02 May 2010

DUA KEPALA SEKOLAH

Saya tak pernah banyak merasakan diajar oleh kepala sekolah. Dulu sepertinya kepala sekolah tidak mengajar ya, hanya sesekali masuk ke kelas bila guru yang bertugas berhalangan. Baru sekarang saja disyaratkan mengajar minimal 6 jam per minggu untuk keperluan sertifikasi.

Kepala sekolah saya sewaktu SMP bernama Ghufron Dardiri. Orangnya tinggi besar, matanya lebar, berkulit hitam dengan rambut keriting. Saya amat jarang bertemu dengannya, hanya tau saja kalau dia kepala sekolah. Suatu hari ada guru yang tidak masuk, dan Ustadz Ghufron menggantikan (karena SMP saya di pesantren, maka semua guru dipanggil ustadz/ustadzah).

Ingatan saya memang tidak begitu bagus, tapi rasanya, pelajaran Nahwu (sintaksis) waktu itu berjalan lebih menarik dari biasanya. Ustadz Ghufron mengisi materi dengan antusias. Matanya yang lebar terlihat agak melotot jadinya.

Kelas berjalan lebih komunikatif. Dia bahkan menantang kami untuk menerjemahkan kalimat ke dalam Bahasa Arab. Untuk pertanyaan pamungkas, yang bisa menjawab diperkenankan pulang sekarang juga, tidak perlu menunggu bel keluar. Kalimatnya: Empat orang lelaki (ada) di atas empat buah meja. Apa anehnya? Yah, terjemahan lelaki (jamak) dan kaki (jamak) memang agak mudah membuat terpeleset.

Eh, ternyata ada juga yang bisa jawab. Dengan rela dan bersikap fair Ustadz Ghufron memperbolehkan siswi itu keluar. Sayangnya si siswi malah bingung, dan bel ganti pelajaran berbunyi. Saved by the bell ya, Tadz.... ^_^;

Di MA (SLTA), kepala sekolah saya bernama Balya Isa (sedikit mirip dengan nama kepseknya Ikal di novel Sang Pemimpi ^^). Nama keluarganya, Isa, menandakan bahwa Pak Balya adalah generasi berikutnya dari pendiri yayasan di mana sekolah saya bernaung. Nama itu juga mencirikan keluarga kyai di kampung Betawi kami, yang dididik bertahun-tahun di pesantren-pesantren NU, dan memimpin sekolah-sekolah di bawah yayasan.

Tapi Pak Balya adalah anomali. Sementara kakak-kakaknya jago mengkaji kitab-kitab kuning, Pak Balya mengaku mengambil arah lain. Dia jago berbahasa Inggris. IMO, lebih jago dari guru bahasa Inggris manapun yang pernah mengajar saya selama ini. Sungguh.

Bukan cuma tata bahasanya, dia juga berbicara dengan fasih, menulis bahan rapat atau hasil seminar dalam bahasa Inggris, mengetahui banyak lagu klasik dalam pengajaran bahasa Inggris, juga puisi, cerita rakyat, juga anekdot berbahasa Inggris. Dan semua itu membuat pelajaran jadi berbeda ketika dia menggantikan guru aslinya. Jadi lebih kaya, lebih menarik.

Kenapa saya bercerita tentang dua kepala sekolah ini?

Hm..., entahlah. Hanya saja, saya merasa puas ketika mengetahui bahwa seorang kepala sekolah mengajar dengan cara yang lebih baik dari guru-guru yang dia pimpin. Bukankah memang seharusnya begitu?

Dibanding guru, kepala sekolah berkesempatan lebih banyak mengikuti penataran dan pelatihan, berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengembangkan diri. Sudah seharusnya mereka memiliki sikap yang lebih terbuka, lebih kaya, dan lebih bijak.


Keterbukaan pikiran, kekayaan pengalaman, dan kebijaksanaan kepala sekolah dalam memandang pendidikan ini yang akan membawa sekolah ke arah yang lebih baik. Dia tau apa yang terjadi dengan siswa-siswanya, bersedia menerima pembaruan, dan bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan berkaitan dengan segala sesuatu di sekolah.

Seperti nahkoda yang memimpin bahtera ke tujuannya.

No comments:

Post a Comment