Hari itu saya melangkah ke kelas biru (warna kelas di sekolah kami berbeda-beda), dan bertemu untuk pertama kalinya dengan anak kelas XII. Ya, mereka baru 3 hari jadi anak kelas XII. Tingkatan yang penting menurut saya, karena tahun ini akan menjadi tahun terakhir bagi mereka berpredikat 'siswa'.
Dalam pertemuan pertama ini, belum ada materi yang kami pelajari. Saya hanya meminta mereka mengeluarkan selembar kertas dan alat tulis. Kami akan membuat kapsul waktu.
Kapsul waktu biasanya berupa kotak berisi benda-benda kenangan, lalu ditanam untuk beberapa tahun. Tapi kami membuat kapsul waktu yang lebih sederhana, hanya tulisan di awal tahun ajaran. Mereka diberi mereka 3 pertanyaan panduan, tentang apa yang terasa berubah tahun ini, bagaimana kira-kira tahun ini akan berlangsung, dan apa harapan terbesar di tahun ini. Ya memang, sebenarnya kami tengah berefleksi, lalu membuat pernyataan misi.
"Bila kalian mengizinkan saya membaca tulisan kalian, lipat kertas sekali. Bila tidak, lipat dua kali," kata saya.
Kertas-kertas dikumpulkan, dan terlihat beberapa yang dilipat dua kali. Saya menghela napas diam-diam. Ini tahun ketiga saya mengajar mereka, dan masih banyak anak yang memutuskan untuk belum bisa percaya pada saya. Tapi pilihan itu tetap harus dihargai, bukan?
Saya membaca satu persatu kertas yang terlipat sekali sambil tersenyum-senyum. Anak-anak ini berkembang, baik secara akademis maupun psikologis. Saya terus membaca, hingga sampai pada tulisan milik Dwi. Dwi adalah anak yang beberapa kali dikeluhkan guru-guru karena lambat menyerap materi. Kedisiplinannya pun kurang memuaskan walaupun tidak termasuk kategori berat.
Tapi kertas milik Dwi membuat saya tertegun. Dia menulis, "Saya ingin buktikan pada orang tua, teman dan guru bahwa saya bisa jadi anak yang baik."
Bisa jadi anak baik.
Saya langsung teringat Sosaku Kobayashi, kepala sekolah dalam buku Totto-chan. Katanya, "Ada orang yang mungkin berpendapat kau bukan anak baik dalam hal-hal tertentu, tapi watakmu yang sesungguhnya tidaklah buruk. Banyak watak baik dalam dirimu dan aku tahu itu" (hlm. 189).
Saya memanggi Dwi ke depan. Menunjuk tulisannya sambil meniru kata-kata Sosaku Kobayashi, "Tapi Dwi, menurut saya, kamu memang anak yang baik, kok. Kamu benar-benar anak yang baik.
Dwi kembali ke tempat duduknya, menelungkupkan kepala di atas meja. Teman-temannya ribut bertanya, "Kenapa sih? Diapain sama Bu Irma?" Dwi cuma menggeleng-geleng saja dan kembali menunduk dalam.
Saya menghela napas lagi. Saya memang sungguh-sungguh percaya bahwa Dwi, dan semua temannya, adalah anak yang baik. Bukan karena buku-buku parenting dan pendidikan mengatakan begitu, tapi karena agama saya yang mengajarkan demikian. Tiap manusia dilahirkan suci. Lalu kenapa anak jadi nakal? Kita orang tua, baik orang tua biologis maupun sosiologis, yang membuatnya demikian. Maka ketika anak bermasalah, hukumlah diri kita sendiri terlebih dulu.
Sebagai penutup hari itu, saya memuji tulisan mereka, yang juga menandakan keberhasilan guru Bahasa Indonesia di sekolah kami. Tiap kertas terisi penuh, bahkan ada yang menulis hingga ke halaman belakang. Inilah maksud saya menulis 'mereka berkembang secara akademis' di atas. Sedangkan secara psikologis, adalah karena saya menemukan kata yang sama di tulisan mereka, yaitu lulus ujian, bekerja, dan kuliah. Masa depan, walaupun masih samar, telah masuk pada deretan hal yang mereka anggap paling penting. Dan tentu saja, hal-hal membanggakan ini saya sampaikan pada mereka.
Kelas diakhiri dengan menutup amplop besar yang kami namai 'Kapsul Waktu Kelas XII'. Kapsul ini akan dibuka dan diperbarui lagi semester depan, sebelum pelaksanaan ujian yang menentukan nasib mereka selanjutnya.
No comments:
Post a Comment