23 February 2009

BIMBEL

Dulu, saya pernah cukup lama menjadi guru bimbingan belajar (bimbel). Sejak mahasiswa hingga akhirnya berhenti dengan alasan kehamilan. Dipikir-pikir, alasan itu sebenarnya bukan alasan yang kuat juga. Yang lebih tepat sepertinya sih, saya tidak merasa cocok mengajar dalam sistem bimbel.

Target yang dicapai bimbel adalah menyelesaikan ujian, yang berarti bahwa guru bimbel tidak perlu repot mencari cara untuk menyampaikan materi yang asyik dan fun, tidak perlu memvariasikan pengalaman belajar, dan juga tidak perlu memikirkan apakah kira-kira anak akan cinta belajar. Yang perlu adalah latihan mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.

Jadi, saya tidak puas. Ingin jadi guru sekolah saja.

Pekan lalu di rumah mertua, saya menemukan sebuah brosur dari bimbingan belajar terkenal. Keren juga brosurnya. Di sana dibahas dulu tentang gaya belajar anak (visual-auditorial-kinestetik), lalu cara kerja otak, dan beberapa teknik terkini tentang baca, catat, dan ingat. Barulah masuk ke bagian iklannya.

Tes modalitas akan diberikan di awal masuk. Perbandingan guru-siswa paling besar adalah 1:20. Menggunakan teknik belajar terbaru. Mengadakan ujicoba untuk ujian sekolah/ujian nasional. Konsultasi PR setiap hari. Konsultasi orang tua, baik langsung maupun dengan buku penghubung. Bahkan lembaga itu mengeluarkan buku pelajaran.

Aneh. Kenapa dia tidak sekalian saja bikin sekolah.

Membaca brosur itu, saya melihat dua hal. Pertama, anak dianggap belum cukup belajar bahkan ketika dia sudah sekolah full day. Bimbel yang dianggap melengkapinya.

Kedua, marketing bimbel memposisikan diri sebagai pemberi solusi atas masalah belajar. Nah, jadi siapakah pihak yang memberi masalahnya? Ya tentu saja: sekolah.

Ujian di sekolah susah, bimbel kasih solusi pengerjaan soal. Metode guru sekolah jelek, bimbel memberi teknik belajar terbaru. PR dari sekolah bejibun, bimbel membantu mengerjakan. Siswa sulit menangkap pelajaran, bimbel memberi kelas dengan siswa lebih sedikit, dan menunjukkan gaya belajar yang dimiliki tiap anak.

Bukankah ini bukti, bahwa para orang tua sebenarnya sudah tak percaya pada lembaga sekolah. Yang mereka percaya adalah legalitas ijasahnya, dan bukan pendidikannya. Soal menjadikan anak 'bisa' adalah tugas pihak lain.

Si Sulung baru sekolah TK, tapi perbedaan metode antara saya dan gurunya di sekolah sudah membuat kami sering berselisih paham. Bagaimana kalau guru bimbel masuk pula dalam masalah ini. Tambah runyam kayaknya.

No comments:

Post a Comment