAAA!!!... GUBRAKKK!!!”

Itu Bagus di hari Senin. Dia berteriak, tangannya menutup telinga, sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika Pak Muchlis menerangkan Geografi, lalu meninju meja dengan keras. Tiba-tiba saja, bahkan Pak Guru pun tak mengerti apa penyebabnya. Kelas berubah riuh, dan itu memperparah kondisi Bagus. Seperti yang sudah-sudah, ia kembali diseret ke luar kelas untuk menenangkan diri di kantor kalau ia mau, atau dibiarkan bicara sendiri dalam Bahasa Inggris di lapangan asal tak mengganggu kelas yang berlangsung.

Yang tadi itu sebenarnya masih lumayan, karena di saat lain, Bagus bisa merusak pintu kelas dan membuat tong sampah terjungkal semua. Lihat saja tangannya yang penuh goresan dan luka sundutan rokok. Semua dilakukannya pada diri sendiri di rumah, saat emosinya yang memang tidak stabil itu terguncang.

“Bagus harus dikeluarkan! Kita sudah cukup direpotkan oleh target kurikulum dan kebandelan anak-anak lain!” Seorang guru berpendapat keras dalam rapat.

“Tapi Bagus lebih baik dibanding siswa lain yang normal tapi malasnya minta ampun. Dia rajin dan bisa sangat perhatian pada pelajaran!” bela guru yang lain.

“Kenapa orang tuanya tidak mengkonsultasikan Bagus ke seorang profesional. Biar hasil observasinya bisa kita gunakan untuk mengatasinya di sekolah,” begitu tanya yang lain.

Lalu wali kelasnya menjawab, “Bahkan orang tuanya tidak mau menerima kalau anaknya butuh sekolah khusus. Mereka berani bayar berapa saja untuk sekolah di sini, sekolah umum.”

Saya selalu menarik nafas berat di saat seperti sekarang. Setiap kali rapat guru, nama Bagus selalu jadi perdebatan. Sebagian bilang, “Keluarkan!” Sebagian lain berpendapat, “Jangan!” Saya sendiri mendukung pendapat kedua. Semata-mata atas dasar kasihan. Bagus bukan penyandang cacat mental berat, dan karenanya ia akan mengerti bila dikeluarkan. Pasti hancur hatinya, akan runtuh dunianya. Entah apa yang akan dia lakukan menghadapi dunia yang menolak keberadaannya.

Maka biasanya rapat mengalami deadlock, hingga kami semua menyerah dan beralih ke masalah lain. Lagi-lagi masalah Bagus dibiarkan menggantung.

Lalu saya membaca The Phenomenon, sebuah buku tentang fenomena Laskar Pelangi. Sampai pada halaman 77 dan seterusnya, posisi duduk saya berubah dari bermalas-malasan menjadi tegak. Kenapa? Karena salah satu bab dalam buku itu seperti menjitak kepala saya dan berkata, “Ingat tokoh Harun dalam Laskar Pelangi?”

Ya, salah satu tokoh dalam Laskar Pelangi bernama Harun. Dia anak cacat mental, namun belajar bersama sembilan anak lain, beberapa di antaranya jenius, dalam kelas yang sama. Inilah kelas yang mempraktekkan apa yang disebut dengan PENDIDIKAN INKLUSIF. Anak-anak cacat seharusnya tidak dipisahkan dari anak normal. Bagi anak cacat, ini memberikan rasa hormat dan kebanggaan pada diri sendiri, dan bagi anak normal, pendidikan inklusif mengajarkan mereka bersyukur dan menerima perbedaan.

Semangat saya untuk Bagus terasa di-charge kembali setelah membaca. Pendidikan inklusif, itulah alasan kenapa Bagus akan tetap bersekolah di sekolah umum. Untuk kehormatan dirinya, untuk rasa kebanggaan sebagai manusia yang dilahirkan ke muka bumi. Tentu akan ada modifikasi dalam metode pembelajaran, tapi itu bukan masalah besar. Seperti ujaran Bu Muslimah, bahwa insya Allah mendidik anak istimewa akan memberi berkah pada gaji guru.

Bu Muslimah, guru Laskar Pelangi, tak pernah membeda-bedakan muridnya. Ia memberikan pertanyaan yang sama pada Harun, yang hampir selalu dijawab ngaco oleh muridnya itu, tapi dengan wajah antusias dan serius. Lalu sang guru akan sepenuh hati memberikan pujian pada Harun, untuk segala usahanya, untuk segala beban yang dia tanggung, untuk segala hikmah yang ia berikan ke sekitar. Hingga lulus, Harun tidak pernah bisa membaca, tapi yang dia butuhkan tampaknya bukan ijasah, tapi dukungan dan penghargaan.

Dan itulah, itulah, yang akan saya berikan untuk Bagus. Saya berjanji.

02 September 2008

Lentera Jiwa

Banyak orang yang bercita-cita jadi guru. Makanya, ada institusi khusus yang dibangun untuk orang-orang yang ingin menjadi guru. Saya mengagumi orang yang menggeluti ilmu kependidikan karena panggilan jiwa seperti itu.

Di sisi lain, banyak juga lulusan universitas non kependidikan yang ternyata memilih guru sebagai profesi (misalnya saya :D). Mereka-mereka ini sampai rela mengambil kuliah ilmu keguruan satu tahun lagi yang sering disebut akta IV (kalau yang ini saya belum ;p). Saya tentu saja menghormati pilihan mereka.


Selain dua jenis orang di atas, ada lagi yang lain, yaitu yang menjadi guru, karena tampaknya peluang pekerjaan di dunia profesional jauh untuk dicapai. Yah, sarjana hukum yang gak bisa jadi pengacara atau notaris, jadilah guru kewarganegaraan. Lumayan... Atau sarjana sastra Inggris yang gagal jadi intrepeter, bolehlah ngajar bahasa Inggris. Apa susahnya. Sekolah bejibun ini. Jadi guru kadang adalah cara gampang untuk menghindarkan diri dari nganggur.

Memang kenapa kalau begitu? Salah?

Hm... gimana ya? Kembali lagi ke masalah lentera jiwa. Saya kira kita bisa bedakan mana guru yang mengajar karena panggilan jiwa dan mana yang bukan. Maka bila anda berprofesi sebagai guru, yuk kita berusaha jujur, apakah mengajar adalah panggilan jiwa anda.

Kenapa? Karena kita, guru, bekerja untuk mendidik manusia, bukan membuat sepatu atau toples di pabrik. Bila mengajar adalah lentera jiwa, anda akan merasakan semangat, gairah, antusiasme. Metode baru, pendekatan berbeda, hubungan dengan siswa, inovasi, hingga akhirnya kepuasan, semua akan lahir dari guru yang cinta mengajar.

"Memang kenapa kalau profesi guru ini bukan panggilan hidup saya?"

Berbahaya! Benar, menurut saya itu membahayakan. Saya juga orang tua, dan saya tidak akan mau menyerahkan anak kepada guru yang tidak memiliki passion dalam mengajar, yang menganggap mengajar bukanlah panggilan jiwanya, tapi sekedar cara menghasilkan uang.

Saya tidak rela anak saya mati rasa pada ilmu dan benci sekolah, karena diajar seadanya olehguru pengecut yang tidak mengakui bahwa dia sebenarnya ingin memilih jalan lain, kalau bisa. Sungguh, anak menyerap lebih banyak dari yang kita duga.

Karena itu, bagi guru yang sekarang merasa 'lives someone's life', mungkin saatnya anda mencari kembali lentera jiwa anda yang mungkin semakin meredup dimakan waktu dan digerus rutinitas. Cari, temukan, raih, lalu berbahagialah...

"Oke, oke... Tapi kalo nggak ngajar, saya ngapain, dong?"

Idih, itu sih bukan urusan saya! (baca: temukan sendiri dong lentera jiwa anda.)