“Bu, tadi dicari sama Surati,” begitu sapa Ida, kepala tata usaha, begitu saya muncul di pintu ruang guru. Surati? Ada apa ya? pikir saya. Surati adalah siswi kelas sepuluh. Perawakannya kecil dan memakai jilbab. Saya tak menemukan masalah dengannya hingga saat ini di kelas. Dia termasuk anak rajin, seperti kebanyakan anak perempuan di sekolah ini.
Surati, ini nama asli, kembali mencari saya pada jam istirahat. Kami duduk berhadapan.
“Begini, Bu,” katanya pelan. “Sebenernya saya malu…” Surati mulai mengutarakan maksudnya.
Ternyata ia meminta tolong agar saya bisa membantu memasukkannya ke asrama yatim.
Sekolah tempat saya bekerja berada di bawah yayasan yang memiliki asrama bagi yatim tak mampu. Kebanyakan dari mereka berasal dari Parung Panjang dan beberapa desa di Kabupaten Bogor lain. Mereka di bawa ke Tangerang untuk sekolah di siang hari dan belajar agama malamnya tanpa membayar.
“Saya selama ini tinggal di rumah saudara sambil bantu-bantu. Bapak saya petani di Jawa. Terus ada sedikit masalah, jadi saya gak bisa tinggal di sana lagi. Jadi, saya minta tolong agar bisa masuk asrama,” ujar Surati.
Saya memang pernah ikut berkecimpung sebagai pengurus asrama beberapa tahun lampau. Setelah melahirkan anak kedua, saya merasa kekurangan waktu untuk ikut mengontrol anak-anak itu dengan baik. Dengan alasan ingin berkonsentrasi di keluarga dan sekolah, saya melepaskan tanggung jawab di asrama yatim. Namun demikian, hubungan dengan pengurus masih erat.
“Tapi ini asrama yatim, Surati. Sedang kamu bukan yatim. Saya harus konsultasikan dulu apa kamu bisa masuk dalam kriteria untuk masuk asrama atau tidak. Agak ketat memang, karena biaya hidup dan pendidikan nantinya ditanggung yayasan semua,” jawab saya.
“Saya mau bayar kok, Bu. Untuk sekolah saya memang selalu bayar sendiri. Kalau untuk biaya makan di asrama, nanti saya cari. Pulang sekolah saya bisa jadi kuli cuci setrika di sekitar sini. Tapi untuk awal-awal memang belum bisa bayar. Kalau saya sudah kerja lagi, baru saya cicil.”
Duh, apa nggak meleleh hati ini mendengar anak kelas sepuluh (I SMA) bisa bilang begitu? Tapi keputusan bukan ditangan saya. Saya berjanji akan mencoba mengurus permintaannya.
Informasi lebih lengkap saya dapat dari salah satu guru. “Surati memang kerja di rumah saudaranya, Bu,” kata guru itu. “Lulus SMP, orangtuanya gak kuat membiayai sekolah. Jadi dia ke ke sini, bantu-bantu di rumah saudara. Istilahnya sih, ya jadi pembantulah. Masak, nyuci setrika, beres-beres, dan momong anak.”
Saya mengangguk-angguk mengerti. Ternyata masalah muncul ketika Surati ingin sekolah. Dia sekolah pagi, dan baru sampai rumah lewat dari jam satu. Dia buru-buru masak, lalu mencuci, dan beres-beres. Karena itu dia tidak pernah bisa ikut kegiatan ekstra.
Saudaranya jadi kesal karena pekerjaan rumah tidak tertangani sebaik dulu. Surati tak diajak bicara lagi. Kelihatannya surati memang harus memilih, dan dia lebih memilih sekolah. Karena itu dia meminta saya memasukkannya ke asrama, agar setidaknya dia tetap punya tempat untuk tinggal. Uang makan dan lain-lain akan dicarinya nanti.
Berapa gaji seorang kuli cuci setrika? Saya kira tak lebih dari Rp200.000. SPP sekolah saja sudah menghabiskan lebih dari setengahnya. Bari mana dia bisa membayar uang makan? Belum lagi buku-buku dan keperluan sekolah. Dan, dia juga perlu alat kebersihan, deodoran, pembalut, sedikit bedak, juga pakaian baru sesekali.
Ah, saya teringat diri sendiri saat duduk di bangku SMA kelas satu, sama dengan Surati sekarang. Entah apa yang ada dalam pikiran saya saat itu, tapi yang jelas bukan soal semangat belajar dan usaha bertahan hidup. Ringan saja, seperti kapas, melayang ke sana ke mari tak tahu tujuan.
Apakah saya yang lebih beruntung karena melewati masa SMA tanpa halangan berarti, makan cukup, biaya ada, ataukah lebih beruntung Surati, yang telah kaya pengalaman sejak umur amat belia dan punya tekad kuat untuk berjuang?
Dua hari kemudian, saya terima kabarnya. Dengan rekomendasi sekolah, pengurus menyatakan bahwa Surati bisa masuk asrama. Biaya tinggal, biaya makan, dan biaya pendidikan agama digratiskan. Surati cukup bayar SPP sekolah saja.
Alhamdulillah. Mudah-mudahan ini semua cukup membantu. Berjuang terus ya, Surati. Saya gurumu, tapi justru belajar banyak darimu.
Jangan menyerah, Surati. Jangan menyerah….
No comments:
Post a Comment