Akhir tahun ajaran, masanya kelulusan siswa senior dan acara-acara perpisahan. Dan inilah masa ketika guru bertabur puja-puji sebagai pahlawan, pelita penerang dalam gulita, yang pengabdiannya adalah amal yang tak terputus pahalanya.
Tentu saja, gelar itu pantas untuk banyak sekali guru di Indonesia, yang bekerja dengan tuntutan segunung tapi gaji sekerikil, yang memutuskan untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebagai guru semata-mata karena tidak tega pada murid-murid mereka.
Tapi sepertinya, bukan untuk saya. Karena, hey... untuk melakukan hal-hal seperti menyampaikan materi, menyelesaikan administrasi, dan sebagainya itu, SAYA DIBAYAR. Saya tak melakukannya dengan gratis dan sukarela.
Sekolah tempat saya bekerja menghendaki tingkat kehadiran saya minimal sebanyak 92% per tahun dan proses KBM serta penilaian sesuai standar. Saya dibayar karena memenuhi kewajiban-kewajiban itu. Jadi kalau itu yang saya lakukan, tak perlu kegeeran merasa sebagai pengabdi, dan tak layak juga berbangga diri demi mendengar puisi dan lagu pujian dari siswa di acara-acara perpisahan.
Toh, meski kita berterima kasih pada tukang sayur atau asisten cuci-setrika setelah membayar barang/jasa mereka, kita tak menganggap mereka pelita penerang dalam gulita. Apa bedanya dengan guru? Kan sama-sama profesional, bekerja sesuai tuntutan profesi.
Pahlawan itu, IMHO, adalah orang yang bekerja lebih dari apa yang dituntut oleh pekerjaannya. Mengusahakan yag terbaik, membersihkan hati, berempati dan terlibat, itulah yag disebut 'pelita penerang dalam gulita'. Apapun profesinya.
Dan saya mengaku, saya memang belum sampai ke maqam tersebut.
No comments:
Post a Comment