11 March 2011

TENTU SAJA, 100%!

Di tengah-tengah pembelajaran, saya bertanya-tanya, ada apa ya di masjid, kok ada yang beres-beres dan ngetes sound. Ga lama, beberapa orang berpakaian seragam batik berdatangan. Waduh, rupanya masjid mau dipakai untuk akad nikah.

Sempat terpikir untuk mengembalikan mereka ke kelas, tapi akhirnya saya berkata, "Hayo, hayo, kita pindah ke lantai dua."

Di lantai dua, saya memulai kembali kegiatan kami dengan pembukaan narsistik ^_~v.

"Ketika saya sekolah dan kemudian kuliah, saya selalu berpikir saya akan lulus, diwisuda, lalu mencari pekerjaan dan berkarir. Setelah itu barulah menikah dan berkeluarga. Tak pernah terbayangkan bahwa ternyata saya menikah di usia 21 tahun, saat masih kuliah.

Beberapa orang mungkin merasa, menikah akan menutup banyak kesempatan, karena harus membagi waktu mengurus keluarga, apalagi kalau langsung memiliki anak. Namun sebaliknya, bagi saya sendiri, menikah justru membuka dunia pada saya."


Saya bercerita bahwa pernikahan justru membawa saya tinggal di luar negeri. Adalah suami saya yang rajin menyindir, "Masa sarjana sastra ga bisa menulis?" Maka setelah menikah, jadilah saya penulis, meski amatir, dimulai dari tulisan rutin pojok fiksi buletin dwimingguan KMII Jepang. Ketika kembali ke tanah air, suami kembali ke kampus, dan saya menjadi guru, maka kawan diskusi paling intens tentang dunia pendidikan saya adalah suami, karena kesamaan profesi kami. Maka menikah muda bisa jadi keren, bisa jadi hebat, tergantung dengan siapa kita menikah.
"Nah, hari pernikahan itu, anak-anak, tidak bisa diulang. Maksud saya bukan 'menikah-dengan-siapa'nya, tapi prosesinya. Bila ada cacat dalam prosesinya, maka hal itu terkenang seumur hidup. Makanya, hari ini kita akan melakukan kegiatan dengan tenang, karena di bawah akan ada akad nikah yang tak boleh dibuat cacat prosesinya oleh kita.
"

Dua jam pelajaran berlalu. Beberapa menit sebelum bel, saya sudah bilang -dengan suara tertahan- kalau kita harus kembali ke kelas. Sudah hampir masuk jam pelajaran berikutnya. Ternyata saya dicuekin. Ada yang masih cekikikan baca kartu. Ada yang lagi ngantri ngebolongin kertas dan masang-masang pita.

Saya telfon ke kantor SMA, "Bu Ida udah nunggu yah?"

Bu Ida ini guru ekonomi, mengisi pelajaran setelah saya. Ternyata Bu Ida izin tidak masuk. Hari Rabu lalu anaknya memang kecelakaan, rupanya belum membaik hingga hari ini. Jadi semua serba kebetulan. Kebetulan kami ada di masjid, kebetulan di masjid ada acara akad nikah, kebetulan dua jam pelajaran setelah saya kosong.

Jadi kami meneruskan pelajaran, pelajaran kehidupan.

Saya biarkan anak-anak yang sudah selesai dengan kartu-kartu mereka nangkring di balkon (?) lantai dua. Dari sana mereka bisa melihat jelas proses akad nikah. Melihat perangkatnya, petugas, dan cara akad berlangsung. Meski bab nikah mungkin sudah dipelajari dalam pelajaran agama, rupanya banyak anak yang belum pernah menghadiri akad nikah secara langsung.

Saya bilang, ini saatnya pengantin wanita minta izin pada orang tua. Si pengantin amat sedih, hingga suaranya tersamar isakan, tapi suasananya sudah cukup tertangkap oleh kami. Anak-anak melihat orang-orang di bawah menghapus air mata, menandakah bahwa ini peristiwa besar.


Lalu pengantin pria menjabat tangan sang ayah. Tibalah klimaks acara, aqdunnikah, saat terjadi pemindahan tanggung jawab pemenuhan segala keperluan dan kepentingan seorang wanita dipindahkan dari ayah ke suaminya sekarang.

Jadi apakah pembelajaran yang disebut bermakna itu? Yaitu ketika apa yang dipelajari mendapat konteks, baik dengan pengalaman masa lalu kita, maupun dengan kejadian di dunia nyata. Sulit sekali menciptakan pembelajaran yang bermakna terus-menerus dalam sistem dan struktur seperti sekolah, namun kesempatan apapun yang ada di sekitar kita, harus diraih saat itu juga. Meski tak sedikitpun nyambung dengan mata pelajaran yang saya ampu ^_^;.

Nangkring di balkon masjid, nonton akad nikah saat jam pelajaran kosong, apa saat itu mereka sedang belajar? Tentu saja, 100%!

No comments:

Post a Comment