Jadi memang itu yang tertulis: AHAYDE. Yang artinya kira-kira sejalan dengan 'asik, dah!'.
Setelah saya bicara berbusa-busa 40 menit tentang
what-so-called kisah inspiratif, dengan suara serak akibat flu, saya mendapat 'ahayde' di kertas yang seharusnya berisi narasi/kontemplasi masing-masing siswa kelas X SMA. Kesal? Tentu saja. Guru juga manusia.
Di berbagai blog guru yang saya
stalk diam-diam ^_^, biasanya yang tertulis adalah kisah keberhasilan, metode sukses, atau keisengan manis dari siswa-siswa di kelas. Meski saya tahu bahwa kisah pembelajaran tiap guru di kelas pastilah tak selalu mulus, tapi sepertinya menceritakan kegagalan perlu juga sesekali. Untuk evaluasi, paling tidak.
Jadi begitulah, saya mendapat 'ahayde'. Tapi bukan hanya itu, ada lagi yang lain:
Oh, my.... ^_^;
Itu di kelas X. Jam berikutnya di salah satu kelas XII. Saya bicara mungkin sekitar 80 menit, diselingi beberapa komentar dan pertanyaan singkat dari beberapa siswa, dan selama itu hanya setengah baris ke depan yang mendengarkan. Setengah bagian ke belakang ngobrol sendiri. Sakit hati? Ya, tentu saja saya merasa tidak dihormati.
Harusnya jangan kebanyakan ceramah? Mungkin saja. Tapi untuk hal yang saya sampaikan kemarin, memang tak banyak metode lain yang bisa dipilih. Kami bicara tentang
passion, tentang rencana masa depan, dan tentang 4E. Belum ada ide menjadikannya metode yang lebih
hands on.
Tapi saya malas sekali bila harus marah-marah di kelas. Bagi anak kelas XII SMA, marah-marah akan selalu jadi bumerang bagi guru. Semua guru yang mengajar tingkat SLTA pasti sepakat. Bukannya siswa akan mengekeret takut, tapi justru tambah
nantangin. Alhasil, bukannya guru 'menang' dan kelas damai, tapi malah tambah kesel dan kelas makin tak kondusif.
Dalam kondisi seperti ini saya teringat sahabat saya sesama pendidik, Wiwiet Mardiati. Dialah yang menasihati saya agar "
Don't take it personally." Kelas bukanlah ring tinju untuk membuktikan yang siapakah yang menang dan berkuasa, apakah guru atau murid. Jadi tiap 'kebandelan' yang dilakukan bukanlah karena siswa berniat mengalahkan gurunya, atau mau meruntuhkan otoritas sekolah, tapi karena
mereka belum bisa mengalahkan diri sendiri. Guru jangan merasa
offended, justru harus
sympathize.
Sementara ini, saya belum menemukan cara lain untuk mengelola emosi di kelas (atau di rumah bersama anak) yang lebih baik dari caranya Wiwiet ini. Dengan cara ini, saya bisa mengembalikan lagi kewarasan yang sempat hilang karena emosi, dan membalik kemarahan jadi simpati.
Saya tidak lagi marah pada beberapa siswa kelas X dalam kisah 'ahayde' di atas. Mereka baru kelas X, baru 6 bulan pindah dari SMP ke SMA. Masih suka bercanda konyol, dan boleh jadi belum terbiasa menulis kontemplatif seperti kakak-kakak kelas mereka (seperti
blog post saya yang ini).
Jadi, kasus 'ahayde' sepenuhnya bisa saya pahami. Berarti, sedikit demi sedikit, kesadaran akan sikap yang lebih dewasa, termasuk diantaranya keterampilan membangun visi dan berkontlempasi, harus mulai diterapkan bagi kelas X.
Seadang pada cerita kedua, saya masih menata hati soal ini. Kemarin saya biarkan saja yang menolak memperhatikan, dan fokus pada anak-anak yang dari sorot matanya saya tahu bahwa mereka tertarik. Karena tak adil jika saya membuang waktu untuk mengurusi orang yang menolak saya, dan mengabaikan orang yang bersedia mendengarkan.
Yang penting, saya sudah menyampaikan bahwa saya
concern terhadap hidup mereka.
Tiap orang punya punya sosok 'guru' masing-masing di antara semua pengajar yang pernah dia temui sepanjang hidup. 'Guru' itu yang menyentuh hati dan mengubah hidupnya. Dan tentu saja, sosok guru itu belum tentu saya. Bagi yang menolak memperhatikan saya kemarin itu, mereka akan menemukan 'guru'nya sendiri nanti, insya Allah.
Tapi memang, begitu saya menggeser tempat menjadi seseorang yang bersimpati, saya merasa prihatin. Sebentar lagi lulus SLTA, tapi belum bisa mengendalikan diri sendiri dan memilih apa yang lebih penting? Ah, ini benar-benar jadi bahan evaluasi bagi saya. Di mana salahnya? Apakah sistemnya, atau ada hal lain yang belum saya mengerti di sini?
Jadi begitulah. Menggeser tempat dari guru yang marah menjadi guru yang bersimpati ternyata
works on me.