12 February 2014

UN, K13, BENCHMARKING: MAUNYA?

Tentang UN

Untuk UN, saya menandatangani petisi reposisi (bukan penghapusan yah) UN. Jadi sikap saya jelas tentang itu. Untuk standar kelulusan gimana? Kembali saja ke UU Sisdiknas, evaluasi oleh satuan pendidikan alias guru sendiri. Opsi lain juga boleh, selama tidak menjadikan UN sebagai high stake test, alias penentu 'hidup mati' siswa.
 
Kita bayar pajak ke pemerintah, sebagai gantinya, pemerintah mengurus pendidikan rakyat. Ga adil kalau kegagalan pemerintah memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan (berupa fasilitas, kualitas guru, kurikulum, infrastruktur dsb) harus ditanggung siswa dengan menakut-nakuti dan menekan mereka lewat UN. 


Tentang Kurikulum 2013

Untuk K13, saya belum ambil sikap, karena masih punya harapan ini bisa jadi baik. Yang saya lakukan sekarang adalah berusaha memahami dokumennya secara kritis dan memikirkan kesiapan dan langkah penerapannya di sekolah kami tahun depan. Jadi ga menolak yah. Tapi saya juga mengikuti update orang-orang yg concern terhadap K13 di luar lingkaran kekuasaan, dan melihat bahwa usulan yang diajukan tidak ditanggapi. So, saya masih tuggu dan lihat gimana perkembangan K13 ini.

Benchmarking
 
Oh, tentang sistem pendidikan negara lain. Kata saya sih ga masalah melakukan benchmarking, biar kita melek dan keputusan-keputusan kita bagus. Yang penting itu ga membabi buta. Misalnya Cina dan Korea yg siswa-siswanya dapat peringkat atas di PISA (sementara kita nomor 2 dari bawah), apa kita adopsi aja gaya mereka yang belajar sampe jam 11 malam di sekolah? Ya ga bisa juga (dan Cina juga Korea juga tengah mereformasi sistem pendidikan mereka juga meski dapet peringkat tinggi, karena melihat ketidakseimbangan). Di sisi lain, Finlandia ga pake UN, jam belajar pendek, kenapa dapat peringkat tinggi di PISA juga? Ini kan jadi masukan, gimana yg ideal di Indonesia. 

Maunya?

Kalau saya pribadi ditanya, maunya sih biaya UN yg milyaran dipake buat melatih guru, menyediakan akses (buku, internet, alat, ruang) yang merata di seluruh Indonesia (bukan cuma RSBI doang), dan membuat kurikulum yg lebih terbuka dan kontekstual.

Ini harapan sederhana seorang guru swasta, yang tidak tau cara mengurus negara sebesar ini, tidak paham tarik menarik kekuasaan, dan tidak mengerti tentang korupsi dan lain sebagainya itu.

No comments:

Post a Comment