20 December 2013

DRESS LIKE YOURSELF

Saya pernah menulis di sini tentang seragam, jadi post kali ini mungkin adalah perubahan pandangan saya mengenai penggunaan baju 'seragam' di sekolah.

pengen seragam model gini tapi susah juga, lol
Baru terpikir oleh saya belakanagan ini bahwa di banyak sekolah, baik siswa maupun guru, tidak bisa jadi diri sendiri. Sekolah saya yang satu adalah sekolah Islam, jadi semua siswa berpakaian sesuai kaidah Islam; siswa harus menggunakan celana panjang dan siswi menggunakan rok (tidak bercelana), baju panjang dan kerudung. Sekolah satu lagi adalah sekolah umum, tapi perbedaan pakaian siswa hanya di kewajiban kerudung saja, selebihnya sama.

Masalahnya adalah, di luar sekolah, banyak siswa yang berpenampilan berbeda, terutama siswa perempuan. Ah, ini meresahkan saya. Artinya, siswa tidak menjadi dirinya sendiri di sekolah. Mereka berpenampilan demikian karena dituntut sekolah, bukan karena keputusan pribadi.

Apakah hanya siswa yang tidak tampil sebagai diri sendiri? Tidak, karena guru juga demikian. Tidak sedikit guru yang penampilan di sekolah berbeda dengan di rumah. Mungkin dalam batasan tertentu, saya termasuk guru yang demikian.

Pernah saya sudah siap berangkat, lalu merasa ada yang aneh dan bercermin lagi. Sambil bergumam i'm so fake right now, saya mengubah cara berpakaian hari itu, karena terasa bahwa saya berpakaian untuk sekolah, sedang keseharian saya tidak demikian. Hal ini membuat saya tidak nyaman.

kerudung rempong + hak tinggi, lol
Untunglah saya hanya mengajar di sekolah swasta, yang mengizinkan saya menggunakan kerudung rempong (kata orang, kata saya sih biasa aja ^_~V), baju warna warni, dan hak tinggi. Kalau mengajar di sekolah negeri atau swasta yang lebih ketat, mungkin saya harus lebih sulit jadi diri sendiri.

Jadi bagaimana, apa kita biarkan saja siswa dan guru berpakaian semau mereka?

*krik.... krik....*

Baiklah, pertnyaan barusan terasa agak negatif, seperti jika kita membebaskan siswa, mereka serta merta akan datang dengan tattoo atau bikini. Bagaimana jika begini: Apakah seharusnya sekolah mengizinkan guru dan siswa berpakaian sesuai dengan preferensi pribadi?

Sebagai orang yang konservatif, saya pikir tak apa jika sekolah menerapkan semacam peraturan mengenai penampilan. Bagaimanapun, sekolah boleh saja memiliki visi dan nilai yang coba ditransfer pada anggota komunitasnya. Masalahnya, peraturan ini harusnya jadi akibat, bukan sebab. Bukan karena ada peraturan, maka guru dan siswa jadi terpahamkan, tapi karena telah mendapat pemahaman, maka mereka jadi taat peraturan.

Sebelum kita mewajibkan warga sekolah berpenampilan islami, misalnya, apakah kita telah memberikan pemahaman dan contoh yang cukup secara konsisten? Apakah siswa dan guru lelaki mengerti kenapa mereka dilarang memakai celana di atas lutut? Apakah siswa dan guru perempuan mengerti mengapa mereka harusnya menutup aurat dengan baik dan berdandan sederhana?

Dalam kasus saya, mungkin saja apa yang jadi pilihan saya dalam berpakaian bukanlah hal yang ideal menurut nilai yang dipegang oleh sekolah, tapi saya ingin jika saya mengubah penampilan, itu karena paham. Dengan demikian, tak peduli di dalam maupun luar sekolah, cara saya berpakaian akan sama.

Hal ini tidak hanya untuk berpakaian, tapi untuk semua hal yang ingin diterapkan sekolah.

Tentu saja, mendahulukan pendidikan membutuhkan waktu panjang, dan jangan heran bila penolakan tetap ada. Artinya, sudah diberi tahu, dicontohkan, tetep ga mempan. Namun mendahulukan peraturan justru akan membuat warga sekolah malah faking themselves di sekolah, yang malah bertentangan dengan idealisme pendidikan.


photos' credit to owner

14 December 2013

SCHOOL 2013

Saya baru saja menyelesaikan drama School 2013, direkomendasikan oleh Bu Guru Lea Kesuma. Saya memang menggemari drama bertema sekolah, karena bagaimanapun saya merasa terhubung dengan tema ini. Sekaligus juga untuk diingatkan kembali tentang bagaimana rasanya jadi muda (baca: siswa), sebuah hal yang ternyata tak mudah juga untuk dilakukan.

 full episode with english sub, please check http://dramacrazy.eu/korean-drama/School_2013

Untuk konflik dalam ceritanya sendiri, saya lebih suka Great Teacher Onizuka yang menurut saya lebih nyata memotret permasalahan di sekolah. Meski demikian, yang paling menarik perhatian saya dari School 2013 adalah tokoh Jung In Jae, wali kelas 2-2 yang terkenal 'paling-paling'.

 Teacher Jung In Jae

Berbeda dengan beberapa tokoh guru di drama yang pernah saya tonton, Jung In Jae adalah guru yang.... biasa. Dia tidak bodoh, tapi tidak juga terlalu cemerlang. Dia bukan mantan anggota geng motor (seperti drama yang satunya lagi), atau berasal dari keluarga yakuza (seperti drama yang satunya lagi). Dia juga tidak menggunakan metode mengajar 'gila' semacam menebar paku payung di lantai kelas (seperti drama yang satunya lagi). Kenyataannya, banyak siswa yang tertidur ketika ia mengajar, dan sering kali dia tidak bisa 'menundukkan' siswa bermasalah di kelas.

Dramabeans menggambarkan Guru Jung seperti berikut:
You really get the sense that she’s just trying to make it through the day, and that one crack in one kid’s armor is a victory for her. I love her warmth and her idealism, and the fact that she’s not some angel with all the right answers. She just seems like every young teacher out in the real world, asking herself all the right questions about what on earth her job really is.  

Bener, bener banget! Just trying to make it through the day - not some angel with all the right answers - asking herself all the right questions about what on earth her job really is. 

Bagaimana saya tidak merasa terhubung dengan Guru Jung ini. Untuk banyak sekali hal yang saya temui di dalam kelas, saya sungguh tidak tau cara yang benar untuk menghadapinya. Banyak hal yang saya pikir baik ternyata tidak membuahkan hasil, dan setelah sekian lama, saya akhirnya berdamai dengan segala harapan besar dan mulai mensyukuri sekecil apapun perubahan yang terjadi.

Di antara semua hal yang biasa dalam diri Guru Jung, saya kira yang luar biasa adalah ketahanannya untuk tidak patah hati menghadapi siswa. Ternyata, guru adalah salah satu profesi yang mengalami banyak cinta bertepuk sebelah tangan. Dibela di depan guru lain, tak lama kemudian berulah lagi. Dikonseling, tampaknya sudah mengerti dan saling sepakat, tapi beberapa hari kemudian kambuh lagi. Dijemput dari kantor polisi, dikira sudah tobat, ternyata mengulangi. Ketahanan untuk tidak cepat mutung ini mungkin bisa dimasukkan menjadi kompetensi dasar seorang guru.

Karena berteman dengan siswa di media sosial, saya sedikit banyak mengalami akibatnya: mengetahui lebih jauh tentang kehidupan pribadi mereka. Terus terang, saya melihat banyak hal yang tak menyenangkan. Salah seorang sahabat menyarankan agar tak membawa hubungan antara guru dan siswa ini terlalu jauh ke ranah pribadi, agar tak banyak merasa sakit hati. Tapi ternyata hal itu tak mudah juga dilakukan.

Setelah sepanjang tahun cuap-cuap, dengan segala program yang sudah susah payah diusahakan di antara keterbatasan dana, kok semua seakan tak ada bekasnya? Kenapa tidak ada yang berubah? Ketika membaca status/tweet dan melihat foto siswa yang tak sesuai harapan, saya memang sakit hati. Mungkin karena saya menaruh 'perasaan' dalam pekerjaan ini, apapun namanya. 'Hanya memberi tak harap kembali', a.k.a ikhlas, ternyata memang benar-benar tak mudah.

Dalam School 2013, Guru Jung mencoba selama setahun (tampaknya di Korea dan Jepang, wali kelaslah yang membuka dan menutup seluruh rangkaian pembelajaran tiap hari). Berhasil? Tak semua. Beberapa masalah dibiarkan memiliki akhir terbuka oleh drama ini. Tapi School 2013 adalah drama. Saya, guru di dunia nyata, sepertinya harus mencoba lebih lama lagi. Apakah akan berhasil? Mungkin saja sama, beberapa masalah akan tetap 'terbuka' endingnya.

class 2-2 member, with both of their homeroom teachers

Hal lain yang menarik mungkin adalah bagaimana para siswa dalam drama ini memandang sekolah. Misalnya Jung Woo, anak berkebutuhan khusus tingkat ringan yang memiliki masalah di semua mata pelajaran dan sering dibully. Kenapa dia tetap di sekolah, tak pernah telat dan tak pernah absen?

“I like my school uniform. When I put it on, I feel just like everyone else… normal.”

Dan ini yang ditulis tokoh utama drama ini, Go Nam-soon, ketika mengisi kuisioner dari wali kelas tentang apakah impian dirinya:

“I’m a bad student, I have no dreams, and I don’t like getting hit. But the strange thing is, when I wake up in the morning I automatically head for school. So if you ask why I go to school, I have one answer. Just because.”

Bagaimanapun, mungkin benar kalimat yang dinarasikan di awal drama ini:

 “Where children hide, and adults don’t know—this is school.”



lee jong suk? i know, but i just can't hold myself  XD #crazynoonasclub






26 November 2013

SOKOLA RIMBA




Tadi siang saya menonton Sokola Rimba dengan 3 krucils. Sambil mengurus makan siang dan mengendalikan si bungsu (3th) yang loncat2an di antara bangku, saya menangis hampir setengah film. Saya ingat murid2 saya di SC.

Mulainya adalah ketika Bungo menunjukkan surat perjanjian pada Butet, tentang izin penebangan pohon di daerah Orang Rimba, yang mereka setujui dengan imbalan beberapa kaleng biskuit, kopi, gula dan rokok, karena mereka tidak bisa membaca. Juga keluhan mereka yang tidak diperbolehkan berburu dan membuka ladang lebar2 di tanah mereka sendiri, karena bertentangan dengan peraturan Taman Nasional.

Yang kayak gitu rakyat indonesia banget ga sih?

Murid2 saya di Yapera, kebanyakan akan lulus dan jadi SPG. Beberapa akan kuliah di kampus kelas tiga dan mendapat pekerjaan semenjana. Tidak bermaksud membatasi diri, tapi fokus saya untuk mereka saat ini adalah bagaimana membuka wawasan pada dunia yang lebih luas dan pilihan yang lebih banyak. Tapi siswa saya di SC tidak demikian. Mereka punya cukup modal untuk mencapai lebih, dari segi finansial dan akses.

Saya mengajar sejarah di SC, dan kami melihat Indonesia, setelah dijajah begitu lama, setelah merdeka masih menjadi bulan2an pihak lain. Siswa melihat bahwa kita menerima perjanjian2 internasional yang jelas merugikan, dan kesal dengan campur tangan asing dalam kisruh politik yang ujung2nya bagi2 kekayaan alam indonesia.

Siswa2 SC akan kuliah di kampus top dalam dan luar negeri. Karena itu merekalah yang saya harap bisa menjadi penjaga paling depan negeri ini. Mereka harus cerdas, mereka harus punya dignity, mereka harus istiqomah. Harus. Agar jangan sampai kekayaan kita dihabisi oleh pihak lain karena kita terlalu bodoh untuk memahami, dan gampang disogok dengan hal2 remeh. Agar jangan sampai kita harus izin ke pihak lain untuk nyari makan di tanah sendiri.

15 November 2013

TEORI BERKATA....

Seperti biasa, kemarin saya juga kebanyakan nganggur di kelas. Kelas XII sudah memegang worksheet dan sedang mengerjakan sambil membuka gadget masing-masing. Saya memberi waktu satu jam untuk menyelesaikan soal, sisanya akan kami gunakan diskusi. Saya tidak begitu peduli jika mereka mengobrol, menyetel musik, bercanda, asal selesai tepat waktu. Paling hanya memperingatkan jika ada yang kelewatan atau melanggar norma, sekaligus menjadi time keeper.

Sebenarnya saya senang anak-anak ini bisa bicara santai meski ada saya di sana. Tapi beberapa saat mengikuti perbincangan mereka, saya menyadari kenyataan, bahwa sesungguhnya saya hampir tidak kenal mereka.

Teori berkata, untuk bisa mengajar efektif, guru harus mengerti karakter dan kondisi anak. Apakah saya tau? Tidak, saya tidak tau. Saya baru sadar bahwa saya tidak pernah tau karakter dan kondisi siswa yang saya ajar. Dengan demikian, saya tak bisa dibilang bisa mengerti.

Ketika mereka bicara, saya memperhatikan cara mereka menanggapi masalah, saya menangkap informasi tentang lingkungan dan gaya hidup mereka, saat itu saya menyadari, mungkin selama ini saya sudah sok tau. Sebelum mengajar, kadang saya ngobrol dengan anak-anak ini, ingin memasukkan apa yang disebut pelajaran tentang kehidupan pada mereka, seperti mereka tidak tau apa-apa. So let stop pretend like i know their life.

Bukannya saya ingin berhenti. Sampai saat ini, saya belum menemukan cara lain untuk menyisipkan pendidikan karakter (yang merupakan kewajiban guru) selain ngobrol tentang hal-hal kecil yang saya temui dalam keseharian. Tapi kenyataan ini memberi tahu saya, bahwa anak-anak ini bukanlah gelas kososng, sementara saya tentu saja tidak selalu benar.


09 November 2013

ATMOSFIR

Tulisan ini adalah refleksi diri sebagai guru, bukan untuk menyalahkan pihak manapun. [Dan entah kenapa saya harus menjelaskan begini, mungkin akibat membaca artikel yang bilang kalau kadang what I said bisa bereda dengan what they hear ^_^;]

Suatu sore, saya duduk bersama para siswa dan guru di hall. Kami baru selesi shalat ashar dan tengah membaca zikir sore sebelum pulang. Saat itu saya teringat bahwa saya melakukan hal mirip tadi pagi pada pukul tujuh lewat, duduk di sini setelah shalat duha dan membaca zikir pagi. Lalu saya sadar, betapa panjangnya waktu yang dilalui anak-anak ini di sekolah.

Apalagi ketika saya turun untuk pulang, di lapangan anak-anak sudah berganti kostum eskul masing-masing. Saya bayangkan mereka pulang menjelang magrib, kelelahan -sama dengan orang tua mereka, lalu masing-masing masuk kamar untuk bangun besok pagi dan mengulang lagi rutintas biasa.

Hal ini membuat saya berpikir bahwa sekolah mesti sadar bahwa dengan mengambil sistem fullday, artinya ia mengambil resiko yang besar. Kalau sekolah biasa (yang pulang tengah hari) bisa berkilah bahwa orang tua yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kegagalan pendidikan karena porsi orang tua bersama anak terhitung lebih banyak., sekolah full day tidak bisa menggunakan alasan itu. Kenyataannya, anak memang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Mereka tumbuh besar di sekolah.

Sampai sekarang, saya masih percaya bahwa nilai-nilai diturunkan dan ditanamkan dengan cara hidup di dalamnya. Ini titik kritis di sekolah fullday. Apakah guru sudah menjalankan hidup bersama anak-anak didiknya, bukan hanya kegiatan formal belajar mengajar yang diatur oleh bel sekolah. Karena panjangnya jam sekolah, mau tak mau guru tidak hanya melakukan educating, tapi juga parenting.

Di pesantren yang masih mengikuti tradisi asli, anak-anak dititipkan pada kyai sebagai 'anak angkat'. Mereka menyerap kehidupan kyai dan nyainya, melihat cara hidup, karakter, kebiasaan, dan cara pandang kyai-nyai. Orang tua percaya atmosfir di sekitar kyai memiliki standar nilai yang lebih tinggi daripada di rumah sendiri.

Sekolah yang memiliki jam belajar yang panjang memiliki kesempatan yang hampir mendekati pesantren. Visi sekolah harus dibuat sebagai atmosfir yang melingkupi anak-anak, dengan guru-guru sebagai penjaganya. Kita tidak melihat atmosfir ini sebagai benda nyata (misalnya dalam bentuk tata tertib atau hukuman), tapi semua orang melakukannya karena memang terbiasa demikian. Semua guru melakukannya, semua kakak kelas melakukannya, maka anak-anak baru akan menyesuaikan diri secara alamiah dengan atmosfir yang ada.

Jika sekolah fullday gagal menciptakan atmosfir yang sesuai dengan visi di atas kertas, anak-anak ini akan dibesarkan oleh teman-teman mereka.
 

19 October 2013

LENTERA JIWA

Kamis kemarin, saya hanya mengajar 2 sesi (@40menit) saja di kelas XII Social. Mungkin karena hari pertama masuk setelah libur Idul Adha, anak-anak kelihatan masuk belum tune in ke pelajaran ^^;.

Saya bertanya, "Mau belajar apa ngobrol?"

Mereka (tentu saja) menjawab, "Ngobrol aja, Bu!" --> nah bagian ini nih yang mengkhawatirkan jadi penyebab keluar SP, hahaha...

Ya sudah, ngobrol aja. Kebetulan, pekan kemarin saya memang tidak bertemu anak kelas XII karena ada Camp, jadi kami ngobrol2 tentang rencana masa depan. Lalu saya putarkan video Lentera Jiwa dari Nugie: http://www.youtube.com/watch?v=pzOz40hwojw

Nah, saat itulah, anak-anak kelas XII Science satu-satu mulai masuk kelas saya, sekitar 4-5 orang. Loh, loh.... Emangnya boleh? Tapi ya sudahlah, saya biarkan saja dengan asumsi mereka juga belum bisa tune in ke pelajaran seperti anak2 di kelas saya. --> bagian ini juga mengkhawatirkan kalo dibaca kepsek, hahaha...

Saya bilang, "I love my job, I really do," tapi tidak semua orang seberuntung saya. Beberapa orang menghabiskan uang dan waktu mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai di jurusan yang kelihatan keren di universitas top. Setelah itu bekerja layaknya zombie, hanya menjalani rutinitas tanpa antusiasme. Saya berharap mereka tidak mengalaminya, karena saya tau sekali rasanya bekerja sesuai passion kita.

Saya menunjuk seseorang di video klip Nugie. Seorang pemuda bernama Eric, 18 tahun, fotografer. Dengan percaya diri menyatakan, "Udah tau sampe tua mau ngapain!" Wuah, keren abis, desyou?

Pertanyaan mulai muncul:
Gimana kalo pekerjaan yang kita suka itu duitnya sedikit?
Gimana bedakan hobi dengan keinginan?
Gimana yang kita suka justru yang nggak easy buat kita?
 Gimana kalo yang kita enjoy hanya tidur?
Gimana kalo yang kita enjoy hanya main game?
dan seterusnya.

Yang menarik, ada siswa yang berkata, "Saya suka banget modif motor, Bu. Kata Mama saya, dia mau bikinin bengkel kalo saya udah lulus SMA. Tapi saya ngga mau. Saya mau kuliah."

Nah, nah... Gimana ini? Saya harus benar2 memilih apa yang ingin disampaikan pada siswa2 saya, karena saya homeschooler mom yang pendapatnya bisa jadi kontroversial bila dikeluarkan di lembaga sekolah (--> kalimat ini juga mengkhawatirkan, hahaha).

 Jadi saya bertanya, "Kenapa kamu mau kuliah?"

 Tapi kemudian bel istirahat berbunyi. Mungkin obrolan kami disambung lain kali. —

MEREKAYASA ATMOSFIR

Tahun ini adalah tahun pertama saya mengajar di sekolah fullday. Sebelumnya saya selalu mengajar di sekolah biasa yang pulang hanya lewat sedikit dari waktu zuhur. Ini perubahan yang sangat saya syukuri, karena perbedaan ini membuat saya berpikir banyak hal, dan menulis lagi. Yah, paling ngga update status terkait KBM, hehehe... Tapi intinya, otak saya bekerja.

Sebelumnya di sekolah-sekolah biasa, saya merasa selalu kekurangan waktu. Waktu habis untuk sedikitnya 16 pelajaran, dan hanya tersisa sedikit untuk mengembangkan diri dan menanamkan karakter. Ataukah memang selalu demikian, bahwa waktu tidak akan pernah cukup?

Memang aneh jika pendidikan karakter diterjemahkan hanya sebagai buku pelajaran berjudul Pendidikan Karakter, dibahas di kelas, lalu dikerjakan soal-soalnya. Bookish abis ^_^, dan sepertinya tidak banyak berpengaruh ke siswa.

Pendidikan karakter harusnya diciptakan atmosfirnya, dipahamkan, dicontohkan, dilatihkan, disediakan fasilitas/wadah ekspresinya, diberi ruang untuk merasakan kenikmatannya, dsb. Anak kita, baik di sekolah maupun di rumah, harus diselimuti dengan atmosfir itu setiap hari sampai karakternya terbentuk.

Misalnya, karakter gotong royong. Jika ada acara, semuanya turun tangan, dari kepsek, guru, TU, hingga pesuruh. Jika ada rapat, sama-sama menyiapkan ruang rapat, selesainya sama-sama membantu buang sampah di satu tempat, bukan ditinggal berserakan di atas meja.

Frase yang harusnya paling sering terdengar adalah, "Apa yang bisa saya bantu?" Semua itu dilakukan tiap hari, di tiap sisi, oleh tiap orang, sampai siswa bisa melakukannya secara otomatis. Berapa lama? Mungkin tahunan. Bila karakter terbentuk, menjalankan disiplin jadi tidak harus dipaksa-paksa.

Nah, itu baru satu karakter. Pemerintah mintanya 18 loooooh.....*lap keringet*

Sekali lagi, atmosfernya yang harus direkayasa untuk mencapai tujuan. Siapa yang menciptakan dan menjaga atmosfir ini? Tentu saja seluruh manajeman dan dewan guru. Maka internalisasi nilai adalah WAJIB bagi pengelola sekolah, dengan segala cara yang memungkinkan. Kepala sekolah harus memastikan atmosfir ini terbentuk dan jadi mindset seluruh pengelola sekolah.

Selama ini di kebanyakan sekolah, pendidikan karakter masih dipelajari, lalu diperintahkan, kalau tidak dilaksanakan ya diomeli. Ini bukan penanaman karakter, tapi sekadar membuat peraturan. Kalaupun terselip dalam proses KBM, seringkali seperti perang gerilya. Sesekali jika ada kesempatan, dan tidak semua lini ikut bergerak. Kalau begini, bisakah sampai ke tujuan?

Ketika mulai mengajar di sekolah fullday, saya melihat kesempatan untuk menanamkan karakter. Bahkan, mungkin memang tak ada pilihan. Anak-anak ini di sekolah hampir sepanjang hari, lebih lama di banding di rumah. Mungkin tak ada pihak lain yang bisa menerapkan seefektif sekolah fullday.

Kalau atmosfir ini tidak terbentuk, atau terbentuk tapi tidak melingkupi dengan konsisten, ah sayang sekali. Anak-anak ini berkesempatan mendapatkan bukan hanya pendidikan, tapi juga pengasuhan (parenting) yang berkualitas, tapi malah lulus dengan 'pengasuhan' teman sebaya saja.

27 September 2013

SADAR KAMERA

Kemarin, kepala sekolah memasang video di kelas saya. Nah, itulah kenapa saya pakai baju hitam, supaya 'ilusi' langsingnya dapet ;D. Saya siapkan perangkat belajar benar-benar, juga menghafal kalimat-kalimat Bahasa Inggris agar tidak pletat-pletot seperti biasanya.

Minggu sebelumnya, saya menghadiri pelatihan Membaca Lantang di Credo. Kami menonton video guru mengajar siswa di kelas, kemudian membahasnya. Kesimpulannya adalah bahwa kelas yang berhasil ditunjukkan oleh anak-anak yang lebih tenang, fokus pada kegiatan pembelajaran, dan partisipatif.

Baiklah.... Berbekal banyak hal di kepala, saya mulai mengajar Sejarah di kelas XI Social.

Di awal-awal, KBM berjalan cukup lancar. Tapi makin lama..... Hadeeeeh.... *tutupmuka*

Siswa ABK kami mengutak-atik kamera, lapbook berjatuhan karena dinding kelas (kebetulan tidak permanen) bergoyang karena aktifitas kelas sebelah, siswa mengajak saya ngobrol OOT dan melebar ke gosip bakso tikus, dan banyak siswa lain mampir ke kelas dan ikut mejeng di depan kamera, dari kelas XI Science, XII Social, sampai Mr. Faruq (English supervisor kami) ikut mampir.

Sementara itu, Bahasa Inggris saya makin lama makin compang-camping, hahaha....


Apakah saya gagal?

Sebenarnya saya tidak merasa gagal. Memang beginilah suasana belajar di kelas saya; riuh, anak-anak jalan-jalan dan mengobrol, singkatnya: chaotic! Biasanya saya tidak terganggu, karena memang saya sendiri yang menginisiasi cara belajar seperti ini.

Biasanya di awal saya menjelaskan apa yang akan kami lakukan hari itu, memberi tugas, dan menerima konsultasi sambil mengingatkan berapa lama lagi waktu tersisa. Saya tidak begitu peduli bagaimana tugas itu dikerjakan asal selesai tepat waktu. Jadi siswa memang diizinkan berkeliling melihat pekerjaan teman untuk mendapat inspirasi (karena memang tidak bisa plagiat), boleh sambil ngobrol, sambil makan ringan, sambil dengar musik lewat speaker kelas. Tiap orang bisa menyelesaikan tugas sesuai gaya dan kecepatan masing-masing (lessonplan pengkapnya bisa lihat di sini).

Tapiiiiiii..... Kalau direkam kamera tuh gimanaaaaa gitu rasanya. Ada keinginan untuk jadi guru teladan, bwahahaha....

Karena sadar ada kamera, saya jadi merasa bisa melihat proses belajar kami dari kaca mata orang luar. Saya jadi bertanya-tanya, apakah kelas kami efektif? Yah, mungkin memang menyenangkan. Tapi apakah efektif? Apakah anak-anak ini aktif HOT-nya? Bagaimana dengan penanaman karakter, apakah terasakan dengan nyata di kelas? Apakah saya mengabaikan latihan konsentrasi? Apakah saya terlalu unschooling ;D?

Pertanyaan-pertanyaan di atas benar-benar membuat saya kembali mengevaluasi cara saya menemani mereka belajar.

Alhamdulillah, karena sadar kamera, jadi banyak hikmah yang bisa dipetik. Kadang, adanya 'mata' lain di kelas kita itu penting!

18 August 2013

GIMANA AJA BOLEH, ASAL....

Sebelumnya saya mengira bahwa jadi guru itu harus begini metodenya, harus begitu caranya, harus begono alatnya. Tapi sepertinya tidak demikian, deh. Rupanya selama ini saya terlalu fokus pada 'teaching', padahal harusnya pada 'learning'.

Pelatihan metode & teknik tertentu boleh saja, tapi kita tidak bisa memaksa seseorang melakukan sesuatu yang bukan dirinya. Yang harus disamakan adalah filosofi dan paradigma belajar (ini PR besar para principal ^^). Sedang pelatihan metode & teknik hanyalah inspirasi, tabungan ide di kepala guru-guru.

Silakanlah guru ngajar, gimana aja metodenya, pake apa aja alatnya, asal siswa mengalami proses belajar (dan tentu saja kita semua tau, ketika guru mengajar, tidak berarti siswa belajar).


Ini kotak peralatan perang saya di sekolah.

Saya bukan a good storyteller, gapteknya pol, dan lemah di bidang kinestetik. Hal2 tadi bukan kekuatan saya, jadi ketika mengajar, saya tidak banyak berceramah, tidak banyak menggunakan teknologi, dan hanya sedikit berlarian di lapangan.

Tapi saya suka craft, meski ga jago. Maka itulah yang banyak saya gunakan. Tentu saja tidak semua guru harus menggunakan cara seperti saya.

Apa saja yang cocok dengan guru & efektif bagi siswa, maka itulah metode yang keren.

07 August 2013

ME vs TIME


Eh jadi mikir, apa ga sebaiknya pendidikan menengah disatukan aja yah, artinya smp & sma/smk ada di satu sekolah. Soalnya kerasa bgt kl 3th terlalu pendek untuk membentuk kebiasaan. Belum keliatan hasilnya, eh anaknya keburu lulus.

Dari awal jadi guru, yg paling terasa nyebelin » selalu aja kurang waktu. Untuk materi pelajaran aja kurang, apalagi pengembangan diri siswa Kirain karena sekolah saya bukan fullday. Sekarang baru tau kl ternyata biar pulang sekolah jam 4 sore, tetep aja waktu terasa kurang.

Tau guru/sekolah yg 'menang' lawan kurikulum? Kenalin dong, saya pengen belajar caranya, serius! Sejak awal ngajar th 2000 sampe sekarang, saya belum pernah merasa menang deh lawan kurikulum. 'Menang' maksudnya waktunya cukup untuk bahas semua materi, anak2 paham semua, karakter & budaya terbangun, semua yg dituntut kurikulum lah. 

 Tp kurnas itu yg bikin pan para ahli, masa' iya mrk ga becus ngitung beban belajar vs waktu, yekaaan? Artinya saya kali yg blm jago ngajar.

MY TWEETS ON #SERAGAM (2)

  1. Eh jadi inget rapat program sekolah bbrp hari yl, bahas ttg standar penampilan siswa dan guru di sekolah
  2. Di SMA Yapera standar minimalnya berseragam, baju dimasukkan, atribut, celana panjang ut putra, lengan panjang & rok lipit lebar ut putri.
  3. Yg kemarin lama dibahas ttg rambut. Prinsip1: Model tdk boleh menyerupai lawan jenis. Prinsip2: Harus rapi. Nah ttg rapi ini gmn standarnya?
  4. Kenapa siswa & guru pria di Indonesia kebanyakan dilarang gondrong? Apa panjang rambut berpengaruh pada prestasi? Apa gondrong = berantakan?
  5. Tapi akhirnya diputuskan kl kita di SMA Yapera ga usah liat sekolah anu yg siswanya boleh gondrong, sekolah anu siswanya rambut 2 senti
  6. Tiap lingkungan punya standar sendiri sesuai nilai2 yg dipercaya, jadi kita kudu merumuskan sendiri, rapi menurut kita tuh gimana.
  7. Jadi siswa & guru pria kita boleh gondrong? Atau harus 2 senti? Ngga. Dua2nya ngga, karena bukan itu nilai yg kita pegang. Gitu, guys
  8. Guru2 tuh suka gerah liat cara siswa pake seragam, terutama yg cowo. Tiap orang punya selera masing2, tapi kan tetep kudu enak diliat dong. 
  9. Tapi kata saya sih, mereka lagi berproses, termasuk nyari gaya penampilan yg paling bisa menunjukkan 'who i am'.
  10. Sekarang biar aja dulu gaya rambut aneh, pake baju ga liat2 kondisi dulu dsb. Pas jadi alumni, bakal jauh membaik kok.
  11. Yg perlu anak2 tau tuh, mereka harus pilih gaya (pakaian, aksesori, cara mikir, cara gaul) sesuai prinsip. Bkn ikut2an trend atau lingkungan

MY TWEETS ON #SERAGAM (1)

  1. Pake itu asik ga? Saya sih ga gitu suka. Sekarang dikasih seragam upacara 1 stel, batik 1 stel, cukup.
  2. Kata Dr. Seuss, "Why fit in when you're born to stand out." Kalo pake , saya ga bisa stand out, alias 'ga keliatan'.get dah, jangan nambah!
  3. Tapi ada juga yang suka rela pake . Misalnya, janjian beli baju samaan bareng temen se-geng. Atau rame2 bikin jaket angkatan.
  4. Idealnya itu dipake bukan karena disuruh, tapi karena kepengen aja kompakan. Asalnya hati yang kompak, jadi pengen luarnya juga.
  5. jadi asik dipake kl kita bangga dg apa yg diwakili olehnya. Kalo ga bangga sama sekolahnya, mana bisa bangga pake seragamnya.
  6. Dan tentu saja, biar asik dipake, harus keren, ga pasaran, bisa customized dg ciri khas msg2 org >> Lah ini yg susah diwujudkan 
  7. Nah itu dia, yang namanya sebagai identitas kelompok, bukan sebagai 'penjajahan' ^_~v
  8. Guru2 piket sering ngejar anak2 yang ga pake atribut wajib. Kesian guru piketnya, kesian anaknya. Siapa yang salah? Ya sekolahnya ^_^;
  9. Kenapa sekolahnya yang 'salah'? Krn blm bisa bikin anak bangga pake atribut sekolah sendiri. Tapi emang atributnya jg kurang keren kali
  10. Terus ada yang bilang, nunggu kompak mah lama. Seragamin dulu, nanti kompaknya ikut muncul.
  11. Pake sama semua, jadi gada persaingan, ga ada pamer, ga ada gap2an antar kelas. Lebur jadi satu, merdeka! >> bener ga kira2?
  12. Ada siswa yg pernah nulis ttg di kelas saya. Menurutnya, biar diseragamin, kalo mo pamer kekayaan mah selalu ada jalannya.
  13. Biar udah diseragamin, ga berarti gap2an antar kelas jadi hilang. Karena masalahnya bukan soal atau ngga, tapi budaya sekolah.
  14. Gimana sekolah bikin sistem & program biar lingkungan jadi egaliter, kompak. Bukan cuma ngurusin yang luar2 kayak .
  15. Di sekolah kami, setiap pekan ada 5 jam pelajaran di mana semua anak dari kelas X, XI, XII digabung dalam kelompok2 kecil.
  16. Selain keg osis & eskul, ada acara2 tradisi yg menggabungkan seluruh siswa antar angkatan (teater kolosal, sma fair, mabit, fieldtrip)
  17. Di kelas PD (di sekolah lain disebut BP), kami ada materi khusus tentang hadist 'menghormati yang tua menyayangi yang muda'.
  18. Itu usaha membentuk budaya egaliter untuk menghilangkan gap2 yg ada. Mudah2an jadi penyeimbang peraturan yang masih kami pakai.

TETANG PELAJARAN AGAMA


Yang namanya ngaji atau belajar agama itu memang harus menyeluruh. Datang ke majelis zikir itu bagus sekali, tapi harus juga belajar aqidahnya, fiqhnya, akhlaknya, dst. Kenapa saya menulis begini? Karena saat tarawih, gemeeees lihat shaf shalat di bagian perempuan. Renggang, bolong-bolong, tidak lurus. Padahal dibanding kaum lelaki, kaum perempuan biasanya punya lebih banyak pengajian. Jadi harusnya lebih mengerti fiqih dasar seperti shalat.

Oh ya, saya pernah bertanya pada guru agama, kenapa banyak siswa SMA yang belum benar tata cara shalatnya. Padahal shalat itu ibadah utama, tiang agama. Apa tidak dibahas di kelas?

Guru agamanya bilang, "Tuntutan kurikulum, Bu. Materi shalat ada di SD. Untuk kurikulum SMA, pelajaran agama mempelajari waris, haji, dan demokrasi. Hampir tak ada waktu untuk memperbaiki shalat secara keseluruhan."

Eaaa.... shalat belum bener, kok sibuk ngitung faraidh.

Kalau pembelajaran kita menganut mastery learning, berarti materi harus dikuasai sebelum pindah materi lain. Kalau siswa SMA belum bisa shalat, apanya yang salah? Yah, nyengir aja dah.

Ya sudahlah, mom cleans the mess, as always. Kalau shalat tidak sempat meletakkan fondasi yang kokoh tentang shalat, kita saja orang tua yang melakukannya. Lagipula, itu memang kewajiban kita.

12 June 2013

BUKAN PAHLAWAN

Akhir tahun ajaran, masanya kelulusan siswa senior dan acara-acara perpisahan. Dan inilah masa ketika guru bertabur puja-puji sebagai pahlawan, pelita penerang dalam gulita, yang pengabdiannya adalah amal yang tak terputus pahalanya.

Tentu saja, gelar itu pantas untuk banyak sekali guru di Indonesia, yang bekerja dengan tuntutan segunung tapi gaji sekerikil, yang memutuskan untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebagai guru semata-mata karena tidak tega pada murid-murid mereka.

Tapi sepertinya, bukan untuk saya. Karena, hey... untuk melakukan hal-hal seperti menyampaikan materi, menyelesaikan administrasi, dan sebagainya itu, SAYA DIBAYAR. Saya tak melakukannya dengan gratis dan sukarela.

Sekolah tempat saya bekerja menghendaki tingkat kehadiran saya minimal sebanyak 92% per tahun dan proses KBM serta penilaian sesuai standar. Saya dibayar karena memenuhi kewajiban-kewajiban itu. Jadi kalau itu yang saya lakukan, tak perlu kegeeran merasa sebagai pengabdi, dan tak layak juga berbangga diri demi mendengar puisi dan lagu pujian dari siswa di acara-acara perpisahan.

Toh, meski kita berterima kasih pada tukang sayur atau asisten cuci-setrika setelah membayar barang/jasa mereka, kita tak menganggap mereka pelita penerang dalam gulita. Apa bedanya dengan guru? Kan sama-sama profesional, bekerja sesuai tuntutan profesi.

Pahlawan itu, IMHO, adalah orang yang bekerja lebih dari apa yang dituntut oleh pekerjaannya. Mengusahakan yag terbaik, membersihkan hati, berempati dan terlibat, itulah yag disebut 'pelita penerang dalam gulita'. Apapun profesinya.

Dan saya mengaku, saya memang belum sampai ke maqam tersebut.


29 May 2013

BERHENTI MENGELUH JIKA....

Kemarin ketika saya dan suami ngobrol ringan, dia bertanya, "Apakah dosen yang harus membuat materi jadi menarik bagi seluruh mahasiswa?"

Suami saya dosen di salah satu PTN, kebanyakan kelasnya adalah mata kuliah matematika.

Saya bilang, "Harusnya begitu. Pendidik harus menunjukan di mana menariknya suatu ilmu."

"But not in university," kata suami saya.

Menurutnya, siswa harus diinspirasi ketika di sekolah, bukan di universitas. Di sekolah ada berbagai macam pelajaran, dan saat itulah guru harus menunjukkan bagian-bagian terbaik dari mata pelajaran yang diampunya, ke mana mata pelajaran ini akan menuju nantinya, dan menjadikan mata pelajaran ini punya 'makna' untuk masing-masing siswa.

Siswa yang kemudian akan menentukan, "Saya memimpikan sesuatu di masa depan, dan mata pelajaran ini akan jadi bagiannya."

Jadi sekolah tidak mempelajari hal-hal terlalu dalam dan teknis, tapi merupakan ekspose dan pencarian minat/bakat. Di universitas, anak harusnya sudah memilih jurusan dengan alasan pribadi, bukan karena 'katanya....' atau 'kayaknya....' atau 'yah, habisnya....'. Dengan demikian, semua mata kuliah akan menarik dengan sendirinya. Atau kalau tidak, semua penting dan dilakukan dengan sukarela.

Begitukah? Harus nanya teman-teman dosen nih kayaknya.

Lalu saya membaca buku Sekolah Anak-anak Juara oleh Munif Chatib. Di sana dia mengutip tabel dari buku Thomas Amstrong berjudul The Best School. Tabel itu memaparkan suasana pendidikan terbaik dan fokus utama yang harusnya kita jadikan tujuan tiap jenjang, mulai dari TK hingga SMA, yang berbasis pada riset pengembangan manusia (bukan pengembangan industri ya, hehehe).

Saya baru sadar bahwa kapasitas otak saya tampaknya tidak mampu mencerna Sisdiknas kita, dan baru mengerti dari tabel sederhana ini, bahwa memang harus ada gambaran besar pendidikan seperti ini dalam membesarkan anak-anak kita, baik di sekolah maupun di rumah. Yang berkelanjutan, yang praktis (mudah dilaksanakan), yang sesuai dengan fitrah manusia, yang mengakomodasi kebutuhan kehidupan.

Anak akan menjelajah dan belajar bagaimana cara dunia ini bekerja ketika berada di pendidikan dasar, lalu mulai bersiap untuk masuk kehidupan profesional dan menemukan di bagiam mana dari dunia ini yang merupakan tempat mereka.

Jika itu terjadi, mungkin saya akan berhenti mengeluh bahwa anak-anak kehilangan minat belajar (terhadap hampir apapun) di usia yang baru 15 tahun, dan suami akan berhenti mengeluh bahwa mahasiswanya have no idea tentang kenapa mereka memilih jurusan dan apa yang mereka tuju sebenarnya dari pilihan tersebut.

25 May 2013

MENULIS PUISI

Membaca artikel di Guraru.org berikut, saya juga jadi kepingin ikut berbagi.

Saya biasanya mules-mules tiap masuk semester dua. Apa pasal? Karena harus mengajarkan menulis puisi*. Masalahnya, saya merasa tidak bisa menulis puisi, dan memang hampir tidak pernah. Jadi bagaimana saya mengajar puisi ke anak-anak?

Dan lagi, bisakah menulis puisi diajarkan? Entah dengan orang lain, tapi orang-orang yang saya kenal jago menulis puisi bisa membuatnya tanpa belajar teknik lebih dulu, seperti kata-kata langsung berhamburan saja dari kepalanya.

Baiklah, saya ada beberapa teknik, hasil nyontek dari berbagai buku dan sharing guru lain. Tapi penting untuk saya mengakui keterbatasan saya di depan siswa, dan mengajak untuk belajar bersama saja.

Materi Puisi mencakup puisi lama dan puisi modern. Di kelas kepenulisan, baik prosa maupun puisi, materi selalu dimulai dari yang paling nyata dan dekat dengan siswa. Maka materi puisi kami mulai dengan puisi modern.

Berikut adalah lesson plan yang saya gunakan (ket: > adalah latar belakang, >> adalah langkah-langkah, >>> adalah sumber belajar/keterangan).

Sesi #1: Pendahuluan
> Siswa perlu mendapatkan dasar tentang apa itu puisi sebelum membaca dan menulisnya sendiri.
>> Menggali pendapat siswa dan berdiskusi tentang apa itu puisi, sesering apa puisi terlibat dalam hidup mereka, dari mana puisi muncul, apa manfaat puisi, jenis puisi apa yang mereka baca, dan apakah pernah menulis puisi.

Sesi #2: Lirik Lagu Populer
> Lirik lagu adalah bentuk puisi yang paling dekat dengan siswa
>> Menganalisa lirik lagu favorit masing-masing siswa sebagai puisi, membandingkan keunikan ide dan gaya  kepenulisan, memperkenalkan beberapa lirik lagu yang lebih puitis.
>>> Lirik lagu yang direkomendasikan: ciptaan Taufiq Ismail pada lagu-lagu Chrisye dan Bimbo, Dewi Lestari, Katon Bagaskara untuk KLa Project, Ariel untuk Peterpan, Eross untuk So7, dan Noe untuk Letto.

Sesi #3: Penyair Besar Indonesia
> Siswa harus mengasah kepekaan pada puisi sebelum menulisnya sendiri, dengan cara membaca puisi-puisi terkenal
>> Membaca beberapa puisi dari masing-masing penyair: Chairil Anwar, WS Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bahri dan mengungkapkan pendapat tentang puisi favorit mereka dan kenapa, apa makna yang di tangkap, ungkapan apa yang paling mengena di hati, imaji apa yang tercipta di benak mereka
>>> Sesi ini membutuhkan lebih dari 6 jam pelajaran @ 45 menit

Sesi #4: Menulis Puisi dari Prosa
> Teknik ini dianggap paling mudah karena sudah ada 'bahan baku' sebelumnya.
>> Siswa menuliskan prosa puitis, lalu menjadikannya puisi dengan mengubah paragraf menjadi bait dan memeras kata-kata yang tidak perlu untuk mendapatkan inti
>>> Siswa perlu berlatih >2 kali untuk sesi 4-6

Sesi #5: Menggunakan Metafora dalam Puisi
>> Kelas bersama membaca salah satu puisi sebagai model, dan mendiskusikan metafora dan makna yang ada di dalamnya. Guru memberi satu tema untuk dibuat seperti model yang telah dibaca. Misalnya, guru mengeluarkan setangkai cabe kering dan menugaskan siswa, "Buatlah puisi patah hati dengan metafora dari 'cabe keriting'."
>>> Puisi yang dijadikan model: Dalam Doaku karya SDD.

Sesi #6: Permainan Diksi dalam Puisi
>> Kelas bersama membaca salah satu puisi sebagai model, dan mendiskusikan diksi dan makna yang ada di dalamnya. Siswa diminta mengumpulkan 100 kosa kata yang berawalan sama dengan huruf awal nama masing-masing. Setelah itu, siswa akan membuat puisi seperti model dengan bahan baku dari 100 kosa kata yang telah dikumpulkan.
>>> Membutuhkan KBBI dari perpustakaan. Puisi yang dijadikan model: Sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bachri

Baik, sampai di sini saja lesson plannya. Kalau dilihat di atas, wajar jika seluruh materi puisi (lama dan modern) tidak selesai dalam satu semester. Untuk puisi modern saja, perlu setidaknya 12 pertemuan (4 bulan).

Meski demikian, saya puas. Anak-anak terlihat bersemangat belajar puisi. Kadang ketika puisi dibacakan, anak-anak terlihat 'meleleh' mendengar kata-katanya dan imaji yang tercipta (para siswi tentu saja lebih ekspresif dalam hal ini). Ketika masuk ke sesi #4 dan seterusnya, antusiasme siswa bertambah, karena 2-3 puisi terbaik akan mejeng di majalah sekolah.
*******

*Saya guru Bahasa Jepang, tapi juga mengampu kelas Kepenulisan (2 jam pelajaran). Untuk semester pertama, materinya adalah prosa, sedang untuk semester berikutnya puisi. Itupun tidak selesai materinya karena ternyata melatih anak supaya terbiasa (belum sampai mahir) menulis itu perlu waktu panjang. Untunglah untuk hal-hal di luar prosa dan puisi (alias materi UN) sudah ditangani rekan saya Bu Erna.

CETAR MEMBAHANA

Setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami menyebarkan angket di kelas pengembangan diri. Siswa bebas memberi masukan tentang sekolah, yang baik maupun yang buruk. Minggu ini, angketnya bertema GURU. Untuk kelas XI dan XII, bentuknya masih pertanyaan atau kuesioner. Sebelah kanan untuk guru yang cara mengajarnya asik, cara memberi ujiannya asik, cara gaulnya asik, penanganan kelasnya asik, penguasaan materinya asik, sedang yang sebelah lagi yang kebalikannya. Paling akhir adalah kritik umum dan saran.


Untuk kelas XII, bentuknya sudah esei atau uraian yang tidak banyak panduan. Karena sudah cukup besar, tampaknya menulis panjang-panjang bukan masalah bagi mayoritas anak-anak kelas XII. Mereka bebas mengambil dari sisi mana saja untuk dituliskan.


Tak ada satupun yang bilang saya akrab dengan siswa. Entah apakah hal itu memang perlu diperbaiki, atau dibiarkan saja. Kan memang no body's perfect. Tapi lumayanlah, ada yang bilang, "Bu Irma dandanannya CETAR MEMBAHANA..."

Gyahahahahaaa.... ^_^;
 
Oh ya, lihat kotak merah dan hitam di gambar kedua? Itu yang namanya inkan, atau stempel nama pengganti tanda tangan. Kami membuatnya di kelas Bahasa Jepang, tapi anak-anak memakainya di mana-mana. Yang seperti ini yang bikin saya kegeeran *^_^*

BUKAN BARANG ASING


Ketika keluar dari ruangan pengumuman kelulusan, saya terkejut menemkan siswa-siswa kelas X dan XI tumpah ke koridor. Mereka berdiri di sisi, seperti menyambut kakak kelas mereka yang baru saja menerima amplop basil ujian.

Tidak tau siapa yang memulai, tapi ini spontanitas saja. Tak ada guru yang menyuruh atau mengatur mereka.

pada nungguin anak kelas xii lewat di ujung sana

Mungkin ini salah satu keuntungan sekolah yang isinya tak lebih dari 200 orang. Semua saling kenal dan sering berada dalam kegiatan yang sama. Kelas seni dan Rohis kami digabung, tidak pertingkat. Di OSIS juga demikian. Kami punya tradisi yang melibatkan seluruh siswa secara intens tanpa terkecuali (bukan hanya anak OSIS atau panitia), seperti pementasan teater kolosal, SMA Fair, dan  menginap di sekolah setiap malam Maulid dan makan dari nampan bersama-sama. Prinsip sesuai hadist bahwa 'yang lebih tua dihormati, yang lebih muda di sayang' juga masuk dalam materi kelas pengembangan diri.

wawan dan syarif waktu itu kelas xii, ariq kelas xi, yang lain ga keliatan mukanya jadi saya ga tau kelas berapa. mereka makan senampan berenam.

Masalah pasti ada saja, biasalah. Ada kelompok-kelompok di kelas, ada gesekan dengan kakak/adik kelas. Tapi kasus bullying memang hampir tidak ada. Jadi anak kelas X, XI dan XII duduk barang di kantin atau saling ledek dengan akrab di twitter kelihatannya bukan barang yang terlalu asing di sekolah kami.

 nita, imel dan madda waktu itu kelas xii, citra masih kelas xi (pake jaket osis), gita, fitri dan anoy masih anak baru. semua makan bareng semeja di kantin.

23 May 2013

BENER BANGET!



HAHAHAHA.....

Ini bener banget!

Teman-teman saya pikir saya guru entertainer, pendongeng, dengan gitar dan kostum, di kelas yang penuh suka cita dan keriaan.

Ibu saya pikir, saya guru sepintar Einstein.

Orang-orang pikir, jadi guru itu santhaaayyy.... Waktu lebih fleksibel, pekerjaan lebih ringan, tanpa target dedline dan project yang menguras energi.

Siswa saya pikir, saya adalah jelmaan Severus Snape of Slytherin.

Saya pikir, saya guru inspiratif, yang bertugas menemukan permata-permata berharga dan menginspirasi mereka menjadi orang-orang hebat.


Ternyata yang sebenarnya saya lakukan adalah.....

Menghadapi segala kegilaan ujian nasional, kurikulum setebal bantal yang tidak dipahami, bolak-balik mengurus pemberkasan sertifikasi yang uangnya tak kunjung cair dari bulan Januari, setumpuk catatan kasus siswa, kekurangan dana, disinisi salah satu rekan sejawat, dan diantara semua itu, some how harus mengajar dengan baik di kelas.

b^o^;d

09 April 2013

TENTANG JALAN-JALAN DAN NYONTEK DI KELAS


Kayaknya saya sadar dari dulu, tapi belum tau alasannya. Waktu kuliah, ada beberapa semester di mana saya kecentilan ikut-ikutan kegiatan ini itu. Akibatnya kecapean, boro-boro belajar dah. Semester berikutnya janji ga mau sibuk, pengen serius kuliah (cieee...). Pas liat IP di akhir semester, selalu lebih gede IP pas saya (sok) sibuk.

Sekarang juga gitu. Kalo lagi refot ngurus anak-anak, anter-anter mereka ke sana ke sini, banyak kerjaan di kantor, eh ide-ide malah muncul terutama untuk 3 hal yang paling saya nikmati: HS anak, ngeblog,dan ngajar di kelas.

Baru tau alasannya waktu ikut pelatihan Brain Gym sama mba Devi Riana Safitri. Selama ini kita menganggap kalo mikir (=otak bekerja) itu ya harus duduk diam, serius. Padahal bergerak juga butuh kerja otak. Jadi ketika kita bergerak, sel otak ya otomatis bekerja. Jadi 'sibuk' juga ternyata 'mencerdaskan'.

Apa itu berarti terus duduk manis tanpa bergerak ketika belajar itu tidak membuat anak-anak lebih baik mencerna informasi? Tentu ada bagian di mana mereka harus fokus memperhatikan instruksi, tapi tak mengizinkan anak bergerak dari awal sampai akhir sepertinya tidak bijak.

Di kelas, ketika mereka mengerjakan tugas, saya memperbolehkan siswa untuk lebih banyak bergerak. Berjalan meminjam penghapus, atau bertanya pada saya di depan, atau bekerja membelakangi papan tulis dan menghadap ke temannya. Kalau dilihat, sepertinya bukan kelas yang tertib, tapi menurut saya sih tidak kaku namun tetap terkendali.


Mungkin guru tidak mengizinkan anak-anak bergerak (ringan) di kelas ketika mengerjakan tugas/latihan salah satunya karena mereka jadi nyontek.

Karena saya ga sanggup mengawasi siswa agar ga nyontek saat latihan di kelas, jadi saya biarkan aja mereka 'nyontek'. Paling enak di kelas XII, karena mereka belajar pake portofolio. Saya kasih instruksi, terus mereka bebas mengerjakan dengan cara gimana aja, asal jangan ganggu teman. Proses nyontek di kelas XII biasanya adalah diskusi tentang instruksi yang saya beri. Tapi hasilnya pasti gada yang sama.

Instruksinya misalnya begini: ini adalah macam2 greetings, catat dalam bentuk comicstrip. Atau, buat ilustrasi untuk nama2 anggota tubuh, atau buat kartu nama versi raksasa (belajar name-occupation-address), atau buat family tree, dijamin gada yang nyontek. Karena yang diminta adalah karya, bukan mengerjakan soal.

Tapi sampe sekarang belum semua kelas pakai portofolio, jadi anak kelas X & XI masih latihan biasa di kelas (kenapa ya ^_~v). Jadi di kelas, mereka boleh 'nyontek' alias kerja sama. Itung2 peer teaching lah.

Tapi sebelumnya saya selalu bilang berulang2, bawa perasaan 'I CAN' itu nikmat banget loh rasanya. Dan ga bisa ngerasain kenikmatan itu kalo ga usaha terus maunya cuma nyontek. Jadi usaha dulu sampe mentok banget, baru tanya temen. Tanya temen itu juga tujuannya biar lain kali bisa dapet perasaan 'i can' yang lebih besar, biar lebih maknyusss....

Omongan saya itu kadang 'masuk' ke anak2, kadang juga nggak, ya namanya juga usaha ^o^

PENCITRAAN

Kalo menyimpulkan berdasarkan posting saya di FB, keliatannya saya selalu punya 'perfect session' ketika di kelas. Itu karena yang saya posting cuman yang asik-asik aja. Masa' nyebar-nyebar yang ga enak di wall, yekhaaan?

Gita pernah masuk kelas saya jadi observer *xixixi*, beberapa emak dari IIP Tangerang juga sudah mencicipi gaya mengajar saya di kelas. Karena mereka mau hadir, alias saya nyadar kalo mau ada tamu, jadi ya saya siapkan yang asik-asik dong.

Nah, kalo murid-murid bertemu saya setiap minggu selama tiga tahun. Mereka ga selalu merasakan yang asik-asik itu, loh. Karena saya bukan superman *atau superteacher, kali ya*, energi saya tidak cukup untuk mengusahakan pembelajaran yang selalu asik untuk 8 kelas sepanjang tahun. Kadang saya dibikin bete, kadang anaknya bete sama saya, ada aja yang males dan ngobrol sendiri, ya samalah dengan guru-guru yang lain.

Jadi segala foto, status-status panjang, blog, yang bikin saya keliatan sebagai guru yang keren, itu mah sekedar pencitraan sajah, hohoho...

15 March 2013

UJIAN SEKOLAH

Amiiiin....
Minta difollow?

Baiklah, difollow ^_^

Sebelum tandatangan ini jadi mahal beberapa tahun lagi.

Loh, kok ada noda saos kantin?

CHARLOTTE MASON DI KELASKU


Yang sudah baca blognya Mba Lea Kesuma pasti nyengir, karena saya memang copas blas judul di atas dari salah satu judul tulisan Mba Lea. Akhirnya, saya menerapkan metode ini juga di kelas, berkat inspirasi dari Mba Ellen Kristi, dan mengikuti jejak Mba Lea van Salatiga. Tidak seluruh metode digunakan, hanya pada bagian narasi saja.

Charlotte Mason
Narasi adalah menceritakan baik lisan maupun tulisan apa yang sudah dibaca/didengar. Dalam Islam, kita mengenal ucapan Sayyidina Ali r.a, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Dalam teori pendidikan modern kita juga mengenal tentang kostruktivisme. Kedua hal di atas searah sejalan dengan narasi dalam metode Charlotte Mason. Ketika anak 'mengeluarkan' kembali, dia akan secara swadaya mencerna pengetahuan, dan pengetahuan itu akan menjadi milik pribadinya (Ellen Kristi, 2012: 93)

Di kelas, saya menggunakan narasi lisan. Caranya adalah dengan membacakan anak 1-2 bab dari buku, kemudian saya akan meminta beberapa anak menarasikan, atau menceritakan ulang, secara lisan.

Sebagai guru bahasa, adalah kewajiban saya mengasah keterampilan menyimak dari anak. Terus terang, ini bukan latihan yang mudah. Rentang konsentrasi anak didik saya cenderung rendah dan melupakan detil. Kalau mereka tidak dilatih menyimak, mereka akan kesulitan mengikuti perkuliahan (yang umumnya menggunakan metode ceramah), juga kesulitan menangkap arahan dari atasan ketika bekerja di kantor, permintaan atau komplain dari pelanggan, atau mencerna isi rapat yang panjang.

Biasanya, untuk pelajaran menyimak guru bahasa akan memberi tuturan lisan tentang 'Perkembangan Agrikultur di Indonesia' atau 'Computer Literacy', atau di kelas saya misalnya 'Eki de' yang kebanyakan tidak menarik, baik karena terlalu jauh dari kehidupan siswa, kering, dan hampa nilai. Itulah mengapa metode CM menganjurkan hanya menggunakan livingbooks untuk bahan narasi. Livingbook adalah buku-buku yang terjaga dari sisi bahasa dan moral dan mengandung ide-ide besar yang menginspirasi.

Sebagai guru Bahasa Jepang yang sedikit sekali membaca buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan dan budaya Jepang, saya tidak tahu livingbooks apa yang bisa dipakai di kelas saya. Akhirnya saya memilih Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela untuk kelas X dan Saga no Gabai Baa-chan untuk kelas XI. Keduanya diangkat dari kisah nyata. Pertimbangan saya hanyalah karena saya menyukai buku-buku tersebut.

Setiap saya memulai kelas, saya akan membacakan 1-2 bab dari buku itu. Seperti anak TK yang dibacakan dongeng? Betul! Begitulah kelas saya kira-kira, dan saya bangga tiap bilang bahwa kelas saya mirip TK. Karena setiap saya menggunakan cara guru TK, siswa hampir selalu jadi antusias.

Jadi tiap saya mulai membuka kedua buku di atas dan bersiap membaca, kelas langsung hening tanpa diminta. Malah kalau diizinkan, mereka mau dibacakan saja, tidak harus bertemu dengan huruf-huruf keriting dan terhindar dari menghapal pola-pola kalimat ^_^;. Lagi-lagi, membacakannya tentu saja gaya guru TK, dengan intonasi dan mimik.

Setelah itu, tiba saat narasi. Secara lisan, anak-anak akan mengungkapkan langsung apa yang telah mereka dengar. Nah, ini keterampilan lain lagi, yaitu Berbicara. Berbicara di depan 40an orang bukan perkara gampang. Belum lagi beberapa anak masih berupaya memperbaiki dan mengasah kemampuan konsentrasi mereka. Ketika saya minta menceritakan kembali, ada saja yang nge-blank. terus sambil nyengir-nyengir bilang, "Lupa, Bu!"

Untunglah kami melakukan narasi atas bacaan bebas, bukan materi wajib. Tak ada tekanan standar apapun yang harus dicapai. Jika anak lepas konsentrasinya saat itu, bisa dicoba lagi pada pertemuan selanjutnya. Untunglah materi yang kami baca adalah novel yang menyenangkan. Suasana cair dan fun.

Setelahnya, saya akan menggarisbawahi sekilas hal yang termasuk budaya, sejarah dan geografi Jepang yang ada di bab yang kami baca barusan. Misalnya, di sekitar daerah saya tidak ada stasiun, hingga banyak sekali siswa yang tidak mengerti tentang kartu abonemen kereta ketika membaca bab-bab awal Totto-chan.

Kedua buku yang dipilih juga memiliki setting waktu di sekitar Perang Dunia II, dengan lokasi di Tokyo dan Saga. Ini juga jadi pengetahuan yang menarik bagi siswa, ketika sejarah menjadi hidup dan manusiawi akibat diletakkan dalam karya sastra

Setelah sekitar 15 menit waktu membaca ini, barulah kami masuk dalam materi pelajaran.

Saya sendiri belum mendapat gambaran pasti, apakah kegiatan narasi ini membawa dampak tertentu di kelas. Apakah minat siswa bertambah, apakah membantu mengondisikan (semacam apersepsi) dan menciptakan fokus, apakah rentang konsentrasi siswa bertambah, apakah terjadi perbaikan pada nilai, atau apalah. Yang jelas, ini MENYENANGKAN!

Tapi mungkin lucu juga bila dijadikan bahan PTK ya... ^_^



08 March 2013

BUDAYA SEKOLAH

Di sekolah-sekolah, plang dan spanduk 'Jagalah Kebersihan' atau 'Buanglah Sampah di Tempatnya' bertaburan. Apa kelas jadi bersih? Apa di kolong-kolong meja tak ada lagi sampah bekas makanan? Apa pojok2 dan koridor bebas sampah? Apa lantai kantin rapi?

Banyak pula plang berbahasa Inggris, dari yang bener sampe yang ngaco. Apakah itu membuat siswa lancar berbahasa Inggris? Ataukah membuat siswa memiliki wawasan global? Atau nilai Bahasa inggris bisa terkatrol?

Karena budaya, mulai dari buang sampah, menjawab salam, sampai yang 'besar2' seperti toleransi, wawasan global, kritis, atau apalah, bukan hanya diperintahkan, tapi juga dicontohkan, dilatihkan, dibiasakan, didukung, didampingi, disediakan fasilitasnya. dari semua sisi, oleh semua orang. Sampai semua anggota komunitas di situ merasa bahwa budaya bersih, budaya mengasihi, budaya apapun yang dimiliki, bukanlagi aturan yang diterapkan, tapi kebiasaan. Menang seharusnya begitu. Tidak ada cara lain yang lebih 'gue' dibanding cara itu.

Tentu saja, ortunya dulu sebelum anak. Gurunya dulu sebelum siswa. Hayooo, gimana caranya supaya guru bisa 'berbudaya'?

Omong2, jauh lebih sulit mendidik GURUNYA dibanding mendidik siswanya. lebih sulit mendidik ORTUNYA dibanding mendidik anaknya. Pengalaman pribadi.

25 February 2013

SAYA SAKSINYA

Tahun 2009, hanya 18 siswa yang mendaftar ke sekolah kami. Ya, hanya segitu. Terus terang, semua kecewa dan sedih, bukan hanya pihak sekolah dan guru, tapi juga para kakak-kakak kelas. Hingga akhirnya diputuskan, jika kondisi ini tak membaik di tahun depan, sekolah mungkin akan ditutup saja.

Lalu tahun ajaran baru datang, dan kami memandang 80 lebih anak baru di hari pertama. Harapan mulai tersemai lagi.

80 anak ini sekarang sudah kelas XII, terbagi ke 3 rombongan belajar. Dan pekan ini, adalah pertemuan saya yang terakhir dengan mereka di kelas.

Kelas XII IPA, mayoritas berisi siswa perempuan. Cerewet, tapi partisipatif, kritis dan pintar. Saya ingat Pak Lutfi keluar dari kelas XII IPA dengan kuping berdenging. "Tu kelas isinya nenek-nenek semua. Rempong!" begitu katanya. Berisik sekali, tapi semua partisipatif tanpa terkecuali.

Saya sampaikan kata-kata di atas pada anak XII IPA, dan mereka terbahak-bahak senang. Nenek Rempong justru merupakan pujian, semacam panggilan sayang untuk mereka.

XII IPA: Photo session in yukata

Kelas XII BN adalah kelas istimewa. Ini kelas mayoritas cowok, tapi saya sama sekali tidak kesultan. Saya belum pernah melihat kelas dengan banyak sekali bakat menonjol, dari band, sampai marawis, sampai hadrah, sampai seni rupa, sampai bela diri, sampai menulis.

Saya tahu, selama bersekolah di sini, mereka banyak mengalami kekecewaan. Bukan salah saya, memang. Tapi entah kenapa saya ingin minta maaf pada mereka. Saya harap saya sedikit membantu meringankan jalan berat mereka sepanjang 3 tahun ini.

XII BN: Look at the angry bird!

Kelas XII IPS punya karakter yang berbeda. Berimbang antara lelaki dan perempuan, tapi inilah kelas yang paling menantang.

Sebagai guru, saya berusaha keras memperbaiki diri. Saya membaca buku tentang metode, mencari model pengayaan, dan merancang pembelajaran yang bisa menyenangkan. Hampir selalu berhasil, di semua kelas.

Kecuali XII IPS.

Dengan kata lain, kalau merancang lesson plan, maka harus dicobakan di kelas XII IPS untuk tahu kelemahannya. Bahkan lesson plan yang sukses besar ketika diimplementasikan di kelas lain, belum tentu bisa menarik sekedar antusiasme kelas istimewa ini.

Terus terang, XII IPS sering sekali membuat saya frustasi, ide mentok, mati gaya. Tapi kebahagiaan yang didapat ketika berhasil menjalankan proses belajar di mana semua anak XII IPS antusias dan berpartisipasi, rasanya dua kali lipat dibanding kelas-kelas lainnya.

Kelas inilah yang paling sulit ditundukkan. Kenyataannya sayalah yang malah ditundukkan. Tepatnya, kesombongan saya yang ditundukkan. XII IPS adalah cara berintrospeksi bahwa sebagai guru, saya masih perlu banyak belajar.

XII IPS: Obentou time!

Ah, tiga kelas yang berbeda, tapi hebat semuanya.

Suatu hari saya sedang ada di belakang kelas memeriksa pekerjaan siswa, katika salah satu siswa berteriak dari depan, "Ibu punya rautan, ga?" Saya bilang ada, itu di tempat pensil. Siswa itu maju ke meja guru, mengorek-ngorek tempat pensil saya.

Tak sopan? Tidak, saya tidak menganggapnya demikian. Kalau anda ada di kelas saya saat itu, anda akan lihat bahwa saya tetap dominan, tak ada yang berbuat kurang ajar atau melanggar. Semua bekerja, seperti yang saya suruh. Cerita tadi menunjukkan bahwa kami akrab, dan saya senang bahwa keakraban kami sampai pada tahap tak sungkan meminjam rautan dari saya.

Saya mengajar Bahasa Jepang, dan terus terang, saya sering dibuat kegeeran oleh kelas XII. Beberapa siswa menambahkan 'nama Jepang' di belakang ID Facebook atau Twitter mereka. Mereka memasang profile pic atau avatar ketika memakai yukata. Mereka menamai lembar tugas pelajaran lain dengan hiragana. Mereka tiba-tiba melakukan dance cover pada lagu AKB48, dan menyanyikan Tegami dari Angela Aki di acara sekolah.

XII IPA-IPS: CLD48? Hwahahaha....

Mungkin segala hal yang berbau Jepang itu bukan berasal dari kelas saya, tapi tetap saja saya kegeeran. Dan itu tidak mengapa, karena kegeeran itu membuat saya bahagia.

Ketika siswa baru lulus, biasanya mereka datang ke sekolah dengan rambut gondrong, mengecat rambut, memakai kontak lensa warna warni, segala hal yang menunjukkan I'm free from school. Tapi setelah beberapa bulan, saya menemukan fakta bahwa mereka akan mulai berpikir serius tentang masa depan.

Saya selalu bahagia ketika melihat para alumni, bahkan yang kemampuannya lemah atau paling susah diatur, mulai menemukan kehidupan mereka sendiri. Beberapa datang dengan rutin di SMA Fair kami, yang lain saya tengok kabarnya  lewat Facebook, berfoto dengan seragam kerja atau bersama teman-teman kuliah, sambil tersenyum.

Karena itu, saya percaya. Saya percaya bahwa mereka akan bisa mandiri, bermanfaat buat orang lain, dan menemukan kebahagiaan. Tentu tidak cepat hasilnya. Lima atau sepuluh tahun mendatang, saya percaya 100% akan melihat buktinya. Datanglah saat itu ke sekolah, Nak, dan laporkan apa saja yang telah kalian lewati dan dapatkan sepanjang jalan kehidupan.

Mungkin di suatu hari nanti ada yang akan mengatakan pada anak-anak ini bahwa mereka useless dan tidak bisa diharapkan. Bila saat itu datang, saya harap mereka tetap percaya bahwa mereka adalah anak-anak yang baik.

Saya yang jadi saksinya.

Surprise birthday cake from XII IPA

14 February 2013

GENOGRAM


Apakah harusnya kelas XII fokus ke UN saja, yah? Apa mereka masih perlu duduk melingkar untuk jam kerohanian di masjid, atau ikut kelas pengembangan diri? Lumayan juga kan, ada 4 jam tambahan untuk belajar. Tapi ga tega deh, rasanya. Kepala mereka udah ngebul kebanyakan latihan soal. Barangkali saja kelas rohis, PD, maupun kelas seni justru bisa menjadi selingan.

Jadi kami duduk lagi di kelas PD. Saya bersama belasan siswa kelas XII, gabungan dari 3 kelas berbeda. Hari itu kami membuat genogram, atau pohon keluarga. Bukan hanya berisi nama, tapi juga pendidikan terakhir dan pekerjaan sekarang.


Apa adanya kita sekarang adalah hasil bentukan nature+nurture, dan keluarga jelas memegang peranan besar mengatur cara pandang kita terhadap sesuatu, termasuk tentang pendidikan dan jenis pekerjaan. Meskipun semua siswa pasti hapal apa pendidikan terakhir dan pekerjaan orang tuanya, tapi kebanyakan belum 'ngeh' sebelum dipetakan seperti ini. Maka saya meminta anak-anak membuat genogram.

Saya teringat salah satu anak di kelas XII, kira-kira 2 tahun yang lalu. Ketika saya bertanya apa rencananya setelah lulus SMA, dia menjawab, "Akan bekerja di pengeboran minyak lepas pantai."

Wow, itu jenis pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan akan keluar dari murid saya, seorang siswa SMA di Ciledug, Tangerang. Ketika saya tanya kenapa demikian, dia bilang ingin ikut kakaknya yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Oh, ternyata begitu. Ini menjelaskan tentang pengaruh keluarga/lingkungan pada pilihan pendidikan dan karir kita.

Seperti juga pada kenyataan bahwa setiap tahun saya menyodorkan persyaratan beasiswa ke luar negeri pada siswa-siswa kelas XII, tapi ternyata tak seorang pun berani mencoba. Bahkan mencoba saja tidak berani. Kuliah di luar negeri sepertinya jauh sekali dari dunia mereka, dan sulit dibayangkan. Mungkin saja karena tak seorangpun dari orang-orang terdekat mereka yang memiliki pengalaman tersebut, hingga tampaknya impossible.

Kembali ke genogram, saya membaca hasil genogram yang dibuat para siswa dan menemukan beberapa hal menarik. Banyak profesi terbaca di sana, dari guru, supir taksi, ibu rumah tangga, wartawan, sales, pedagang, buruh, petani, sampai pengrajin sepatu.

Saya bertanya pada mereka, adakah yang sudah pernah mengobrol dengan pamannya yang wartawan, atau kakaknya yang menjadi kasir supermarket? Tentang bagaimana asyiknya wartawan, atau bagaimana cara melamar kerja di supermarket. Adakah yang sudah meminta tips bagaimana berdagang atau bagaimana cara memasarkan sepatu? Kalau bapaknya petani, adakah yang menjadikannya inspirasi dalam memilih jurusan saat kuliah? Kalau kebanyakan keluarganya hanya lulusan SD, adakah yang berniat menjejaki pendidikan tinggi?

Lalu kenapa tidak terpikir 'menggunakan' teman sendiri? Ngobrol dengan kakaknya teman yang bekerja di showroom mobil, belajar memelihara ternak dari ayah teman yang petani, atau belajar manajemen warung dari teman yang keluarganya nge-warung.


Inilah serunya menjadi mentor kelas pengembangan diri. Saya bisa melihat jiwa-jiwa muda yang punya kesempatan tak terbatas untuk tumbuh, potensi yang bisa kita, para guru, bangunkan dan dorong keluar. Mudah-mudahan saja materi genogram bisa berguna untuk anak-anak ini dalam membangun masa depan mereka.