21 October 2010

HARE GENE? CKCKCK....

Saya geleng-geleng tak mengerti ketika ada teman saya mengatakan bahwa rata-rata anaknya 94 dan masih juga belum peringkat pertama di kelasnya. Juga saya tidak mengerti, ketika keponakan saya di status update facebook-nya berkata bahwa hasil UTS menempatkan dia di ranking 18.


Dua anak ini kan masih SD, yang pertama kelas 1 dan yang kedua kelas 6, kenapa justru mereka diranking? Masih SD gitu, loh....


Di rapor sekolah saya, tingkat SLTA, di Tangerang, tidak ada kolom untuk peringkat/ranking. Jadi kami tak mengurutkan nilai anak untuk mengetahui siapa ada di ranking apa. Rapor itu

tidak kami cetak sendiri, melainkan dibeli dari MKKS dan digunakan baik oleh sekolah negeri maupun swasta di kota Tangerang. Jadi kebijakan ‘rapor tanpa kolom peringkat’ bukan cuma ada di sekolah saya, tapi disepakati bersama.


Memang kemudian para wali kelas kami melihat siapa yang nilainya paling besar di lembar ledger. Bukan karena hendak membandingkan peringkat anak, tapi semata-mata untuk mengetahui pada siapa dana beasiswa prestasi akan disalurkan.


Saya sendiri setuju pada pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan bukanlah perlombaan. Kalau ada sebuah kompetisi, dipasang judulnya perlombaan apa, atau pertandingan apa, silakan deh anak kita ikut untuk memperebutkan tahta juara.




Tapi pendidikan bukan seperti itu. Education is a journey, not a race. Pendidikan adalah sebuah perjalanan, bukan balapan. Lagipula anak kita bukan kuda atau sapi, kan?


Kalau jaman dulu, memang kita dipertandingkan dengan teman sekelas. Di samping nilai milik kita di buku rapor, ada nilai rata-rata kelas. Apakah seorang anak cerdas atau tidak ditentukan dengan apakah nilai ia berada di atas atau di bawah nilai tersebut.


Tapi sekarang zamannya sudah beda. Anak-anak ini diberi pendidikan bukan untuk mengungguli rekan-rekan sekelasnya. Mereka belajar setiap hari di sekolah agar bisa 'terbangun', terbangun akalnya, hatinya, jiwanya, badannya. Seperti lagu kebangsaan kita itu loh, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya....”


Seringkali terjadi jurang pemisah di kelas akibat sistem peringkat ini. Ada geng anak pintar, dan anak peringkat buncit semakin percaya kalau dirinya memang sudah terlahir sebagai pecundang.


Dengan sistem peringkat, anak-anak kita juga jadi keranjingan menjatuhkan, bukan terbiasa bekerja sama. Ngapain bagi-bagi ilmu, ngapain ngajarin temen yang ga bisa? Nanti dia ngerti, trus gue tersingkir dari ranking satu dong. Akhirnya, yang merasa kurang pandai mengambil jalan pintas: menyontek. Toh, nilailah yang dihargai, sumber segala privilege di dunia pendidikan yang kejam kayak gini.


Jadi saya sepakat dengan rapor yang dicetak oleh MKKS Kota Tangerang. Tak perlu ada peringkat di rapor. Malah, orang tua tak perlu menjawab pertanyaan orang tua bila mereka bertanya ranking berapa anaknya di kelas.


Kenapa orang tua tak perlu diberi tahu? Karena orang tua kadang dengan cepat bertindak: “Masak sama anak tetangga kamu kalah? Bodoh sekali sih, kamu! Mulai besok ikut les ini les itu les anu.” Nah, akhirnya anaknya lagi yang menjadi korban.


Orang tua harus memandang keberhasilan anak dari apa yang telah dia capai sebelumnya, dan dari potensi apa yang sebenarnya anak punya. Bagaimana dukungan yang dapat diberikan orang tua, dan sisi mana yang bisa mereka ambil, agar sekolah dan orang tua bisa sama-sama menyediakan kondisi yang mendukung anak untuk tumbuh dan mekar.


Iya, untuk tumbuh dan mekar, yang berarti menjadi yang terbaik sesuai potensi dan keunikannya, bukan untuk dibandingkan dengan orang lain.

Sekolah tentu saja harus jadi pihak pertama yang menyadari hal ini. Hapuskan sistem peringkat dari rapor, dan dari keseluruhan sistem pembelajaran. Buat sistem yang mendorong pembelajaran kolaboratif, bukan kompetitif.


Contohnya? Mmmm.... Apa ya? Gini deh, misalnya, jangan cuma siswa dengan nilai akademik tertinggi yang diberi piala atau piagam atau bingkisan. Yang kehadirannya 100% juga harus diberi. Yang membawa harum nama sekolah dalam kegiatan ekstrakurikuler juga harus diberi


Nah, bagaimana kalau sekolah anak kita berdalih bahwa sistem peringkat adalah peraturan dari ‘atas’?


Wah, dalihnya basi tuh. Kurikulum sekolah kebanyakan sudah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), jadi tidak lagi bisa berdalih bahwa ini peraturan dari atas, karena sekolah memiliki otonomi yang luas sekarang ini.




Bagaimana kalau sekolah teteeeeeeup keukeuh menggunakan sistem peringkat? Ya orang tua yang harus maju dan bertanya.


“Saya ga mau anak saya jago menyingkirkan orang. Saya lebih suka anak saya bisa bekerja sama, menyadari bahwa dia dan teman-temannya saling mengisi dengan keunikan mereka. Jadi, kenapa ada peringkat di SD ini?”


Bagaimana kalau sekolahnya dibilangin tapi terus ngeyel? Yah, akhirnya, moms clean the mess, as always. Kita, lagi-lagi kita, yang harus membereskan kekacauan yang diperbuat sekolah. Orang tua yang berkewajiban memberi pengertian pada anak, bahwa peringkat satu bukan jaminan kebahagiaan dan kesuksesan. Ranking itu ga penting!


Yang penting apa, dong? Yang penting punya banyak teman (biarpun bukan orang kaya dan ga punya mainan mahal model terbaru), yang penting menemukan minat diri, yang penting enjoy di sekolah.


Nah lo, jadi bentrok dong sama ajaran sekolahnya? Di sekolah disuruh berlomba jadi peringkat satu, eh di rumah malah dibilang ga penting. Ya begitulah, salah sendiri masukin anak ke situh, hwehehehehe....


Hare gene masing ada ranking-rankingan? Ck ck ck.... Jadul banget ga seeeeh....


No comments:

Post a Comment