26 April 2012

NYELIP

Tempo hari, saya ada keperluan dengan salah seorang rekan sejawat dari SMA negeri dekat rumah. Jadi saya datang ke sana. Melangkah menuju ruang guru, saya menangkap sosok yang saya kenal di kejauhan. Ah, itu guru saya dulu. Dia memulai karir di sekolah swasta, lalu diangkat jadi pegawai negeri di sekolah ini.

Tampaknya dia bersiap masuk kelas. Di tangannya terlihat buku-buku pelajaran dan administrasi guru. Di depan ruang guru kami berpapasan.

"Apa kabar, Guru...." Saya memberi salam.
"Baik, Irma." Dia menjawab sambil tersenyum lebar.

Dan senyum lebarnya membuat saya terpana.

Haduh, guruku.... Cik Gu mau ngajar kan yah, tapi itu.... itu....

Potongan sayuran warna hijau menyelip di sela-sela giginya. Mungkin habis sarapan tadi sebelum ini. Gimana bilangnya? Sungguh saya tidak tega, karena anak-anak pasti akan melihat. Ah, tau sendiri anak-anak jaman sekarang.

Saya berjanji, akan sering bercermin sebagai guru, baik secara denotasi maupun konotasi ^_^;



GEMESSSS...

Ketika mengambil rapor bayangan adik yang SMP, saya terkejut juga ketika melihat rapornya. Hadeeeeh, banyak yang ga nyampe KKM euy. Jaman dulu bilangnya 'angka merah' ^_^. Tapi dia tetep peringkat 8, dan total nilai dengan rangking satu hanya belasan saja. Artinya? Ya memang jarang anak yang melewati semua KKM mata pelajaran.

FYI, sekolah adik saya ini full-day, pulang setelah shalat ashar. Karena jamnya panjang, jadi durasi tiap mata pelajaran jadi banyak. Jadi, SMA pelajarannya 17, satu hari ada 7 sesi. SMK mata pelajarannya 20an, setiap hari ada 7 sesi juga. Nah, SMP mata pelajarannya 13, sehari ada 9 sesi.

Apa kalau anak belajar lebih lama, dia akan mencapai hasil lebih baik? Kalau di sekolah adik saya, tampaknya itu tidak terbukti. Yang mereka butuhkan bukan jam belajar yang lebih panjang, tapi cara belajar yang lebih baik.

Saya sudah bicarakan dua kali pada wali kelas adik saya ini, tapi ya susah karena ga punya power. Pada kenyataannya, saya bahkan bukan orang tua murid, hanya menggantikan orang tua yang tidak bisa hadir. Paling oke memang kalau mendekati kepala sekolah.

Jadi mikir deh, pelatihan kepala sekolah yang diadakan dinas pendidikan selama ini untuk apa sebenarnya? Paradigmanya toh tidak berubah juga. Jadi yang namanya PAIKEM GEMBROT EEK (pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan - gembira dan berbobot - elaborasi, eksplorasi, konklusi) itu mah cuma lipstik aja.


Apa? Namanya jelek banget? Hehehehe.... iya tuh emang.

Mungkin saya harus ikutan pelatihan untuk kepala sekolah juga sesekali (9 hari meninggalkan anak? Ga mauuuuu..... ^o^;). Pengen tau juga apa aja yang 'dilatih' di sana.

Huffff...... Dengan siswa sebanyak itu. Dengan sumber daya sebesar itu. Ih, gemeeesssss....

DUA AKUN?

Bikin dua akun Facebook?

Satu untuk Irma yang 'bu guru' (status-statusnya harus jaim, karena dibaca siswa dan rekan sejawat), satu lagi Irma yang 'manusia' (status-statusnya bebas merdeka suka suka hip hip hura hura).

Sayangnya hanya ada satu Nengirma. What you see is what you get.

Tema ini masuk dari obrolan para guru tentang larangan guru berteman online dengan siswa yang dikeluarkan negara bagian Missouri, AS. Beberapa guru di Indonesia menyarankan agar guru membuat 2 akun, satu aku sebagai guru, satu lagi akun sebagai pribadi.

Saya sendiri ga setuju kalo profesi guru tidak inheren dengan kepribadiannya. Apa yang tidak boleh dilakukan ketika di sekolah, harusnya juga tidak dilakukan di luar sekolah. Foto atau ucapan yang tidak pantas ditampilkan di depan siswa, berarti bukan perbuatan yang sesuai dilakukan oleh seorang guru.

Lagian, kalo punya dua akun, i'll mess it up, for sure ^_^;.

Jadi bikin 2 akun untuk memisahkan 'aku yang guru' dan 'aku yang manusia biasa' kayaknya bukan ide yang cocok untuk saya.

06 April 2012

SAYA BUKAN ERIN GRUWELL


Sudah nonton drama-drama semacam Great Teacher Onizuka atau Dream High? Yah, memang itu rekaan semata, bisa saja bila ada yang bilang bahwa guru semacam itu terasa too good to be true. Meskipun begitu, guru yang bener-bener mengurusi murid-muridnya, dari masalah akademik hingga masalah pribadi bukan rekaan, mereka benar-benar nyata.

Yang terkenal mungkin Erin Gruwell, karena difilmkan oleh Hollywood, atau Torey Hayden yang jurnal hariannya selama menangani anak berkebutuhan khusus dijadikan banyak judul buku. Di Indonesia misalnya Yuli Badawi yang kisahnya dibukukan dalam Rumah Seribu Malaikat. Tapi sesungguhnya yang tidak terkenal tersebar di sekeliling kita. Saya mengenal salah satunya.

Senja menjelang malam kemarin, saya duduk mengobrol dengan suami di teras rumah orang lain (kami tidak punya teras ^_^;). Saya bertanya, berapa jauh kita para guru seharusnya mengurusi anak-anak didik.

Seorang rekan guru SMP negeri papan atas dekat rumah, bercerita suatu kali, tentang siswi beliau yang sudah melakukan hubungan seksual dengan pacaranya yang mahasiswa. Guru muda ini tidak mengerti harus bagaimana, jadi dia berkonsultasi pada seorang guru senior. Apa jawaban yang dia terima?

"Makanya, Bu, jangan terlalu dekat dengan siswa. Kita bisa terbebani dengan terlalu banyak masalah kalau terlalu dekat dengan siswa."

Melihat dari kacamata ideal, harusnya guru tidak boleh berkata begini. Bagaimana bisa dia tak peduli dengan anak (didik) sendiri. Tapi ketika berkaca, ternyata saya ini sedikit banyak sama dengan si guru senior di atas. Entah bagaimana, saya merasa membatasi diri dalam berhubungan dengan siswa agar tidak terlalu 'dekat'.


Jadi saya galau: saya merasa bersalah karena tidak bisa jadi guru ideal. Tapi untuk jadi guru semacam Erin Gruwell, saya pun sangsi apakah siap. Erin Gruwell sendiri mengambil 2 pekerjaan tambahan untuk membiayai impiannya sebagai seorang guru, dan pernikahannya berantakan.

Kemudian suami saya mengeluarkan pendapatnya soal ini, yang bisa disingkat dalam frase berikut: sesuai kemampuan masing-masing.

Bila kita mampu menanyakan kenapa salah seorang anak didik tidak masuk lewat sms, maka lakukanlah. Bila ada pertimbangan lain yang menghalangi, maka tidak perlu merasa berdosa kalau tidak melakukannya.

Bila punya keluangan untuk ikut menjadi mediator untuk pertengkaran anak dan orang tua, lakukanlah. Bila kondisi hanya memungkinkan untuk memeri nasihat lewat e-mail, tak ada yang bisa menghakimi bahwa kita tidak peduli.

Selain itu, seorang wali kelas akan berbeda pendekatannya dengan kepala sekolah, juga berbeda pendekatannya dengan seorang ketua yayasan. Guru akan menangani masalah anak didik lebih detail dan personal, tentu saja. Tapi salahkah kepala sekolah jika dia tidak melakukan home visit? Tidak, tapi dia salah ketika membiarkan sekolah tanpa program pembinaan akhlak dan karakter yang serius. Sedang ketua yayasan akan bergerak di tataran yang lebih luas dan umum.

Kenyataan ini menunjukan pada saya bahwa kekuasaan memang penting, karena banyak idealisme yang bisa dipaksakan oleh pemimpin, dibanding bila hanya jadi anak buah. Sebagai guru, yang bisa dilakukan hanyalah melakukan sendiri, mungkin menginspirasi, dan kalau bisa mempengaruhi. Tapi kalau ada kesempatan memegang kekuasaan, seperti pimpinan sekolah, itu kesempatan bagus untuk berbuat lebih banyak.

Kembali ke pertanyaan, sejauh mana kita harus mengurusi anak-anak didik. Yah, memang selalu saja ada hal-hal yang tak bisa dipukul rata, tak bisa disamakan. Saya, misalnya, harus lebih hati-hati lagi berpikir dan mengeluh tentang kenapa guru-guru tidak peduli. Karena sebenarnya saya tidak tau, apa benar mereka tidak peduli? Yang harus dijaga selalu adalah ketetapan hati ini untuk berbuat sesuatu, bukan menyibukkan pikiran dengan apa yang orang lain lakukan, karena hal itu memang sama sekali bukan urusan kita.

Minder? Hm…. Saya ingin menjadikan guru-guru hebat sebagai inspirasi saya, bukan pembading apalagi kompetitor. Semangat!

BERBAGI GALAU

Siap-siaaaap..... kalau lagi labil jangan baca, hehehehe....

Ceritanya hari Senin kemarin suami hp suami off. Pagi ngajar, pas istirahat ada di ruang 'bawah tanah', siangnya rapat. Pas bisa ditelfon ternyata lagi ditengah-tengah hujan deras yang bikin jalanan pada muaceeeet. Sampe rumah tepar. Jadi saya bimbang mau menyampaikan kabar. Akhirnya pagi-pagi baru ngomong.

"Pak, aku mau ikut seminar."
"Kapan?"
"Sekarang."
"Jam berapa?"
"Jam 8."
"Sekarang jam berapa?"
"Setengah 8."
"Di mana?"
"Kemayoran."
"Hah?"

Kemayoran memang 'rada' jauh dari Tangerang. Karena kemarin hujan deras, saya enggan diantar suami. Jadi minta diantar karyawan sekolah pakai sepeda motor sampai Permata Hijau, yang maceeeeeet ampun-ampunan. Ga bakalan sampe kalo pakai mobil. Setelah itu lanjut pakai taksi, kena 70ribu + tol 6ribu, hanya 20 menit.

Ketika saya sampai, waktu menunjukkan jam 10.00 kurang. Semua sedang coffeebreak. Alhamdulillah hanya terlewat satu sesi.

Begitu seminar di mulai, Muriel Summers, pembicara, berkata, "Dalam hitungan 3, mari sama-sama kita menyebut satu guru terbaik yang pernah masing-masing miliki." Dia dan peserta sama-sama menghitung sampai 3, dan menyebut guru favorit sepanjang masa mereka. Saya terdiam, siapa guru favorit saya, ya? Kok saya tidak bisa memutuskannya langsung?

"Guru yang baik adalah guru yang bisa diingat siswanya dalan sekali 'klik'," Muriel Summers menjentikkan jari.


Dari situ, mulailah saya duduk di sana, mendengarkan bagaimana cara membentuk 'The Leader in Me' School, yaitu sekolah dengan penerapan 7 Habits-nya Covey.

Tentu saja bagus, prinsipnya, hasil yang telah terbukti di sekolah-sekolah, juga pengaruhnya pada kehidupan siswa, guru dan keluarga. Tapi yang terpikir terus menerus di kepala adalah "Mahal ga? Mahal ga? Mahal ga?"

Saya tanyakan masalah ini kepada Muriel Summers -dengan Bahasa Indonesia, karena tidak mau mempermalukan diri sendiri ^_^;. Dia berkata, "Tak ada yang terlalu mahal untuk menyelamatkan hidup anak-anak kita. You even can't afford not doing this." (atau begitulah yang tertanggap kuping kampung saya ini, hehehehe...).

Di belakang saya, seseorang berkomentar, "Mahal atau murah mah relatif!"

Iyeeee, tau, tau. Saya paham mahal-murah itu relatif. Tapi dengan jumlah siswa yang hanya 110 orang, dengan SPP yang hanya Rp165.000 bersih, tanpa uang praktek atau eskul, dan kadang ditunggak hingga 10 bulan, program ini MAHAL GAAAAAA....? #banting-banting kursi#

Setelah makan siang, ada presentasi Best Pactice 'The Leader in Me' (TLIM) School dari beberapa sekolah di Indonesia. PSKD Mandiri (Menteng), St. Laurensia (BSD), An-Nisaa' (Bintaro), ITB (Bandung).

Hadeeeeeh, sekolah-sekolah mihil semua niy. Sekolah kecil-kampung-miskin-entah di mana kayak saya kok ga ada?

Saya membuka hand-out yang diberikan dan.... langsung puyeng. Teacher's starter kits untuk 1 tahun adalah 7 juta! Hanya bisa dipakai untuk 25 siswa. Tapi untuk memakainya di kelas, guru harus pelatihan 7 Habits dulu, 2,5 juta perorang. Bila ingin diterapkan di sekolah, ada program 3 tahun. Saya ga berani nanya harganya.

Ini seperti mimpi untuk menerapkan Multiple Intelligences System (MIS) di sekolah. Kalau TLIM fokusnya pada karakter, MIS lebih pada pembelajaran. Tapi sama saja. Ga ada duitnyaaaaaah.....

AKU GALAAAAAUUUU!

Oh ya, ketika istirahat, saya mendengar panitia menjelaskan pada beberapa peserta. "Ini jatuhnya ga mahal! Karena...." Ah terserahlah!

Btw, ada versi bajakannya ga yah? Cari ah....

Ya Allah, jadikan aku orang kaya.