Saya tahu, ini akan jadi blog post sampah, karena isinya menggerutu dan mengeluh, dengan bumbu menyalahkan orang lain. Bolehkah?
Ga boleh yah... =_=#
Begini saja. Saya bersyukur bertemu dengan Mba Lea. Saya kepingin nangis tiap baca posting terbaru di blognya. Kenapa? Karena Mba Lea mengajar di sekolah biasa, dengan siswa-siswa biasa, dengan fasilitas biasa, dan kurikulum nasional. Yang dihadapinya adalah kondisi sekolah pada umumnya di Indonesia.
Kelihatannya saya amat menyanjung Mba Lea, ya? Saya menaruh hormat, tapi lebih penting dari itu, saya merasa terhubung, connected, dengannya.
Karena Mba Lea bukan guru di sekolah terpadu, atau sekolah alam, atau sekolah internasional, atau IB school, atau sekolah nasional plus plus plus. Jadi bila Mba Lea melakukan sesuatu, maka artinya bisa dilakukan oleh kebanyakan guru di Indonesia, yang sekolahnya tidak punya tennis court dan kolam renang sendiri, yang paradigma rekan sejawat dan pimpinannya belum bergeser, yang siswanya tidak mampu membayar banyak untuk proyek macam-macam.
Jadi....
Ah, saya mengaku sajalah.
Kadang saya berpikir:
Kalau sekolah saya lebih kaya, mungkin saya bisa melakukan lebih banyak hal.
Kalau saya disediakan lebih banyak fasilitas, mungkin pembelajaran bisa lebih bervariasi dan menyenangkan.
Kalau saya bisa mendapat lebih banyak dukungan orang tua, mungkin masalah non akademik bisa lebih mudah terselesaikan.
Kalau saya bisa mendapat waktu yang lebih panjang....
Kalau kelas yang ada tak harus dipakai bersama sekolah lain....
Kalau....
Kalau....
Kalau....
Tentu saja saya menyiksa diri sendiri dengan sibuk mengutuk kegelapan, tapi menyalakan lilin ternyata bukan perkara gampang.
Dan sungguh berbeda antara membicarakan pendidikan di dalam seminar, paper atau media sosial, dengan menangani banyak siswa kelas X yang mengeja 'siapa' dengan s-i-y-a-p-a dan tak paham cara menambahkan pecahan, berhadapan dengan pihak yayasan yang tak mau mengerti, dibebani ujian nasional, serta kasus kehamilan dan aborsi anak usia 16 tahun.
26 December 2012
21 December 2012
DEAR MY STUDENTS #2
Pagi yang cerah ^o^.... Apa kabar, semua?
Ada rencana apa aja nih, untuk liburan? Saya setuju banget sama RT salah satu siswa beberapa hari yang lalu. Kalian tuh kayaknya kebanyakan belajar deh. Hati-hati ah, bisa jadi pinter nanti.... Nah, sekarang waktunya melihat dunia. Coba nih, saya tanya:
Buat yang kelas XII, jangan gunakan liburan ini hanya untuk jalan-jalan doang. Sekarang waktunya untuk ancang-ancang masa depan. Gimana caranya? Salah atunya gini:
Punya kakak atau temen atau saudara yang kuliah? Minta ajak ke kampusnya, lihat langsung isi kampus, minta terangin sistem belajarnya, kelebihan kekurangannya. Ini manjur banget buat persiapan masuk dunia kampus, biar ga salah pilih. Beda banget loh, antara cuma lihat dari brosur dengan dateng langsung dan ngobrol sama 'pelaku'.
Yang ga kalah penting, bikin ancang-ancang tempat kerja. Ini untuk yang ga memilih kuliah atau mau kuliah sambil kerja. Ada beberapa tempat/kantor yang mengizinkan karyawannya menerima tamu. Kalau ada yang punya kakak atau teman atau saudara yang sudah bekerja, dan kalau diizinkan sama bosnya, datangi aja. Cari tau enak/ga enaknya kerja jadi SPG, jaga counter, gudang, kasir, administrasi, koki, frontdesk, dll. Lebih seru lagi kalo temen kamu punya usaha sendiri. Magang bisa jadi pengalaman berharga!
Para alumni yang baca note ini, adik-adiknya tolong dibantu yaaa.... prokprokprok!
Jadi, jangan sia-siakan masa liburan. Jangan sampe, eh udah 6 Januari, besok udah masuk lagi, kok belum ke mana-man.
Oke deh, selamat liburan, semoga tanggal 7 kita bisa kembali ke sekolah dengan fresh!
Salam,
Irma.
Ada rencana apa aja nih, untuk liburan? Saya setuju banget sama RT salah satu siswa beberapa hari yang lalu. Kalian tuh kayaknya kebanyakan belajar deh. Hati-hati ah, bisa jadi pinter nanti.... Nah, sekarang waktunya melihat dunia. Coba nih, saya tanya:
Udah pernah lihat proses kupu-kupu keluar dari kepompong?
Udah pernah nyebrang ke Kepulauan Seribu?
Udah pernah lihat padang edelweiss langsung?
Udah pernah lihat matahari terbit dari puncak gunung?
Udah pernah bakar udang segede gaban di pinggir pantai?
Okelah, mungkin biayanya agak gede. Sekarang yang ini:
Pernah nyusurin jalur kereta commuter line dari ujung sampe ujung?
Pernah nonton pagelaran di GKJ?
Pernah ke musium apa aja?
Pernah ke Kampung Betawi di Setu Babakan?
Pernah ke Pecinan-nya di sekitar Jakarta (banyak nih)?
Pernah foto di jembatan Passer Baroe?
Pernah nyari barang vintage di jalan Surabaya?
Pernah muter-muterin kota tua?
Atau gimana kalo liburan ini:
Bikin web?
Belajar nyetir?
Belajar biola?
Punya kakak atau temen atau saudara yang kuliah? Minta ajak ke kampusnya, lihat langsung isi kampus, minta terangin sistem belajarnya, kelebihan kekurangannya. Ini manjur banget buat persiapan masuk dunia kampus, biar ga salah pilih. Beda banget loh, antara cuma lihat dari brosur dengan dateng langsung dan ngobrol sama 'pelaku'.
Yang ga kalah penting, bikin ancang-ancang tempat kerja. Ini untuk yang ga memilih kuliah atau mau kuliah sambil kerja. Ada beberapa tempat/kantor yang mengizinkan karyawannya menerima tamu. Kalau ada yang punya kakak atau teman atau saudara yang sudah bekerja, dan kalau diizinkan sama bosnya, datangi aja. Cari tau enak/ga enaknya kerja jadi SPG, jaga counter, gudang, kasir, administrasi, koki, frontdesk, dll. Lebih seru lagi kalo temen kamu punya usaha sendiri. Magang bisa jadi pengalaman berharga!
Para alumni yang baca note ini, adik-adiknya tolong dibantu yaaa.... prokprokprok!
Jadi, jangan sia-siakan masa liburan. Jangan sampe, eh udah 6 Januari, besok udah masuk lagi, kok belum ke mana-man.
Oke deh, selamat liburan, semoga tanggal 7 kita bisa kembali ke sekolah dengan fresh!
Salam,
Irma.
13 December 2012
KURIKULUM YANG BAIK
Apakah kurikulum tersebut jelas, konkret, punya tujuan menyeluruh yang konsisten dengan nilai-nilai sosial?
Bisakah para siswa menjelaskan bagaimana setiap pelajaran terhubung ke tujuan di atas?
Apakah kurikulum tersebut bukan hanya menghormati, tetapi memanfaatkan perbedaan peserta didik?
Apakah kurikulum tersebut berjalan dengan mulus dengan tingkat kompleksitas "ide"yang semakin tinggi ?
Apakah diperlukan penggunaan rutin dari semua proses berpikir?
Adalah apa yang diajarkan bisa langsung berguna ketika berurusan dengan kehidupan di luar sekolah?
Apakah anak-anak bisa bangkit dari kursi mereka dan melakukan sesuatu yang mereka anggap penting?
Apakah kurikulum tersebut mencerminkan peralihan dari sulitnya akses informasi, kepada kemudahan akses informasi, dan pada akhirnya kepada akses informasi tak terbatas?
Adalah apa yang materi dipelajari terlalu rumit untuk dievaluasi oleh mesin?
Jika semua jawabannya adalah YA, maka artinya kurikulum tersebut adalah kurikulum yang baik.
Sumber: http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2012/11/28/nine-questions-about-21st-century-curriculum/
Bisakah para siswa menjelaskan bagaimana setiap pelajaran terhubung ke tujuan di atas?
Apakah kurikulum tersebut bukan hanya menghormati, tetapi memanfaatkan perbedaan peserta didik?
Apakah kurikulum tersebut berjalan dengan mulus dengan tingkat kompleksitas "ide"yang semakin tinggi ?
Apakah diperlukan penggunaan rutin dari semua proses berpikir?
Adalah apa yang diajarkan bisa langsung berguna ketika berurusan dengan kehidupan di luar sekolah?
Apakah anak-anak bisa bangkit dari kursi mereka dan melakukan sesuatu yang mereka anggap penting?
Apakah kurikulum tersebut mencerminkan peralihan dari sulitnya akses informasi, kepada kemudahan akses informasi, dan pada akhirnya kepada akses informasi tak terbatas?
Adalah apa yang materi dipelajari terlalu rumit untuk dievaluasi oleh mesin?
Jika semua jawabannya adalah YA, maka artinya kurikulum tersebut adalah kurikulum yang baik.
Sumber: http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2012/11/28/nine-questions-about-21st-century-curriculum/
11 December 2012
NASIHAT LAMA
Sebenarnya hari ini saya ngeblog dengan
perasaan melow, karena satu kabar yang saya terima di sekolah. Tapi ini blog yang bisa dibaca oleh umum, jadi tentu tak bisa saya ceritakan dengan detil (tapi mesti bisa pada nebak, hehehehe).
Saya menikah usia 21. Melahirkan di usia 22. Sudah dewasakah perempuan usia 22 tahun? Tentu dewasa tak ditentukan oleh berapa usia, tapi dari sikap. Tapi setidaknya ketika itu, saya sudah merasa punya bekal.
Meski tak bisa dibilang aktifis, saya beberapa kali ikut organisasi, sejak tingkat dua sudah memiliki penghasilan sendiri, di waktu yang bersamaan saya kuliah di dua tempat berbeda, dan telah mengurus bayi merah sejak usia saya 19 tahun. Jadi saya pikir, di usia 22 tahun, saya telah memiliki sedikit bekal manajemen, kemandirian, terbiasa sibuk, dan biasa dengan urusan bayi.
Ketika punya anak, apa saya bisa menangani semuanya? Ternyata tidak. Saya mengalami baby blues, saya sering menangis sendiri karena rumah berantakan, belum mandi, dan anak rewel. Ternyata, mengurus rumah tangga bukan seperti menjalankan organisasi, dan jauh lebih sulit dari mengatur kelas. Yah, padahal anak baru satu, rumah cuma sepetak.
Menjadi menjadi ibu rumah tangga bukan perkara enteng. Beberapa teman saya yang menikah di usia yang lebih dewasa dan matang pun tetap merasa menjalani peran ibu tidaklah mudah.
Jadi hal itu menjelaskan mengapa saya khawatir pada para siswi saya. Pernikahan muda bukan masalah, saya pun menikahrelatif muda. Yang jadi masalah adalah pernikahan tanpa persiapan dan bekal. Apalagi pernikahan yang diawali dengan sebuah kekacauan.
Makanya saya rela dibilang sok tua dan nyinyir oleh siswa karena berulang-ulang bilang: "Ada memang cowok atau cewek yang asik diajak jalan dan senang-senang. Tapi yang harus kamu cari adalah seseorang yang kamu inginkan untuk jadi ayah atau ibu anak-anakmu di masa depan.
Kamu mau cowok yang masih nenggak pil jadi suami kamu? Kamu suka cowok yang ngoleksi bokep jadi ayah anak-anakmu? Kamu rela memperistri cewek yang pulang jam 2 pagi sambil teler? Kamu rela cewek yang gampang dipepet jadi ibu anak-anak kamu?"
Saya menikah usia 21. Melahirkan di usia 22. Sudah dewasakah perempuan usia 22 tahun? Tentu dewasa tak ditentukan oleh berapa usia, tapi dari sikap. Tapi setidaknya ketika itu, saya sudah merasa punya bekal.
Meski tak bisa dibilang aktifis, saya beberapa kali ikut organisasi, sejak tingkat dua sudah memiliki penghasilan sendiri, di waktu yang bersamaan saya kuliah di dua tempat berbeda, dan telah mengurus bayi merah sejak usia saya 19 tahun. Jadi saya pikir, di usia 22 tahun, saya telah memiliki sedikit bekal manajemen, kemandirian, terbiasa sibuk, dan biasa dengan urusan bayi.
Ketika punya anak, apa saya bisa menangani semuanya? Ternyata tidak. Saya mengalami baby blues, saya sering menangis sendiri karena rumah berantakan, belum mandi, dan anak rewel. Ternyata, mengurus rumah tangga bukan seperti menjalankan organisasi, dan jauh lebih sulit dari mengatur kelas. Yah, padahal anak baru satu, rumah cuma sepetak.
Menjadi menjadi ibu rumah tangga bukan perkara enteng. Beberapa teman saya yang menikah di usia yang lebih dewasa dan matang pun tetap merasa menjalani peran ibu tidaklah mudah.
Jadi hal itu menjelaskan mengapa saya khawatir pada para siswi saya. Pernikahan muda bukan masalah, saya pun menikahrelatif muda. Yang jadi masalah adalah pernikahan tanpa persiapan dan bekal. Apalagi pernikahan yang diawali dengan sebuah kekacauan.
Makanya saya rela dibilang sok tua dan nyinyir oleh siswa karena berulang-ulang bilang: "Ada memang cowok atau cewek yang asik diajak jalan dan senang-senang. Tapi yang harus kamu cari adalah seseorang yang kamu inginkan untuk jadi ayah atau ibu anak-anakmu di masa depan.
Kamu mau cowok yang masih nenggak pil jadi suami kamu? Kamu suka cowok yang ngoleksi bokep jadi ayah anak-anakmu? Kamu rela memperistri cewek yang pulang jam 2 pagi sambil teler? Kamu rela cewek yang gampang dipepet jadi ibu anak-anak kamu?"
03 December 2012
DANGKAL DAN MENTAH?
Karena berteman dan following akun siswa di jejaring sosial, saya jadi sedikit tau lebih tentang siswa-siswa saya. Tapi pengetahuan tidak selalu jadi hal yang menyenangkan. Banyak hal yang mungkin akan membuat kita lebih tenang bila kita tidak mengetahuinya, terutama hal-hal yang sulit kita pengaruhi.
Setelah berusaha sekemampuan, saya mengerenyitkan dahi membaca kicauan anak yang tidak puas dengan apa yang terjadi di sekolah, atau anak yang kepingin pindah sekolah karena satu hal remeh. Kalau di kelas saya melihat sosok beberapa siswa sebagai anak lugu, ternyata tak berarti sama ketika menulis status Facebook dan berkicau di Twitter.
Kenyataan ini sebelumnya membuat saya gelisah. Mungkin karena bingung atas penilaian diri sendiri pada orang lain, setengah lagi mungkin dipengaruhi oleh rasa putus asa kenapa pendidikan tak menjadikan mereka lebih matang berpikir.
Suami saya memberi saran: jika ingin tetap berada di socmed, jangan gampang sakit hati. Dan beberapa orang memang punya pikiran pendek.
Jadi saya menyadari, mereka baru 15-18 tahun. Dan saya salah jika mengukur pemikiran dan ucapan mereka dengan mengambil diri sendiri yang ubanan ini sebagi tolok ukur. Bagaimana bisa saya mengharap mereka punya keluasan pandangan, pertimbangan, tanggung jawab, dan kepekaan rasa seperti ibu-ibu beranak tiga?
Ketika saya SMA, begitulah saya juga bersikap. Persis seperti siswa-siswa saya sekarang. Kalau pemikiran anak muda tidak terasa dangkal dan mentah, kemudian apa guna pendidik?
Oh iya, lupa. Mengajarkan mereka cara cepat mengerjakan soal UN.
Setelah berusaha sekemampuan, saya mengerenyitkan dahi membaca kicauan anak yang tidak puas dengan apa yang terjadi di sekolah, atau anak yang kepingin pindah sekolah karena satu hal remeh. Kalau di kelas saya melihat sosok beberapa siswa sebagai anak lugu, ternyata tak berarti sama ketika menulis status Facebook dan berkicau di Twitter.
Kenyataan ini sebelumnya membuat saya gelisah. Mungkin karena bingung atas penilaian diri sendiri pada orang lain, setengah lagi mungkin dipengaruhi oleh rasa putus asa kenapa pendidikan tak menjadikan mereka lebih matang berpikir.
Suami saya memberi saran: jika ingin tetap berada di socmed, jangan gampang sakit hati. Dan beberapa orang memang punya pikiran pendek.
Jadi saya menyadari, mereka baru 15-18 tahun. Dan saya salah jika mengukur pemikiran dan ucapan mereka dengan mengambil diri sendiri yang ubanan ini sebagi tolok ukur. Bagaimana bisa saya mengharap mereka punya keluasan pandangan, pertimbangan, tanggung jawab, dan kepekaan rasa seperti ibu-ibu beranak tiga?
Ketika saya SMA, begitulah saya juga bersikap. Persis seperti siswa-siswa saya sekarang. Kalau pemikiran anak muda tidak terasa dangkal dan mentah, kemudian apa guna pendidik?
Oh iya, lupa. Mengajarkan mereka cara cepat mengerjakan soal UN.
Subscribe to:
Posts (Atom)