Saya memang tidak tahu banyak soal ilmu kependidikan. Itulah mengapa saya baru tahu tentang apa yang disebut konstruktivisme. Ternyata, susunan kata yang ribet itu membuat saya terpesona. Ini karena ia merupakan aliran dalam ilmu kependidikan yang menyatakan bahwa ilmu tak dapat dipindah seperti kita menuang air dalam gelas. Ilmu hanya bisa dipindahkan bila si pembelajar itu mengkonstruksi pengetahuan yang didapat dalam dirinya sendiri.
Bayangkan air yang dituang dalam gelas. Apa yang terjadi padanya? Hampir tak ada. Diam, pasif, walaupun cepat penuh. Sekarang, bayangkan jika air dituang ke benih pohon. Benih itu menyerapnya, mungkin lebih pelan dibanding mengisi air ke gelas. Air diubah menjadi berbagai zat, dibawa ke semua bagian, dan membuat pohon itu tumbuh, besar, mungkin juga berbunga, dan berbuah. Itulah tamsil bagi konstruktivisme.
Berapa lama, ya, saya menjadi anak sekolahan? Tentu bila dihitung, ratusan buku sudah saya pelajari selama belasan tahun. Kenapa saya merasa kalau sedikit sekali yang saya ingat? Jangan-jangan saya ini 'gelas' juga, yang terus diisi, tapi luber kemana-mana. Akhirnya, ya segitu-segitu juga isinya.
Jadi, bagaimana dong mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat? Secara teori, caranya bisa macam-macam. Misalnya, kita bisa langsung mengerjakannya, dengan tubuh dan indera kita (Somatis). Di mana-mana, yang namanya praktek dan terjun langsung selalu membuat kita lebih paham.
Bila bertemu kata sulit atau kalimat yang perlu diingat, ucapkanlah keras-keras. Ulangi dengan berirama, ucapkan seolah kita mengajar di depan kelas, atau minta orang lain mengucapkannya. Biarkan diri kita mendengarnya (Auditori).
Siklus air, rantai makanan, atau bahan resep kue akan lebih 'nyantol' bila kita menggambarnya. Kalau merasa sama sekali tak berbakat, paling tidak kita bisa membayangkannya dalam pikiran. Mencatatlah dengan menambah gambar yang berwarna-warni, karena otak lebih sensitif pada gambar dan warna (Visual).
Bila membaca, usahakan memegang catatan dan alat tulis. Mencatat kembali dengan bahasa sendiri mengharuskan kita mengonstruksi pengetahuan yang kita dapat (Intelektual). Membaca dengan mencatat ini yang disebut dengan 'mengikat makna,' karena apa yang kita baca akan meninggalkan sesuatu.
Keempat cara diatas dikenal dengan SAVI, somatis, auditori, visual, intelektual.
O ya, ngomong-ngomong tentang mengikat makna, sebenarnya itulah yang saya lakukan saat ini. Saya menuliskan kembali apa yang bisa saya tangkap dari sebuah buku yang sedang saya baca. Siapa tahu bermanfaat juga bagi anda, yang baca.
No comments:
Post a Comment