27 November 2010

SUMPAH SERAPAHMU UNTUKKU

Saya maluuuu sekali ketika ada yang bilang saya guru yang baik. Dan memang hanya karena Allah menutup aib-aib saya, tak ada yang tahu bagaimana cela dan salah yang saya lakukan, termasuk dalam menjalani profesi guru.

Kalaulah saya guru sempurna, mungkin tak ada kejadian kemarin, ketika seorang siswa bersumpah serapah di depan saya.

Saya mencintai tempat saya mengajar, sungguh. Di sana adalah tempat saya menyemai mimpi-mimpi saya tentang pendidikan yang lebih baik untuk semua. Itulah makanya saya tak suka bila ada yang mencoreng nama sekolah, apalagi oleh salah satu komponennya sendiri. Berlaku saja sesukanya, tapi jangan di sekitar sekolah dan jangan menggunakan atribut (fisik maupun non fisik) sekolah.

Karena saya pulang dengan berjalan kaki, sedang guru lain kebanyakan naik angkot atau sepeda motor, maka saya sepertinya lebih sering menemukan anak-anak yang merokok dengan seragam di samping sekolah. Apalagi ketika itu dengan baju batik, yang mencirikan sekolah secara khusus.

Saya bergejolak. Ini sama saja dengan berteriak, "Nih gue anak Yapera, nongkrong sambil ngerokok, pas di samping sekolah. Lu mau apa?" Maka saya minta rokoknya, dan saya matikan di tanah. Salah seorang tak terima, dan kata-kata kasar pun keluar. Saya segera berlalu karena, terus terang saja, cemas. Mereka bukan anak SD atau SMP. Badan mereka lebih besar dari saya. Jumlahnya juga banyak sedang saya sendirian.

Soal rokok dan kata-kata kasar (dan kadang kotor) ini, saya amat malu pada anak saya. Dia melihat, dan bertanya, "Ini muridnya Mama ya? Kok ngerokok? Kok ngomongnya kasar?" Saya benar-benar kehilangan muka, karena pertanyaan tadi sama saja dengan mempertanyakan kemampuan saya mendidik siswa.

Soal sumpah serapah ini, saya mengadukannya pada suami. Dia bilang, mungkin saya harus hati-hati. Dia juga mengingatkan tentang peristiwa beberapa hari yang lalu. Mobil kami memang terparkir di halaman sekolah, dan ketika suami berangkat ke kantor di hari Selasa, bannya kempes. Ternyata kempes itu bukan bekas tertusuk paku, tapi karena sayatan pisau di banyak tempat, masuk hingga ke ban dalam.

Siapakah yang melakukan hal kriminal ini? Apakah seseorang di tempat parkir milik lembaga asing AusAid, apakah mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, ataukah siswa-siswa yang ada di sekolah tempat saya mengajar? Kami tak mau berprasangka apalagi menuduh, tapi suami mengingatkan saya agar berhati-hati.

Tapi mari kita beranjak ke belakang. Apa yang salah dari kejadian saya mencabut rokok siswa yang akhirnya berbuntut ke sana ke mari ini?


Yang salah adalah SAYA, tentu saja.

Kenapa? Karena saya menjatuhkan hukuman tanpa ada 'busa pengaman' di bawahnya.

Anak pada kasus di atas tak pernah saya ajar. Komunikasi kami yang pertama langsung menempatkan kami dalam konfrontasi. Kami tidak memiliki hubungan baik (=busa pengaman) yang membuat masalah yang ada tidak 'membal' dan malah 'pecah'. Dia tak mengerti saya cinta sekolah ini. saya juga tak mengerti bahwa dia melakukan itu karena.... ya entahlah, karena saya kan belum mengerti sekarang ini.

Sehabis peristiwa kecil tersebut, saya jadi sadar bahwa penting untuk memiliki hubungan baik dengan siswa dan guru. Penting untuk memiliki tabungan pengertian, kasih sayang dan penghormatan. Di situlah sesungguhnya terbangun sesuatu yang disebut 'wibawa'. Dengan demikian, begitu saya peran dan tanggung jawab menuntut saya bersikap tegas, hubungan kami akan membal, dan tidak pecah.

No comments:

Post a Comment