28 February 2009
JAWABAN AKAN DATANG, TAPI TIDAK SEKARANG
Mungkin ada yang bilang, dasar tak tahu bersyukur. Bagi banyak orang, yang saya jalani tampak amat baik. Tapi kenyataannya begitulah. Saya merasa terus punya banyak pertanyaan.
AlhamduliLlah, di akhir masa kuliah, saya mulai menemukan diri sendiri. Saya mulai bisa meraba bidang where I'm good at. Sampai akhirnya, setelah saya berusia 24 tahun, memiliki satu anak, dan tinggal di negeri orang, titik terangnya muncul. Saat itulah saya baru bisa berkata bahwa inilah titik, di mana semua kemungkinan terbaik yang mungkin ada, tersimpul di satu jalan bernama 'hidup saya'.
Memandang anak-anak di kelas, saya berpikir adakah dari mereka yang merasa sama. Mereka ada di usia SMA, dan pembanding bagi hidup mereka amat banyak. Dari lingkungan yang serba hedonis, juga lewat televisi. Apakah kenapa-kenapa-kenapa juga menghinggapi kepala mereka?
Hm, barangkali ada gunanya jika saya bilang pada mereka, bahwa usia tujuh-delapan belas tahun menjalani hidup belumlah terlalu panjang sebenarnya. Mungkin mereka belum dapat jawaban atas segala sesuatu sekarang ini, tapi nanti akan, insya Allah. Mereka akan ditunjukkan dan paham, bahwa skenario Allah itu luar biasa, dengan segala sebab akibat yang berkelindan menakjubkan.
Saat ini, mereka cukuplah berluas hati atas segala hal-hal yang tak bisa dirubah lagi. Jangan putus asa, jangan marah, jangan menjauh. Jawaban akan datang, tapi mungkin tidak sekarang.
23 February 2009
BIMBEL
Target yang dicapai bimbel adalah menyelesaikan ujian, yang berarti bahwa guru bimbel tidak perlu repot mencari cara untuk menyampaikan materi yang asyik dan fun, tidak perlu memvariasikan pengalaman belajar, dan juga tidak perlu memikirkan apakah kira-kira anak akan cinta belajar. Yang perlu adalah latihan mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.
Jadi, saya tidak puas. Ingin jadi guru sekolah saja.
Pekan lalu di rumah mertua, saya menemukan sebuah brosur dari bimbingan belajar terkenal. Keren juga brosurnya. Di sana dibahas dulu tentang gaya belajar anak (visual-auditorial-kinestetik), lalu cara kerja otak, dan beberapa teknik terkini tentang baca, catat, dan ingat. Barulah masuk ke bagian iklannya.
Tes modalitas akan diberikan di awal masuk. Perbandingan guru-siswa paling besar adalah 1:20. Menggunakan teknik belajar terbaru. Mengadakan ujicoba untuk ujian sekolah/ujian nasional. Konsultasi PR setiap hari. Konsultasi orang tua, baik langsung maupun dengan buku penghubung. Bahkan lembaga itu mengeluarkan buku pelajaran.
Aneh. Kenapa dia tidak sekalian saja bikin sekolah.
Membaca brosur itu, saya melihat dua hal. Pertama, anak dianggap belum cukup belajar bahkan ketika dia sudah sekolah full day. Bimbel yang dianggap melengkapinya.
Kedua, marketing bimbel memposisikan diri sebagai pemberi solusi atas masalah belajar. Nah, jadi siapakah pihak yang memberi masalahnya? Ya tentu saja: sekolah.
Ujian di sekolah susah, bimbel kasih solusi pengerjaan soal. Metode guru sekolah jelek, bimbel memberi teknik belajar terbaru. PR dari sekolah bejibun, bimbel membantu mengerjakan. Siswa sulit menangkap pelajaran, bimbel memberi kelas dengan siswa lebih sedikit, dan menunjukkan gaya belajar yang dimiliki tiap anak.
Bukankah ini bukti, bahwa para orang tua sebenarnya sudah tak percaya pada lembaga sekolah. Yang mereka percaya adalah legalitas ijasahnya, dan bukan pendidikannya. Soal menjadikan anak 'bisa' adalah tugas pihak lain.
Si Sulung baru sekolah TK, tapi perbedaan metode antara saya dan gurunya di sekolah sudah membuat kami sering berselisih paham. Bagaimana kalau guru bimbel masuk pula dalam masalah ini. Tambah runyam kayaknya.
ANAK GURU
Tapi, saya juga berpendapat sama sih, kalau anak guru seharusnya anak yang baik. Lha orang tuanya kan guru, jadi tahu tentang pendidikan, paham psikologi (secara psikologi jadi mata kuliah wajib calon guru), dan yang lebih penting, berpengalaman bertahun-tahun menghadapi anak-anak.
Kenyataannya, banyak juga anak guru yang berkelakuan buruk. Sebaliknya, banyak juga guru yang tidak memberikan treatment yang benar pada perilaku anak. Kenapa, ya?
Barangkali, ini kesimpulan serampangan a la nengirma saja, barangkali masalahnya pada soal waktu. Sekolahan sekarang banyak yang fullday. Kalaupun tidak, gurunya yang kepingin ngajar full. Sekian puluh jam di sekolah induk, masih terbang-terbangan lagi di sekolah lain. Jadi pulang-pulang sama saja dengan pegawai kantor, malah lebih panjang jamnya, jam 7.00 (kalau Jakarta 06.30) sampai 17.30. Orang kantoran aja masih nine to five.
Tambahan lagi, biasanya sekolah gak mau rugi. Kalau bisa diefisienkan, kenapa harus nambah guru lagi. Jadi satu guru diusahakan ngajar buanyak, semaksimal mungkin. Biar gak usah tambah personalia, kan gak usah nambah gaji dsb. Jadi kadang walaupun gurunya mau ngajar sedikit aja, tetep gak bisa. Gak boleh sama sekolah. Ngajar banyak or gak usah aja.
Jadi, anak guru dan bukan mungkin gak ada bedanya. Waktu untuk anak tetep sama-sama gak tersedia cukup banyak. Tapi lebih miris anak guru sih, yah. Orang tuanya itu keluar bukan untuk sekedar cari duit, tapi untuk mendidik anak orang lain. Anak sendiri? Kasih pendidikannya ke orang lain. Guru di sekolahnya, atau pembantu di rumah. Aneh gak sih?
Eh, saya juga guru loooh... Guru di sekolah kecil saja, dan kecilnya sekolah membuat saya bahagia. Maksimal saya mengajar cuma 3 hari, itupun hanya pagi hari. Saya masih sempet ngurus anak. Masih sempet juga mikirin gimana caranya biar gak jadi guru bookish. Masih sempet nulis-nulis di multiply pula. Masih sempet jalan-jalan di hari kerja. Pekerjaan yang berkualitas, menurut saya.
Kemarin pas lagi rame-rame pendaftaran CPNS guru dari Depdiknas dan Depag, saya malah sama sekali gak tertarik. Kalau ternyata lulus (geer benerrrr...), PNS wajib mengajar sekian puluh jam. Juga akan ditempatkan di sekolah lain, biasanya jauh dari domisili.
Dari pada kebebasan terkurangi, saya gak ikutan ajalah. Biar jadi guru swasta aja, yang tanpa gaji pokok, tanpa tunjangan hari tua, dan kalau ada urusan apa-apa selalu dibelakangin setelah guru negeri.
Yang penting bahagiaaaaaa.... Ya, kan? Ya, kan?
18 February 2009
Kung Fu Panda Mengajari Saya (1)
Memperhatikan beberapa guru, termasuk saya sendiri, nampaknya mempercayai siswa memang tidak mudah. Dengan gampangnya beberapa guru berkomentar tentang anak didiknya dengan kalimat seperti, "Emang udah bodo dari sononya sih, jadi mau diapain juga, yah segitu hasilnya."
Sering kali, yang dikeluhkan adalah betapa rendah tingkat kecerdasan kebanyakan siswa, lalu betapa bandelnya mereka, juga betapa miskinnya. Semua yang negatif adalah label yang berhak disandang anak-anak ini. Tak ada kepercayaan, tak ada penghormatan. Apa siswa bukan manusia?
Saya kira, dengan banyaknya sosialisasi sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sejak tahun 2004, guru harusnya sudah tahu bahwa anak belajar dalam kecepatan yang berbeda, dan dengan gaya yang tak sama. Maka guru harus percaya: tak ada anak bodoh.
Bila ada anak yang terlalu banyak bicara, dia bukan tak sopan, tapi menonjol dalam kecerdasan verbal. Anak yang lari-larian tak bisa diam bukan bandel, tapi punya bakat kinestetik. Bahkan anak yang suka bengong tak boleh dihakimi sebagai siswa lambat, karena biasanya memiliki kecenderungan interpersonal yang baik. Gurunya yang tidak tahu (tidak mau?) melihat kecenderungan-kecenderungan ini, lalu ambil jalan gampang dengan bilang, "Bodoh dari asalnya!"
Dan rasanya memang banyak juga guru yang tertawa mendengar teori kecerdasan majemuk. "Saya tuh sudah mengajar dari sejak 100 tahun sebelum masehi. Saya bahkan bisa membedakan mana siswa pintar mana siswa bodoh cukup dari daftar absen tanpa perlu memeriksa hasil ujiannya. Kok bisa-bisanya anda (berapa tahun anda mengajar? Tiga? Ooh, baru tiga...) mengoreksi metode mengajar saya!"
Sombong, tapi malas...
Ujian tengah semester baru saja terlewati bagi sebagian besar sekolah di Indonesia. Artinya, sudah seperempat tahun ajaran di lewati. Tapi kita masih berada di awal. Belum terlambat untuk memulainya: memulai untuk percaya. Bahwa anak-anak ini membawa keistimewaannya sendiri, bakatnya sendiri.
Seperti Po yang gendut ternyata berhasil menjadi Dragon Warrior, dimulai dari kepercayaan Master Shifu bahwa Po istimewa, dengan caranya sendiri.
13 February 2009
GAGAL vs RASA PERCAYA
Di kelas sepuluh kemarin, contohnya. Dua anak izin ke kamar mandi. Saya membiarkan mereka, lagi pula saya sedang sibuk mengambil nilai berbicara. Tapi saya memang pelupa, jadi setelah mengambil nilai, saya teruskan materi hari itu dan tidak memeriksa apa dua anak tadi sudah kembali.
Pintu kelas diketuk ketika saya menulis di papan. Wajah Bu Ida muncul. Dia adalah guru piket hari itu. "Bu, dua anak ini makan di kantin saat jam pelajaran," ujar Bu Ida. Di belakangnya ada dua anak kelas sepuluh, yang tadi izin ke kamar mandi.
Kawan, saya terluka. Kalau orang terluka itu, ada rasa sakit akibat luka, juga marah kenapa ini bisa terjadi, dan menyesal karena harusnya bisa menghindari luka.
Rupanya materi yang saya berikan belum mampu membuat anak bertahan di dalam kelas. Apakah dua anak ini lapar? Saat itu tidak terpikirkan, karena ego saya sebagai guru masih tak rela membiarkan saya diduakan dengan bakwan goreng dan tahu isi. Saya tidak mengizinkan mereka masuk, dan itu menyebabkan tugas yang telah diselesaikan teman-teman di kelas hari itu menjadi utang mereka untuk pekan depan.
Saya teringat hasil ujian semester lalu, di bulan Desember. Saya dan anak-anak ini sudah bikin janji, nanti ujian tidak ada yang boleh nyontek. Mereka tak perlu khawatir nilai, karena saya sudah merekam keseharian mereka. Karena ujian itu tidak sama dengan pembelajaran. Yang dinilai harusnya pembelajarannya, prosesnya, bukan ujian sebagai hasil.
Jadi saya meminta mereka jangan nyontek, khusus di pelajaran saya. Kalaupun anak-anak ini kejedot pintu malamnya, dan mengalami amnesia hingga semua materi hilang dari memori, kembalikan saja kertas jawaban kosong yang hanya berisi nama. Saya cuma minta kejujuran.
Tapi itu tak terjadi. Saya mencermati lembar jawaban, dan merasakan seperti kejadian di atas: terluka, hanya lebih berat.
Ada rasa percaya yang turun setelah kejadian-kejadian seperti ini, yang terasa berat terutama beberapa hari setelahnya. Rasa percaya pada anak-anak ini, juga rasa percaya pada kompetensi diri sebagai guru yang baik, guncang rasanya.
Ini tak boleh dibiarkan, karena menjadi guru berarti menjadi orang yang selalu berpengharapan baik. Quantum Teaching sudah wanti-wanti, agar setiap pertama kali masuk, guru membayangkan ada bintang atau angka seratus di jidat masing-masing anak. "Setiap anak pintar dalam cara mereka masing-masing, dan saya yang akan menunjukkan hal itu pada mereka!"
Di buku itu juga terdapat testimoni seorang murid yang pernah nakal. Ia bilang, yang merubah dirinya adalah kepercayaan. Sepanjang tahun dia dengan sengaja melanggar peraturan. Gurunya berkali-kali menghukum: dikasih tugas, pulang lebih lama dari teman sekelas, dsb. Tapi yang tak pernah hilang dari gurunya ini adalah rasa percaya kalau si murid bisa berubah jadi baik. Dan anak ini pun berubah baik, dengan ikhlas.
Saya ingin seperti itu. Ingin bisa terus percaya.
12 February 2009
SURATI
“Bu, tadi dicari sama Surati,” begitu sapa Ida, kepala tata usaha, begitu saya muncul di pintu ruang guru. Surati? Ada apa ya? pikir saya. Surati adalah siswi kelas sepuluh. Perawakannya kecil dan memakai jilbab. Saya tak menemukan masalah dengannya hingga saat ini di kelas. Dia termasuk anak rajin, seperti kebanyakan anak perempuan di sekolah ini.
Surati, ini nama asli, kembali mencari saya pada jam istirahat. Kami duduk berhadapan.
“Begini, Bu,” katanya pelan. “Sebenernya saya malu…” Surati mulai mengutarakan maksudnya.
Ternyata ia meminta tolong agar saya bisa membantu memasukkannya ke asrama yatim.
Sekolah tempat saya bekerja berada di bawah yayasan yang memiliki asrama bagi yatim tak mampu. Kebanyakan dari mereka berasal dari Parung Panjang dan beberapa desa di Kabupaten Bogor lain. Mereka di bawa ke Tangerang untuk sekolah di siang hari dan belajar agama malamnya tanpa membayar.
“Saya selama ini tinggal di rumah saudara sambil bantu-bantu. Bapak saya petani di Jawa. Terus ada sedikit masalah, jadi saya gak bisa tinggal di sana lagi. Jadi, saya minta tolong agar bisa masuk asrama,” ujar Surati.
Saya memang pernah ikut berkecimpung sebagai pengurus asrama beberapa tahun lampau. Setelah melahirkan anak kedua, saya merasa kekurangan waktu untuk ikut mengontrol anak-anak itu dengan baik. Dengan alasan ingin berkonsentrasi di keluarga dan sekolah, saya melepaskan tanggung jawab di asrama yatim. Namun demikian, hubungan dengan pengurus masih erat.
“Tapi ini asrama yatim, Surati. Sedang kamu bukan yatim. Saya harus konsultasikan dulu apa kamu bisa masuk dalam kriteria untuk masuk asrama atau tidak. Agak ketat memang, karena biaya hidup dan pendidikan nantinya ditanggung yayasan semua,” jawab saya.
“Saya mau bayar kok, Bu. Untuk sekolah saya memang selalu bayar sendiri. Kalau untuk biaya makan di asrama, nanti saya cari. Pulang sekolah saya bisa jadi kuli cuci setrika di sekitar sini. Tapi untuk awal-awal memang belum bisa bayar. Kalau saya sudah kerja lagi, baru saya cicil.”
Duh, apa nggak meleleh hati ini mendengar anak kelas sepuluh (I SMA) bisa bilang begitu? Tapi keputusan bukan ditangan saya. Saya berjanji akan mencoba mengurus permintaannya.
Informasi lebih lengkap saya dapat dari salah satu guru. “Surati memang kerja di rumah saudaranya, Bu,” kata guru itu. “Lulus SMP, orangtuanya gak kuat membiayai sekolah. Jadi dia ke ke sini, bantu-bantu di rumah saudara. Istilahnya sih, ya jadi pembantulah. Masak, nyuci setrika, beres-beres, dan momong anak.”
Saya mengangguk-angguk mengerti. Ternyata masalah muncul ketika Surati ingin sekolah. Dia sekolah pagi, dan baru sampai rumah lewat dari jam satu. Dia buru-buru masak, lalu mencuci, dan beres-beres. Karena itu dia tidak pernah bisa ikut kegiatan ekstra.
Saudaranya jadi kesal karena pekerjaan rumah tidak tertangani sebaik dulu. Surati tak diajak bicara lagi. Kelihatannya surati memang harus memilih, dan dia lebih memilih sekolah. Karena itu dia meminta saya memasukkannya ke asrama, agar setidaknya dia tetap punya tempat untuk tinggal. Uang makan dan lain-lain akan dicarinya nanti.
Berapa gaji seorang kuli cuci setrika? Saya kira tak lebih dari Rp200.000. SPP sekolah saja sudah menghabiskan lebih dari setengahnya. Bari mana dia bisa membayar uang makan? Belum lagi buku-buku dan keperluan sekolah. Dan, dia juga perlu alat kebersihan, deodoran, pembalut, sedikit bedak, juga pakaian baru sesekali.
Ah, saya teringat diri sendiri saat duduk di bangku SMA kelas satu, sama dengan Surati sekarang. Entah apa yang ada dalam pikiran saya saat itu, tapi yang jelas bukan soal semangat belajar dan usaha bertahan hidup. Ringan saja, seperti kapas, melayang ke sana ke mari tak tahu tujuan.
Apakah saya yang lebih beruntung karena melewati masa SMA tanpa halangan berarti, makan cukup, biaya ada, ataukah lebih beruntung Surati, yang telah kaya pengalaman sejak umur amat belia dan punya tekad kuat untuk berjuang?
Dua hari kemudian, saya terima kabarnya. Dengan rekomendasi sekolah, pengurus menyatakan bahwa Surati bisa masuk asrama. Biaya tinggal, biaya makan, dan biaya pendidikan agama digratiskan. Surati cukup bayar SPP sekolah saja.
Alhamdulillah. Mudah-mudahan ini semua cukup membantu. Berjuang terus ya, Surati. Saya gurumu, tapi justru belajar banyak darimu.
Jangan menyerah, Surati. Jangan menyerah….