Tepok
jidat karena status2 alay di wall/TL? Seriiiiiing, hahaha.... Secara
saya ini guru, dan berteman dengan siswa di socmed. Tapi sebenarnya,
saya tidak keberatan. Saya tidak keberatan siswa-siswa saya bikin status gaje
dan lebay, saya tidak keberatan mereka (masih) jadi anak alay.
Sejujurnya, sulit sekali melihat perkembangan pemikiran/perasaan siswa di kelas. Saya masuk kelas, menerangkan, mereka diam
mendengarkan, melakukan tugas yang saya minta, dan bel berbunyi. Tak
cukup waktu untuk memahami apa yang digelisahkan siswa. Di sosmed, saya
bisa memahami siswa lebih baik, melihat bagaimana mereka memandang
berbagai peristiwa dan berhubungan dengan orang lain.
Karena
saya melihat hal-hal tersebut di socmed, maka saya bisa melihat perubahan
status/tweet mereka dari waktu ke waktu, sejak masih siswa hingga jadi
alumni. Dari sana, saya menemukan bahwa pemikiran mereka bergerak,
anak-anak ini tumbuh dewasa.
Maka saya tidak keberatan ketika
wall saya berisi status anak 15 tahun yang sudah merasa dewasa dan tahu
segalanya, karena berdasarkan pengalaman, pandangan mereka akan bergeser
jadi lebih bijak dalam 2-3 tahun ke depan.
Saya juga tidak
merasa diburu waktu, mencekoki dengan berbagai macam hal di usia belia,
karena kedewasaan didapat dari proses dan pengalaman, bukan dari mata
pelajaran di sekolah.
Saya juga tidak merasa wajib jadi polisi
status/tweet siswa, memata-matai dan mengatur apa yang harus dan jangan
mereka ekspresikan. Karena bahkan menyampaikan kebenaran pun, mesti
memilih metode yang tepat.
Dan demi melihat pergeseran sikap
siswa-siswa, saya tidak keberatan jika kelas kami tidak menuntaskan seluruh
SKL. Saya tidak keberatan menghabiskan seluruh jam pelajaran untuk
sekedar ngobrol.
No comments:
Post a Comment