Saya pikir, 'bergengsi' atau tidaknya sebuah jurusan di perguruan tinggi (yang berimbas pada pemilihan jurusan di sekolah), juga dipengaruhi berapa banyak lulusannya yang dibutuhkan dunia kerja. Fakultas ekonomi, misalnya, biasanya merupakan fakultas yang jumlah mahasiswanya bengkak. Alasannya? Yah, lebih mudah mencari pekerjaan, atau dibayar lebih tinggi, cmiiw. Saya yang mengambil jurusan bahasa di SMA, dan melanjutkan ke fakultas sastra, sudah bosan dengar pertanyaan, yang malu-malu atau tanpa tedeng aling2, tentang, "Apa sih, gunanya belajar sastra? Bisa kerja di mana kalau sudah lulus? Berapa gaji yang di dapat nanti?" Ih, cape deeeeh...
Saya mengerti lah, kalau kursi di fakultas tertentu diperebutkan oleh lebih banyak orang. Yang saya kurang sreg sebenernya tentang passing grade (masih dipake gak tuh?). Seolah-olah, mahasiswa di fakultas tertentu lebih bodoh dari fakultas yang lain. Waktu kuliah, terus terang saya juga punya perasaan seperti itu. Setelah saya menikah dan bergaul intens (iyalah, serumah!) dengan seseorang yang sehari-hari berkutat dengan model matematika, kepercayaan diri saya justru meningkat. Sekarang saya tidak ragu kalau kecerdasan saya tidak di bawah atau kurang dibanding suami. Yang berbeda hanya di wilayah mana kecerdasan masing-masing lebih dominan.
Untuk Howard Gardner, makasih ya. Mengabaikan segala pro-kontra yang muncul, multiple intellegencies Pak Gardner membuat saya bisa lebih menghargai diri sendiri, juga menghargai orang lain sebagai pribadi yang unik dan memiliki kecerdasan masing-masing. Ah, ini yang harusnya menjadi spirit pendidikan di sekolah, yah. Penataran guru soal kecerdasan majemuk udah banyak, lho. Bener! Tapi internalisasinya belum. Kemana sih hilangnya semangat dan idealisme para guru? Halah, ini omongan bakal panjang lagi.
No comments:
Post a Comment