15 August 2007

Kepalaku Kosong!

Kepala ini kosong! Begitulah rasanya bila saya selesai menyiapkan presentasi, baik itu pelajaran di kelas, maupun yang sifatnya insidental semacam materi untuk masa bimbingan untuk anak baru atau latihan kepemimpinan OSIS. Misalnya, di semester gasal saya telah membawa anak-anak SMA ini menulis sambil berjemur di lapangan, menonton berita di tv, menggambar rumah impian, memajang puisi di mading, sampai bermain pasel. Nah, apa lagi yang saya harus lakukan pada semester berikutnya? Kepala saya terasa kosong! Tapi, akan membosankan sekali bila di semester depan tak ada lagi kejutan menyenangkan selama pembelajaran.

Contoh lain adalah ketika saya menyampaikan materi cara belajar efektif untuk siswa baru. Semua yang pernah saya baca, dan juga yang pernah saya rasakan sebagai pembelajar, saya tuangkan dalam slide. Eeee... ternyata hasilnya hanya beberapa slide. Tidak berimbang dengan waktu yang diberikan. Lha, itu pun sudah membuat otak saya kosong. Kalau ada yang bertanya, "Ada apa lagi tentang cara belajar?," saya akan mengangkat bahu berkata, "That's all I have."

Bandingkan dengan para tokoh di sepanjang sejarah yang menulis puluhan bahkan ratusan buku. Coba bayangkan, berapa banyak isi kepala mereka? Saya membayangkan semua ilmu itu berkecamuk di kepala mereka, saling berkelindan dan menemukan kaitan satu sama lain. Riuh! Tentu saja mereka harus menuliskan ilmu-ilmu itu agar kepala mereka bisa sedikit tenang, bukan?

Kembali pada kesulitan saya mengisi kembali kepala yang kosong ini. Tentu saja saya bisa ambil cara gampang. Ikuti saja terus apa yang ditulis dalam buku. Aman! Begitukah kelihatannya? Wah, resikonya justru lebih besar, berbahaya, dan laten. Saya akan menjadi sosok yang saya takuti: guru yang menyampaikan hal yang sama selama belasan tahun, tanpa revisi, tanpa inovasi. Dan di setiap tahun yang berlalu, antusiasme akan hilang pergi bersama waktu. Mengerikan!

Benar yang dikatakan orang. Mengajar akan memaksa kita belajar, karena ya tadi itu, mengajar akan membuat kepala kita kosong. Mungkin ilmu yang diajarkan sama, tapi metode dan cara penyampaian selalu bisa divariasikan. Tapi ini cuma kalau kita mau menjadi pengajar yang baik, ya. Sebaliknya, kalau mau mempelajari sesuatu dengan baik, ajarkanlah pada orang lain. Sesuatu yang rasanya kita sudah kuasai, akan terlihat rumpangnya jika kita mengajarkannya pada orang lain. Ini juga dengan syarat bahwa kita mengajarkannya dengan sepenuh hati.

In teaching we learn, in learning we teach.