Sekolah saya, SMA swasta kecil di Tangerang, adalah sekolah umum. Maksud saya dengan sekolah umum adalah sekolah biasa saja, dan tak pernah menyatakan diri sebagai sekolah inklusif. Meski demikian, sepertinya ada beberapa siswa kami yang bisa dibilang berkebutuhan khusus, meski tidak tergolong berat. Beberapa diantaranya saya pernah tuliskan di sini, tentu saja tanpa membeberkan identitas aslinya.
Karena sekolah biasa, tentu saja kami tak punya shadow teacher, apalagi terapis dan psikolog. Jangankan itu, punya guru bimbingan konseling saja tidak. Biasalah, terkendala biaya v^_^;v. Jadi bila ada masalah yang timbul, kami tangani sebisanya, mengikuti insting saja. Agak berbahaya juga sebenarnya, tapi sementara ini itu yang bisa diperbuat.
Salah satu siswa yang memiliki kebutuhan khusus adalah Adelia. Ia mungil, manis, ramah, dan banyak tersenyum. Semua guru berpendapat sama mengenai Adelia, bahwa dia tidak mungkin diberi ujian tertulis. Kenapa? Kacau. Apa yang ditulisnya amat kacau. Kertas ujiannya dipenuhi kesalahan eja dan kalimat yang tak jelas maksudnya.
Kalau ada yang pernah membaca tentang (mantan) siswa saya yang bernama Bagus, mungkin ingat bahwa Bagus mengidap sindrom Asperger (keterangan lebih lanjut hubungi Mbak Gita Lovusa ya, saya mah ga terlalu ngerti ^^). Bila dilihat secara langsung, semua orang akan tahu bahwa Bagus 'berbeda', namun tulisannya tertata dengan baik, meski isinya khayalan semua. Sedang Adelia, secara fisik normal, senormal-normalnya, hanya bila menulis saja, kita tidak paham apa maksud kalimatnya.
Disleksia? Guru biasa seperti saya tentu saja tak berani memberi diagnosa. Kalau salah kan berabe.
Ketika rapat evaluasi tengah semester lalu, Adelia adalah salah satu siswa yang diperbincangkan. Tapi satu hal menghangatkan hati saya saat itu, bahwa guru-guru, meski tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Adelia, tapi mereka mau memahami anak ini.
Bu Ida, guru ekonomi berkata, "Memang nilai Adelia jatuh di rapor bayangan, karena kita menggunakan nilai asli. Tapi setiap ulangan tertulis memang Adelia selalu seperti ini. Nanti untuk dia saya ambil nilai secara lisan. Nilai rapornya nanti didominasi nilai harian saja."
Pengambilan nilai secara lisan ini kemarin saya laksanakan untuk Adelia pada mapel yang saya ampu. Bu Ida benar, Adelia paham, dan menjawab dengan lancar. Senyum terkembang di wajahnya setelah berhasil menjawab 3 pertanyaan lisan saya berturut-turut.
Pak Sukron, guru agama, juga menyiasati beberapa kelemahan siswa dengan memikirkan cara lain melakukan tes. Meski dalam kurikulum siswa misalnya dituntut untuk menghapal (misalnya menghapal ayat dalam pelajaran agama), namun untuk siswa tertentu, Pak Sukron akan meminta anak untuk menyalin saja. Memaksakan semua anak harus menghapal akan mendatangkan tekanan bagi beberapa siswa kami.
Bahkan salah satu guru yang dianggap 'killer' di kelas oleh para siswa, adalah guru yang membela beberapa anak yang bermasalah dengan nilai dan kedisiplinan mereka dalam rapat. Andai anak-anak itu tahu ya...
Saya memang banyak menulis yang isinya mengritik guru, tapi kali ini saya juga ingin menunjukkan bahwa guru yang baik itu banyak, insya Allah.
Mungkin ada yang menuding mereka melakukan kesalahan, karena telah menurunkan standar pendidikan. Anak bodoh kok dinaikkan ke kelas selanjutnya. Tapi bagi saya, mereka adalah guru yang mau mengerti.
Mereka mengerti bahwa sekolah ini akan selalu menerima siswa sisa dari sekolah negeri. Itu menyebabkan masalah yang dihadapi di kelas mungkin akan lebih beragam. Ada beberapa anak, yang tidak pernah mungkin bisa naik kelas bila kita memegang teguh permintaan kurikulum. Dan karena guru-guru ini menyadari hal tersebut, maka mereka mencari jalan lain.
Mengetahui bahwa anak-anak seperti Adelia, dan Bagus, dan Bayu, dan Zein, mendapatkan guru yang mau mengerti, bukankah terasa membahagiakan?
keterangan foto:
foto 1: ada adelia di foto kelas memasak ini
foto 2: guru agama ketika kegiatan rohis
No comments:
Post a Comment