Apa saya sudah cerita kalau di sekolah saya mengajar ada ekstrakurikuler Film? Ya, ada. Hihihi, gaya juga yah, macam sekolah orang kaya saja. Pembimbingnya mahasiswa, yang masih idealis hingga mau datang tanpa dibayar. Pesertanya 20% dari jumlah seluruh siswa dan sangat antusias (saya tahu karena hampir semua peserta menyinggung eskul ini ketika saya beri tugas mengarang berjudul ‘Sekolahku’). Setiap pekan mereka berkumpul di ruang sisa yang sempit, nun jauh di pojok lantai tiga sana.
Kemarin sore, saya mendapat sms dari pembina OSIS. Isinya, “Bu, alhmdlh kt jd film tbaik di cinema fever.” Wah, kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan. Ceritanya, salah satu film karya mereka diikutkan dalam festival film antar SMA se-Jakarta Selatan. Dan mereka menang! Ada 3 penghargaan diraih: pencahayaan terbaik, kameramen terbaik dan film terbaik. Selain piala dan piagam, kabarnya ada uang satu juta rupiah.
Saya bertemu mereka keesokan harinya di rumah Bu Aroh, sedang syuting untuk film selanjutnya. Wah, orang sekampung pada ngerubungin katanya, serasa lagi bikin sinetron jadinya. Wajah mereka terlihat sumringah, dan menurut pembimbing eskul, itu piala bergilir menginap di rumah-rumah kru. Oalah….
Bagi saya, penghargaan yang anak-anak itu dapat menandakan bahwa yang mereka lakukan ‘berharga.’ Bila sesuatu dianggap berharga, maka ia harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Bukan begitu bukaaaan?
Lalu, ada beda antara izzah dan kibr. Izzah adalah perasaan bangga dan menganggap diri memiliki arti dan nilai. Bagi remaja, ini hal yang sangat penting, yang bisa meneguhkan eksistensi yang biasanya sedang mereka cari. Mudah-mudahan, kemenangan yang mereka dapatkan bisa menghadirkan izzah di hati mereka.
Kibr, kesombongan, adalah satu hal yang berbeda. Apa sih sombong itu? Rasul bilang, sombong itu merendahkan orang lain dan menolak kebenaran (siapa yang bisa nolong kasih tahu periwayatnya? Plisss…). Nah, kemenangan yang didapat boleh menimbulkan izzah, tapi jangan menumbuhkan kibr. Kemenangan tidak boleh membuat anak-anak ini merendahkan orang lain, apalagi membuat mereka menolak kebenaran.
Terakhir, pada pembimbing eskul, saya wanti-wanti tentang standar moral dalam kegiatan siswa. Bersama dalam suatu kegiatan dengan frekuensi yang tinggi dan rentang waktu yang lama seperti pembuatan film bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Awas kalo sampai ada apa-apa! Jadi pertama, pembimbing eskulnya dulu yang harus bener, ya kan? Dia bilang, “Tenang, aja. Gue sekarang rajin sholat kok!” Apppaaaa? Sekarang? Lha, berarti dulu…..?
No comments:
Post a Comment