09 November 2013

ATMOSFIR

Tulisan ini adalah refleksi diri sebagai guru, bukan untuk menyalahkan pihak manapun. [Dan entah kenapa saya harus menjelaskan begini, mungkin akibat membaca artikel yang bilang kalau kadang what I said bisa bereda dengan what they hear ^_^;]

Suatu sore, saya duduk bersama para siswa dan guru di hall. Kami baru selesi shalat ashar dan tengah membaca zikir sore sebelum pulang. Saat itu saya teringat bahwa saya melakukan hal mirip tadi pagi pada pukul tujuh lewat, duduk di sini setelah shalat duha dan membaca zikir pagi. Lalu saya sadar, betapa panjangnya waktu yang dilalui anak-anak ini di sekolah.

Apalagi ketika saya turun untuk pulang, di lapangan anak-anak sudah berganti kostum eskul masing-masing. Saya bayangkan mereka pulang menjelang magrib, kelelahan -sama dengan orang tua mereka, lalu masing-masing masuk kamar untuk bangun besok pagi dan mengulang lagi rutintas biasa.

Hal ini membuat saya berpikir bahwa sekolah mesti sadar bahwa dengan mengambil sistem fullday, artinya ia mengambil resiko yang besar. Kalau sekolah biasa (yang pulang tengah hari) bisa berkilah bahwa orang tua yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kegagalan pendidikan karena porsi orang tua bersama anak terhitung lebih banyak., sekolah full day tidak bisa menggunakan alasan itu. Kenyataannya, anak memang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Mereka tumbuh besar di sekolah.

Sampai sekarang, saya masih percaya bahwa nilai-nilai diturunkan dan ditanamkan dengan cara hidup di dalamnya. Ini titik kritis di sekolah fullday. Apakah guru sudah menjalankan hidup bersama anak-anak didiknya, bukan hanya kegiatan formal belajar mengajar yang diatur oleh bel sekolah. Karena panjangnya jam sekolah, mau tak mau guru tidak hanya melakukan educating, tapi juga parenting.

Di pesantren yang masih mengikuti tradisi asli, anak-anak dititipkan pada kyai sebagai 'anak angkat'. Mereka menyerap kehidupan kyai dan nyainya, melihat cara hidup, karakter, kebiasaan, dan cara pandang kyai-nyai. Orang tua percaya atmosfir di sekitar kyai memiliki standar nilai yang lebih tinggi daripada di rumah sendiri.

Sekolah yang memiliki jam belajar yang panjang memiliki kesempatan yang hampir mendekati pesantren. Visi sekolah harus dibuat sebagai atmosfir yang melingkupi anak-anak, dengan guru-guru sebagai penjaganya. Kita tidak melihat atmosfir ini sebagai benda nyata (misalnya dalam bentuk tata tertib atau hukuman), tapi semua orang melakukannya karena memang terbiasa demikian. Semua guru melakukannya, semua kakak kelas melakukannya, maka anak-anak baru akan menyesuaikan diri secara alamiah dengan atmosfir yang ada.

Jika sekolah fullday gagal menciptakan atmosfir yang sesuai dengan visi di atas kertas, anak-anak ini akan dibesarkan oleh teman-teman mereka.
 

No comments:

Post a Comment