23 July 2011

GA WORTH IT!



Wah, keren banget, pikir saya ketika membaca komentar seorang siswa di status FB seorang teman guru. Dia bilang, "Pelajaran Bahasa Jepang itu ga worth it banget dipelajari."

Kenapa keren, soalnya saya jarang menemukan ada siswa yang mikir, terus berani menggugat: "Saya ga melihat ini ada gunanya untuk masa depan saya." Kebanyakan sih nelen aja meskipun setengah mati ga suka dan ga ngerti, semua materi itu untuk apa.

Apa bener Bahasa Jepang adalah pelajaran ga guna? Kata saya, iya juga sih, hahahaha....



Gini. Bahasa Jepang, dan empat macam bahasa lain yang bisa dipilih dalam kurikulum Indonesia sebagai bahasa asing kedua (temennya: Arab, Cina, Perancis, Jerman), diajarkan memang mengawang-ngawang. Ngapain coba menghapal huruf dan karakter keriting plus gramatika, bahkan percakapan sekalipun. Lha konteksnya juga ga ada.

Yang saya maksud dengan konteks adalah, ini semua mau dipake di mana, sih? Buat apa? Mana belajarnya seminggu sekali, terus bukunya nyeremin banget (kalimat-kalimat percakapan panjang gitu, padahal baru beberapa lembar yang lalu belajar tabel hiragana). Yah, kayaknya jaraaaaang banget yang bisa pera-pera setelah 3 tahun.

Kalau Bahasa Inggris, beda. Kita dikelilingi Bahasa Inggris sejak tv sampai lagu sampai manual instruction barang elektronik. Kalo Bahasa Jepang (atau Jerman dan Prancis) kan ga begitu.

Gimana kalo gini aja. Pelajaran bahasa asing kedua jadi semacam pemantik semangat para siswa aja. Nah, kalo ini saya setuju. Siswa diberi wawasan bahwa, "Dunia itu luas, Nak. Jangan batasi diri, kemungkinan itu terbuka kalau kamu mau mencari."

Kalau begini alasannya, jangan banyak-banyak belajar bahasanya. Masukkan lebih banyak tradisi dan budaya.

Nah, ini kan jelas tugas gurunya. Ga heran kalo siswa bilang belajar Bahasa Jepang itu ga worth it, karena mungkin gurunya ga ngasih tau, apa manfaat kamu belajar bahasa jepang, apa yang bakal dia dapat setelah belajar Bahasa Jepang.

Tentu sudah pernah dengar tentang T.A.N.D.U.R, bukan?



T.A.N.D.U.R adalah salah satu metode penyampaian materi di kelas a la Quantum Teaching. Huruf T dan A ini adalah waktu kita memberikan konteks.

T adalah ingkatan dari Tumbuhkan minat. Apa manfaatnya bagi siswa, apa asyiknya belajar ini. Setelah itu melangkah ke A, atau Alami. Biarkan siswa menghubungkan pengalamannya dengan materi. Kalau pelajarannya tentang katakana, misalnya, kita tunjukkan beberapa katakana yang terselip di
banner iklan dan bilboard atau label makanan. Ini membuat mereka ngeh, "Oh iya. Katakana itu ada loh dalam kehidupan saya."

Segala definisi dan teori diberikan setelah siswa tumbuh minatnya, dan dapat menghuugkan materi dengan kedhidupan pribadi mereka. Itulah yang disebut konteks belajar, dan harus diberikan di awal segalanya di kelas.

11 July 2011

JADI AKRAB



Hampir jam 11 malam. Saya sudah janji ga mau begadang lagi, tapi begitu selesai menyiapkan bahan raker, sebuah pesan masuk ke inbox FB yang saya buka di window sebelah. Dari mantan murid saya.

Tadi pagi, dia mengirim request pada saya untuk dilisting sebagai mother di profil FBnya. Malam ini, kami bertukar cerita tentang kabar masing-masing, pekerjaan, ditutup dengan permintaan agar jangan sampai lupa mengundangnya bila ada reuni atau buka puasa alumni di sekolah.

Apa anda menduga bahwa sebelumnya saya dekat dengan anak ini?

Tidak sama sekali. kami tak pernah bicara selain dalam kelas, yang mana itu jaraaaang sekali terjadi. Berkali-kali saya kesal karena dia sulit sekali menyerap materi. Dia juga kemungkinan besar kesal pada kecerewetan saya. Kalau tidak, mana mungkin dulu dia jarang masuk dan sering lupa bawa worksheet. Bahkan, ingatan saya menyatakan bahwa dia adalah siswa yang paling sulit diangkat antusiasmenya, meski saya sudah mencoba dengan berbagai cara.

Kalau anda dekat dengan guru dulu, kemungkinannya adalah anda termasuk anak yang pintar, atauaktif di kegiatan, atau anda/gurunya adalah orang yang pandai bergaul. Saya dan anak ini tidak berada dalam salah satu kondisi di atas. Jadi kalau sekarang jadi akrab, saya bertanya-tanya mengapa.

Jangan-jangan, hubungan guru-murid sulit bisa akrab karena banyak tekanan di sekelilingnya. Tekanan nilai, kurikulum, peraturan. Semua tekanan itu membuat saya mudah sekali mutung pada beberapa anak. Ketika itu semua dilepaskan, anak-anak ini jadi anak yang menyenangkan.

Maka saya sedang berpikir, bagaimana kedekatan ini bisa dibangun di tengah berbagai tekanan ini. Terutama, karena saya bukan orang yang 'hangat'.

Ah, tapi bagaimanapun, senang rasanya liat alumni yang melanjutkan hidup mereka dengan baik. Tulisan anak ini masih saja kacau tanda baca, seperti saat saya mengajarnya dulu. Tapi kenyataan bahwa dia sudah bisa mandiri dengan bekerja di perusahaan ponsel terkemuka, sudah cukup membuat saya bahagia.

03 July 2011

RULES



Berikut adalah beberapa peraturan untuk SAYA ketika bergaul dengan siswa di Facebook. Sengaja dicaps kata 'saya'nya karena mungkin orang lain berbeda pandangan ketika menyikapi status/foto di FB. Tapi saya terbuka pada segala masukan demi perbaikan.



1. Hanya menerima siswa yang sedang/pernah saya ajar.

Memperhatikan (diam-diam) siswa sendiri aja udah kebanyakan. Biar sedikit asal berarti, ceileh...


2. Menyeleksi siapa saja yang bisa melihat status/notes/link tertentu yang saya buat

Hohow... masa' gurunya sama aja naifnya dengan siswa. Rada bijak dikit gitulah, hehehe, gaya.


3. Hanya berkomentar di status/foto yang tidak provokatif.

Padahal banyak banget status yang provokatif. Ada yang nyumpahin orang lain sebagai cewe murahan, ada yang bilang tuhan sudah mati, ada yang nulis status: kesel banget denger orang jum'atan, ada yang cinta-cintaan sampe malu saya bacanya, wah macem-macem deh.

Kalo kata-kata semacam anjing, babi, tai, dan sejenisnya mah udah biasa. Ada yang lepas jilbab kalo di rumah (padahal sekolah juga ga ngewajibin). Foto yang 'nyeremin' juga ada, meski ga banyak.



4. Kalau ada status/foto yang bikin saya gatel kepingin komentar, maka itu berarti sebaiknya saya TIDAK berkomentar

Kaya' bahasanya anak jaman sekarang: cukup tau aja. Meskipun statusnya kadang bikin guru/orang tua mengurut dada prihatin.


5. Tidak mengungkit apa yang dilihat di Facebook ketika berada di sekolah

Terutama jangan sampai membawa nama atau kasus secara spesifik. Wewenang saya hanya sampai pagar sekolah.


6. Berkoordinasi dengan wakasek bidang kesiswaan, wali kelas, dan pembina osis untuk melakukan follow-up lewat program kerohanian, kelas seni & keterampilan, kelas pengembangan diri, dan konseling berkelanjutan.

Ga perlu ribut-ribut, ga perlu menyalahkan siswa karena toh mereka hasil didikan kita. Jadi lompati aja hal-hal yang ga ada gunanya, dan langsung mengusahakan solusi pembinaannya. Hop.