26 February 2012

GURU HARUS LAPANG DADA

Saya sudah coba apa yang terpikirkan di benak. Segala yang memungkinkan untuk membuat pembelajaran berlangsung menyenangkan. Bahkan jikapun harus berkhianat pada kurikulum. Tapi memang, tak selalu berhasil.

Maka saya tulis di judul: guru harus lapang dada.

Sabtu kemarin kami mempelajari kosa kata lewat sebuah lagu. Sayangnya gedung sekolah sedang mati lampu, maka saya membawa anak-anak ke perpustakaan yang listriknya ternyata menyala.



Ketika semua sudah duduk (perpustakaan kami lesehan), saya teringat seorang rekan guru di Salatiga. Ia memberi kebebasan bagi yang sedang tidak ingin mengikuti pelajaran, asal mereka ada di dalam kelas. saya juga ingin mencoba.

Maka saya umumkan agar anak yang ingin belajar agar mendekat pada saya, dan anak yang tidak ingin agar mencari tempat di mana saja, asal tetap dalam ruangan.


"Nilai saya gak bakal turun kan, Bu?" beberapa anak mencoba memastikan. Saya tersenyum, tentu saja tidak.

Pelajaran berlangsung. Dalam kisah guru di Salatiga itu, anak-anak yang tidak mau belajar akhirnya nimbrung juga, tertarik juga. Sayangnya dalam cerita saya, hal itu tidak terjadi.

Mereka tetap di sana, tidur-tiduran, mendengar musik dari ponsel, membaca komik.

Oke, tentu saja saya tak boleh marah. Saya bahkan mencoba mengerti. Hari itu hari sabtu, dan anak-anak itu tentu sudah lelah belajar segalanya selama seminggu. Mungkin otak mereka hampir overload. Mungkin ini kesempatan untuk bersantai sejenak.

Kalau saya menyuruh mereka mengikuti pelajaran, saya tau mereka akan menurut. Selama ini, belum ada siswa yang menolak bila saya meminta mereka melakukan sesuatu. Tapi kali ini mereka diberi kebebasan, dan saya senang bereka tidak takut memilih di depan saya.

Hanya saja, yah, hanya saja, saya pikir pelajaran yang saya bawakan lumayan variatif, dan bisa menarik minat. Tapi memang pada akhirnya, walaupun telah berusaha, guru harus lapang dada.

Saya jadi teringat pertanyaan seorang rekan guru lain pada seorang siswa ketika keduanya online di facebook, "Kenapa tadi gak masuk?"

Coba apa jawaban si siswa? "Cucian numpuk, Bu. Bantuin Mami nyuci."

Bagi guru yang mendedikasikan hidupnya untuk mendidik anak-anak, boleh jadi jawaban ini bisa menyakitkan hati. Sudah menempuh satu setengah jam perjalanan, menyiapkan worksheet, berpikir bagaimana cara agar anak-anak belajar semudah mungkin, sambil memperhatikan dan mencoba menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka juga lewat konseling, dan semua itu dikalahkan oleh cucian.

Tapi lagi-lagi, guru harus lapang dada. Belajar di sekolah tidak selalu menjadi pusat kehidupan para siswa. Dan memang tidak harus begitu.

Karena itulah, mengajar seharusnya bukanlah untuk sencari senyum manusia. Degan demikian, tak ada yang sia-sia kan, rekan Guru?


Lalu setelah mengalami -dan menyadari- beberapa hal tadi, apa saya jadi kapok memberi pilihan pada siswa seperti yang saya lakukan di perpustakaan?

Hm, anehnya tidak. Saya akan lakukan lagi kapan-kapan.

No comments:

Post a Comment