25 February 2012

SIAPA BERHAK JADI GURU?

Semua pasti kenal Totto-chan. Saya sendiri fans berat buku itu, sampai saya pinjamkan ke semua orang yang berminat, sampai saya hadiahi ke kepala sekolah TK Difi dulu, sampai saya bacakan pada anak-anak setiap malam lembar demi lembar hingga tamat.

Kalau anda pernah baca dan mungkin terlupa, bisa buka blognya Mbak Lea. Saya tadi dari sana dan terpikir untuk menulis di sini.

Di poin 5 di blog itu, tertulis bahwa kepala sekolah Sosaku Kobayashi menjadikan pak tani sebagai guru pertanian murid-muridnya. Padahal pak tani mungkin tidak sekolah tinggi, bukan sarjana, apalagi punya sertifikat pendidik ^^;.

Jadi saya bertanya, siapakan yang berhak jadi guru?

Pernah suatu kali saya ngobrol dengan teman sejawat. Saya bilang, "Gimana kalo kita minta Mpok Yum saja yang mengajar keterampilan. Setidaknya untuk beberapa minggu, sampai posisi guru keterampilan tangan dan kesenian (KTK) terisi."

Siapa Mpok Yum ini? Penjual nasi uduk di kantin, yang menjadi langganan katering guru.

"Atau kalau bukan Mpok Yum, bisa saja Pak Warto yang punya usaha sablon kaos dan spanduk yang sering dipakai sekolah, atau pengrajin rotan dekat sekolah."


Teman saya itu menolak. Dia bilang, seseorang bisa saja punya keterampilan, tapi di tak lantas bisa jadi guru. Saya sendiri bukan lulusan fakultas ilmu kependidikan, makanya saya baru tahu ketika mengikuti sertifikasi, bahwa menjadi guru harus memiliki kemampuan akademik, sosial, psikologis, juga pedagogis.

Bila ada seseorang yang datang membawa ijasah sarjana, apalagi sarjana kependidikan, lalu apakah dia lantas memiliki empat kecakapan di atas? Harusnya iya. Apa yang bisa menjamin hal itu? Tentu saja: lembaran-lembaran kertas.



Di sisi lain, ada satu cerita menarik. Kebetulan di sekolah saya, guru teknologi informasi dan komputer (TIK) mengambil cuti hingga akhir tahun. Untunglah guru pengganti sementara segera didapatkan.


Kemarin saya membaca status Facebook salah seorang siswi (inilah salah satu alasan saya menggunakan Facebook). Dengan bahasa alay gaya anak jaman sekarang, dia bilang sekarang sulit sekali mengerti pelajaran TIK. Gurunya membingungkan! Ternyata beberapa teman sekelasnya memberi komentar senada. Mereka ingin agar guru lama mereka segera kembali.

Saya yang penasaran, mencari informasi sedikit tentang guru baru ini, dan terkejut! Dia dosen, bukan sekedar guru sekolah. Pendidikannya S2, punya akta IV, dan tebak berapa IPKnya? Empat, sodara-sodara. Sempurna.

Lalu dengan kertas-kertas menakjubkan itu, kenapa murid-murid tidak bisa memahami materi jika dia yang mengajarkannya?

Saya sendiri lebih memilih pak petani yang hanya sekolah rendah tapi apa yang diucapkannya bisa dimengerti dan bisa digunakan, dari pada lulusan master atau doktor yang justru membuat bingung.


Jadi, siapa berhak jadi guru?

Quantum Teaching, bahkan di halaman-halaman awal, sudah menegaskan bahwa mengajar adalah hak yang harus diraih oleh guru. Hak tersebut diberikan oleh siswa, bukan oleh kementrian pendidikan nasional.

No comments:

Post a Comment