Ketika kami, saya dan keluarga, keluar dari Padasuka menuju Suci, dua nama jalan di Bandung, saya melihat spanduk dari sebuah lembaga amil zakat. Bunyinya begini: Cinta guru dengan zakat, atau semacam itulah.
Terus terang saya terkejut. Ada dua hal yang menyebabkannya. Yang pertama, ada sebuah profesi yang katanya begitu mulia, menjadi awal dari semua profesi yang ada, membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi, namun para penyandangnya justru menjadi mustahiq zakat. Yang kedua, sampai ketika membaca spanduk itu, saya baru dihadapkan pada pihak yang berani menyatakan bahwa guru termasuk mustahiq, yang artinya tak jauh dari lingkaran fakir miskin.
Sementara itu, kurikulum lewat sekolah, menghendaki guru membuat program tahunan, program semester, Distribusi tiap kompetensi dasar, rencana pembelajaran harian, portofolio, soal ujian, pengoreksian jawaban, nilai ulangan blok, nilai praktek, sampai absensi siswa. Selain itu kehadiran, ketepatan waktu, potongan-potongan gaji dan seterusnya ikut memenuhi kepala para guru.
Bagaimana dengan sertifikasi guru yang sekarang sedang ramai-ramainya? Bukankah sertifikasi dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru? Ah, mengajar 30 tahunpun, yah, 30 tahun, belum jaminan seorang guru bisa mendapatkan poin cukup untuk disertifikasi.
Kondisi ini menerbitkan pertanyaan di hati:
Ketika kondisi ekonomi sedemikian sulit, di mana harus diletakkan idealisme dan antusiasme mengajar seorang guru?
Bila memilih profesi guru berarti memilih hidup sederhana, bagaimana cara menjadi guru yang bahagia?
No comments:
Post a Comment