Yang alumni FSUI (<< kaaan, kliatan
bener jadulnya :D) mungkin ingat buku ini (selain buku Komposisi-nya
Gorys Keraf ^_^). Ini buku alm. Ismail Marahimin, pengampu mata kuliah
Penulisan Populer yang kelasnya dulu memang populer sampai diambil
oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas lain. Kuliah hanya setengah jam,
penugasan tiap pekan.
Saya sungguh menghargai semua corat-coret dan
komentar di atas tugas kuliah yang saya buat, karena artinya dosen ini
benar-benar membaca semua tugas yang dikerjakan mahasiswanya. Dan
temans, apa masih ingat pada 3 titik di atas dekat judul tulisan yang
membuat kita tersenyum?
Saya berutang banyak sekali pada alm.
Ismail Marahimin, meski tak kenal secara pribadi pada beliau. Saya
menggunakan buku dan metode beliau di kelas, mengutipnya dalam sebuah
tulisan untuk La Tahzan for Teachers, dan menggunakannya ketika memberi
pelatihan menulis (sssttt.... tapi jangan bilang2 ya, yang ngundang ga
tau kalo saya bukan penulis profesional). Dan baru saja saya menjawab
surel dari seorang guru di pulau seberang yang menanyakan tentang metode
Pak Ismail.
Merinding membayangkan bahwa Ilmu yang dipunyai
seseorang bisa menyebar sedemikian luas, digunakan oleh banyak muridnya
di berbagai bidang pekerjaan, dan diajarkan lagi oleh guru-guru lain
pada murid-murid mereka sekarang.
Pahala yang mengalir. Semoga Allah memberkahi alm. Ismail Marahimin.
12 February 2014
ALAY? GA MASALAH....
Tepok
jidat karena status2 alay di wall/TL? Seriiiiiing, hahaha.... Secara
saya ini guru, dan berteman dengan siswa di socmed. Tapi sebenarnya,
saya tidak keberatan. Saya tidak keberatan siswa-siswa saya bikin status gaje
dan lebay, saya tidak keberatan mereka (masih) jadi anak alay.
Sejujurnya, sulit sekali melihat perkembangan pemikiran/perasaan siswa di kelas. Saya masuk kelas, menerangkan, mereka diam mendengarkan, melakukan tugas yang saya minta, dan bel berbunyi. Tak cukup waktu untuk memahami apa yang digelisahkan siswa. Di sosmed, saya bisa memahami siswa lebih baik, melihat bagaimana mereka memandang berbagai peristiwa dan berhubungan dengan orang lain.
Karena saya melihat hal-hal tersebut di socmed, maka saya bisa melihat perubahan status/tweet mereka dari waktu ke waktu, sejak masih siswa hingga jadi alumni. Dari sana, saya menemukan bahwa pemikiran mereka bergerak, anak-anak ini tumbuh dewasa.
Maka saya tidak keberatan ketika wall saya berisi status anak 15 tahun yang sudah merasa dewasa dan tahu segalanya, karena berdasarkan pengalaman, pandangan mereka akan bergeser jadi lebih bijak dalam 2-3 tahun ke depan.
Saya juga tidak merasa diburu waktu, mencekoki dengan berbagai macam hal di usia belia, karena kedewasaan didapat dari proses dan pengalaman, bukan dari mata pelajaran di sekolah.
Saya juga tidak merasa wajib jadi polisi status/tweet siswa, memata-matai dan mengatur apa yang harus dan jangan mereka ekspresikan. Karena bahkan menyampaikan kebenaran pun, mesti memilih metode yang tepat.
Dan demi melihat pergeseran sikap siswa-siswa, saya tidak keberatan jika kelas kami tidak menuntaskan seluruh SKL. Saya tidak keberatan menghabiskan seluruh jam pelajaran untuk sekedar ngobrol.
Sejujurnya, sulit sekali melihat perkembangan pemikiran/perasaan siswa di kelas. Saya masuk kelas, menerangkan, mereka diam mendengarkan, melakukan tugas yang saya minta, dan bel berbunyi. Tak cukup waktu untuk memahami apa yang digelisahkan siswa. Di sosmed, saya bisa memahami siswa lebih baik, melihat bagaimana mereka memandang berbagai peristiwa dan berhubungan dengan orang lain.
Karena saya melihat hal-hal tersebut di socmed, maka saya bisa melihat perubahan status/tweet mereka dari waktu ke waktu, sejak masih siswa hingga jadi alumni. Dari sana, saya menemukan bahwa pemikiran mereka bergerak, anak-anak ini tumbuh dewasa.
Maka saya tidak keberatan ketika wall saya berisi status anak 15 tahun yang sudah merasa dewasa dan tahu segalanya, karena berdasarkan pengalaman, pandangan mereka akan bergeser jadi lebih bijak dalam 2-3 tahun ke depan.
Saya juga tidak merasa diburu waktu, mencekoki dengan berbagai macam hal di usia belia, karena kedewasaan didapat dari proses dan pengalaman, bukan dari mata pelajaran di sekolah.
Saya juga tidak merasa wajib jadi polisi status/tweet siswa, memata-matai dan mengatur apa yang harus dan jangan mereka ekspresikan. Karena bahkan menyampaikan kebenaran pun, mesti memilih metode yang tepat.
Dan demi melihat pergeseran sikap siswa-siswa, saya tidak keberatan jika kelas kami tidak menuntaskan seluruh SKL. Saya tidak keberatan menghabiskan seluruh jam pelajaran untuk sekedar ngobrol.
BUKAN EMBER KOSONG
Seperti
semua guru yang lain, saya berharapa anak-anak didik saya bisa punya
pendapat sendiri, berdasarkan pada prinsip yang mereka percaya. Dengan
demikian, mereka tidak akan ikut-ikutan jika ditawari hal-hal buruk. Di sisi
lain, saya masih suka 'terbakar' jika ada siswa menantang pendapat saya,
meski dengan cara yang amat sopan. Jadi masih jauh tingkatannya untuk
sampai ke menantang siswa untuk "Jangan terburu-buru percaya saya."
Tentu tidak berapa berat membantah pemikiran anak kemarin sore yang menantang pendapat gurunya. Dengan jam terbang yang tidak terlalu banyak, tentu kelemahan pendapat mereka segera terlihat. Lagipula, jika mentok, bisa kita potong saja: "Saya gurumu, jadi kamu patuh saja. Mengerti?"
Tapi guru adalah penyampai, bukan sumber kebenaran. Anak-anak pun bukan ember kosong, tapi benih yang tumbuh. Yang bisa kita lakukan adalah menyediakan tanah, udara dan pupuk yang baik. Benih itu akan tumbuh dengan cirinya sendiri. Yang bisa guru lakukan adalah menunjukan pilihan-pilihan dan konsekuensinya, berusaha membiasakannya dalam lingkungan yang baik. Siswa akan memilih sendiri pendapat yang ia akan pegang erat.
Tentu tidak berapa berat membantah pemikiran anak kemarin sore yang menantang pendapat gurunya. Dengan jam terbang yang tidak terlalu banyak, tentu kelemahan pendapat mereka segera terlihat. Lagipula, jika mentok, bisa kita potong saja: "Saya gurumu, jadi kamu patuh saja. Mengerti?"
Tapi guru adalah penyampai, bukan sumber kebenaran. Anak-anak pun bukan ember kosong, tapi benih yang tumbuh. Yang bisa kita lakukan adalah menyediakan tanah, udara dan pupuk yang baik. Benih itu akan tumbuh dengan cirinya sendiri. Yang bisa guru lakukan adalah menunjukan pilihan-pilihan dan konsekuensinya, berusaha membiasakannya dalam lingkungan yang baik. Siswa akan memilih sendiri pendapat yang ia akan pegang erat.
UN, K13, BENCHMARKING: MAUNYA?
Tentang UN
Untuk UN, saya menandatangani petisi reposisi (bukan penghapusan yah) UN. Jadi sikap saya jelas tentang itu. Untuk standar kelulusan gimana? Kembali saja ke UU Sisdiknas, evaluasi oleh satuan pendidikan alias guru sendiri. Opsi lain juga boleh, selama tidak menjadikan UN sebagai high stake test, alias penentu 'hidup mati' siswa.
Kita bayar pajak ke pemerintah, sebagai gantinya, pemerintah mengurus pendidikan rakyat. Ga adil kalau kegagalan pemerintah memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan (berupa fasilitas, kualitas guru, kurikulum, infrastruktur dsb) harus ditanggung siswa dengan menakut-nakuti dan menekan mereka lewat UN.
Tentang Kurikulum 2013
Untuk K13, saya belum ambil sikap, karena masih punya harapan ini bisa jadi baik. Yang saya lakukan sekarang adalah berusaha memahami dokumennya secara kritis dan memikirkan kesiapan dan langkah penerapannya di sekolah kami tahun depan. Jadi ga menolak yah. Tapi saya juga mengikuti update orang-orang yg concern terhadap K13 di luar lingkaran kekuasaan, dan melihat bahwa usulan yang diajukan tidak ditanggapi. So, saya masih tuggu dan lihat gimana perkembangan K13 ini.
Benchmarking
Oh, tentang sistem pendidikan negara lain. Kata saya sih ga masalah melakukan benchmarking, biar kita melek dan keputusan-keputusan kita bagus. Yang penting itu ga membabi buta. Misalnya Cina dan Korea yg siswa-siswanya dapat peringkat atas di PISA (sementara kita nomor 2 dari bawah), apa kita adopsi aja gaya mereka yang belajar sampe jam 11 malam di sekolah? Ya ga bisa juga (dan Cina juga Korea juga tengah mereformasi sistem pendidikan mereka juga meski dapet peringkat tinggi, karena melihat ketidakseimbangan). Di sisi lain, Finlandia ga pake UN, jam belajar pendek, kenapa dapat peringkat tinggi di PISA juga? Ini kan jadi masukan, gimana yg ideal di Indonesia.
Maunya?
Kalau saya pribadi ditanya, maunya sih biaya UN yg milyaran dipake buat melatih guru, menyediakan akses (buku, internet, alat, ruang) yang merata di seluruh Indonesia (bukan cuma RSBI doang), dan membuat kurikulum yg lebih terbuka dan kontekstual.
Ini harapan sederhana seorang guru swasta, yang tidak tau cara mengurus negara sebesar ini, tidak paham tarik menarik kekuasaan, dan tidak mengerti tentang korupsi dan lain sebagainya itu.
Untuk UN, saya menandatangani petisi reposisi (bukan penghapusan yah) UN. Jadi sikap saya jelas tentang itu. Untuk standar kelulusan gimana? Kembali saja ke UU Sisdiknas, evaluasi oleh satuan pendidikan alias guru sendiri. Opsi lain juga boleh, selama tidak menjadikan UN sebagai high stake test, alias penentu 'hidup mati' siswa.
Kita bayar pajak ke pemerintah, sebagai gantinya, pemerintah mengurus pendidikan rakyat. Ga adil kalau kegagalan pemerintah memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan (berupa fasilitas, kualitas guru, kurikulum, infrastruktur dsb) harus ditanggung siswa dengan menakut-nakuti dan menekan mereka lewat UN.
Tentang Kurikulum 2013
Untuk K13, saya belum ambil sikap, karena masih punya harapan ini bisa jadi baik. Yang saya lakukan sekarang adalah berusaha memahami dokumennya secara kritis dan memikirkan kesiapan dan langkah penerapannya di sekolah kami tahun depan. Jadi ga menolak yah. Tapi saya juga mengikuti update orang-orang yg concern terhadap K13 di luar lingkaran kekuasaan, dan melihat bahwa usulan yang diajukan tidak ditanggapi. So, saya masih tuggu dan lihat gimana perkembangan K13 ini.
Benchmarking
Oh, tentang sistem pendidikan negara lain. Kata saya sih ga masalah melakukan benchmarking, biar kita melek dan keputusan-keputusan kita bagus. Yang penting itu ga membabi buta. Misalnya Cina dan Korea yg siswa-siswanya dapat peringkat atas di PISA (sementara kita nomor 2 dari bawah), apa kita adopsi aja gaya mereka yang belajar sampe jam 11 malam di sekolah? Ya ga bisa juga (dan Cina juga Korea juga tengah mereformasi sistem pendidikan mereka juga meski dapet peringkat tinggi, karena melihat ketidakseimbangan). Di sisi lain, Finlandia ga pake UN, jam belajar pendek, kenapa dapat peringkat tinggi di PISA juga? Ini kan jadi masukan, gimana yg ideal di Indonesia.
Maunya?
Kalau saya pribadi ditanya, maunya sih biaya UN yg milyaran dipake buat melatih guru, menyediakan akses (buku, internet, alat, ruang) yang merata di seluruh Indonesia (bukan cuma RSBI doang), dan membuat kurikulum yg lebih terbuka dan kontekstual.
Ini harapan sederhana seorang guru swasta, yang tidak tau cara mengurus negara sebesar ini, tidak paham tarik menarik kekuasaan, dan tidak mengerti tentang korupsi dan lain sebagainya itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)