06 April 2012

SAYA BUKAN ERIN GRUWELL


Sudah nonton drama-drama semacam Great Teacher Onizuka atau Dream High? Yah, memang itu rekaan semata, bisa saja bila ada yang bilang bahwa guru semacam itu terasa too good to be true. Meskipun begitu, guru yang bener-bener mengurusi murid-muridnya, dari masalah akademik hingga masalah pribadi bukan rekaan, mereka benar-benar nyata.

Yang terkenal mungkin Erin Gruwell, karena difilmkan oleh Hollywood, atau Torey Hayden yang jurnal hariannya selama menangani anak berkebutuhan khusus dijadikan banyak judul buku. Di Indonesia misalnya Yuli Badawi yang kisahnya dibukukan dalam Rumah Seribu Malaikat. Tapi sesungguhnya yang tidak terkenal tersebar di sekeliling kita. Saya mengenal salah satunya.

Senja menjelang malam kemarin, saya duduk mengobrol dengan suami di teras rumah orang lain (kami tidak punya teras ^_^;). Saya bertanya, berapa jauh kita para guru seharusnya mengurusi anak-anak didik.

Seorang rekan guru SMP negeri papan atas dekat rumah, bercerita suatu kali, tentang siswi beliau yang sudah melakukan hubungan seksual dengan pacaranya yang mahasiswa. Guru muda ini tidak mengerti harus bagaimana, jadi dia berkonsultasi pada seorang guru senior. Apa jawaban yang dia terima?

"Makanya, Bu, jangan terlalu dekat dengan siswa. Kita bisa terbebani dengan terlalu banyak masalah kalau terlalu dekat dengan siswa."

Melihat dari kacamata ideal, harusnya guru tidak boleh berkata begini. Bagaimana bisa dia tak peduli dengan anak (didik) sendiri. Tapi ketika berkaca, ternyata saya ini sedikit banyak sama dengan si guru senior di atas. Entah bagaimana, saya merasa membatasi diri dalam berhubungan dengan siswa agar tidak terlalu 'dekat'.


Jadi saya galau: saya merasa bersalah karena tidak bisa jadi guru ideal. Tapi untuk jadi guru semacam Erin Gruwell, saya pun sangsi apakah siap. Erin Gruwell sendiri mengambil 2 pekerjaan tambahan untuk membiayai impiannya sebagai seorang guru, dan pernikahannya berantakan.

Kemudian suami saya mengeluarkan pendapatnya soal ini, yang bisa disingkat dalam frase berikut: sesuai kemampuan masing-masing.

Bila kita mampu menanyakan kenapa salah seorang anak didik tidak masuk lewat sms, maka lakukanlah. Bila ada pertimbangan lain yang menghalangi, maka tidak perlu merasa berdosa kalau tidak melakukannya.

Bila punya keluangan untuk ikut menjadi mediator untuk pertengkaran anak dan orang tua, lakukanlah. Bila kondisi hanya memungkinkan untuk memeri nasihat lewat e-mail, tak ada yang bisa menghakimi bahwa kita tidak peduli.

Selain itu, seorang wali kelas akan berbeda pendekatannya dengan kepala sekolah, juga berbeda pendekatannya dengan seorang ketua yayasan. Guru akan menangani masalah anak didik lebih detail dan personal, tentu saja. Tapi salahkah kepala sekolah jika dia tidak melakukan home visit? Tidak, tapi dia salah ketika membiarkan sekolah tanpa program pembinaan akhlak dan karakter yang serius. Sedang ketua yayasan akan bergerak di tataran yang lebih luas dan umum.

Kenyataan ini menunjukan pada saya bahwa kekuasaan memang penting, karena banyak idealisme yang bisa dipaksakan oleh pemimpin, dibanding bila hanya jadi anak buah. Sebagai guru, yang bisa dilakukan hanyalah melakukan sendiri, mungkin menginspirasi, dan kalau bisa mempengaruhi. Tapi kalau ada kesempatan memegang kekuasaan, seperti pimpinan sekolah, itu kesempatan bagus untuk berbuat lebih banyak.

Kembali ke pertanyaan, sejauh mana kita harus mengurusi anak-anak didik. Yah, memang selalu saja ada hal-hal yang tak bisa dipukul rata, tak bisa disamakan. Saya, misalnya, harus lebih hati-hati lagi berpikir dan mengeluh tentang kenapa guru-guru tidak peduli. Karena sebenarnya saya tidak tau, apa benar mereka tidak peduli? Yang harus dijaga selalu adalah ketetapan hati ini untuk berbuat sesuatu, bukan menyibukkan pikiran dengan apa yang orang lain lakukan, karena hal itu memang sama sekali bukan urusan kita.

Minder? Hm…. Saya ingin menjadikan guru-guru hebat sebagai inspirasi saya, bukan pembading apalagi kompetitor. Semangat!

No comments:

Post a Comment