14 May 2010

MEREKA ANAK SIAPA?

"Apa kabar anak saya hari ini?"

Saya kira pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang penting untuk kita ajukan setiap hari pada diri sendiri. Bagaimana keadaan anak saya hari ini. Baik-baikkah, apa terlibat masalah, adakah yang perlu saya bantu atau dampingi, adakah yang perlu saya dengarkan, dsb.

Meskipun anak-anak kita sudah besar, makan bisa menyendok sendiri, belajar tak perlu ditemani, sakit sedikit tak perlu ditunggui, bukan berarti pertanyaan di atas tak perlu kita cari jawabannya lagi setiap hari.

Kenapa saya menulis begini?

Karena saya menemukan banyak kasus, di mana orang tua, bahkan ibu, tak lagi menganggap penting keadaan anak-anak mereka. Kecuali, ketika sudah terjerat masalah berat seperti narkoba, hamil di luar nikah, atau mencuri.

Surat pemanggilan dilayangkan pada orang tua. Ayo Pak, Bu, kita duduk bersama, menyelesaikan masalah kedidiplinan anak-anak kita. Karena sekeras apapun kami berusaha, semua kembali mentah bila kondisi rumah tidak mendukung.

Jangankan bahu-membahu menyelesaikan masalah, datang pun tidak.

Empat bulan menunggak bayaran, akhirnya si ibu datang juga setelah berkali-kali dipanggil lewat surat dan telefon. Ibu wali kelas yang menerima kebetulan melek mode, hingga tau sekali bahwa gaya busana si ibu, model kerudungnya, berikut aksesoris dan perhiasannya, adalah keluaran terbaru.

Kenapa tak dia selesaikan dulu SPP anak yang hanya 135.000 per bulannya?


Saya melihat sendiri seorang lelaki muda, menunjuk-nunjuk wajah wakasek -yang juga guru agama, dengan rokok di tangan, protes keras karena keponakannya dikeluarkan. Kenapa baru datang sekarang, Pak? Kemana aja anda dan keluarga lain selama ini?

Kami sudah jumpalitan mengurus anak ini, mencoba memperbaikinya, menggunakan berbagai macam cara yang mungkin terpikirkan, seraya membendung pengaruh yang dibawa bagi anak lain. Selama itu, apa pernah pihak keluarga menjawab surat dan telefon kami?


Setiap kali kegiatan kerohanian dimulai pada awal tahun, kami tak pernah berhenti terheran-heran. Pada tes penempatan halaqah untuk tilawah (1 guru : 8-10 siswa), selalu saja ada anak-anak baru kelas 1 SMA yang tidak bisa membaca satu huruf pun dalam al-Qur'an. Jangan tanya soal bacaan shalat, jika al-Fatihah pun tidak bisa dibaca dengan benar. Tidakkah soal shalat penting di keluarga mereka?

Dan siapakah yang akhirnya meluruskan lagi kekacauan ini?


Sebenarnya, anak-anak ini anak siapa? Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas pendidikan mereka? Kalaupun anda menitipkannya pada kami untuk pendidikan formal, itu artinya kita adalah dua pihak yang BERBAGI TANGGUNG JAWAB atas anak-anak ini. Bukan karena anda membayar, lalu seluruhnya dibebankan pada kami.

Hal yang sering dimaki oleh orang tua HS adalah bagaimana sekolah merusak anak-anak mereka. Tapi saya, ketika menempatkan diri sebagai pihak sekolah, sungguh juga melihat banyak kasus, bagaimana orang tua juga merusak anak-anak mereka.

Saya adalah orang tua HS. Tapi tidak, rekans. Sekolah tidak boleh dilenyapkan. Dalam beberapa kondisi, sekolah justru jadi penyelamat bagi banyak anak-anak.

No comments:

Post a Comment